Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wartawan
Bergabung sejak: 9 Nov 2022

Gemar menulis, beberapa bukunya telah terbit. Suka catur dan humor, tertawanya nyaring

Menyimak Permainan Politik dari Desa

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Bahrul Ghofar
Kades dari seluruh Indonesia saat berkumpul di parkir timur Senayan, Jakarta, sebelum berangkat mendatangi gedung DPR RI guna menyuarakan aspirasi dan audiensi menuntut perpanjangan masa jabatan, Selasa (17/1/2023).
Editor: Egidius Patnistik

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 39 menegaskan bahwa masa jabatan kepala desa (kades) selama enam tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Petahana kades dapat menjabat lagi paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Namun puluhan ribu kades dari pelosok Indonesia berdemo di depan Gedung DPR, Jakarta pada 17 Januari 2023. Mereka menutut revisi UU tersebut agar masa masa jabatan kades diubah dari enam tahun menjadi sembilan tahun.

Gayung bersambut dari parlemen dan istana. Dari parlemen, Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menerangkan bahwa Komisi II mendukung penuh revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Komisi II juga telah mengusulkan revisi UU tersebut untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI Periode 2019-2024 (Antara, 17/1 2023).

Baca juga: Demo Minta Masa Jabatan Ditambah Jadi 9 Tahun, Berapa Gaji Kepala Desa?

Dari Istana, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetujui usulan masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Hanya saja, untuk kelanjutan realisasi usulan tersebut diserahkan kepada pihak legislatif. Hal tersebut disampaikan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Budiman Sudjatmiko, setelah bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta (Kompas.com, 17/1/2023).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan dan Petuah

Tuntutan puluhan ribu para kades itu tidak hanya soal memperpanjang masa jabatan. Ada juga beberapa tuntutan lainnya, yakni moratorium pemilihan kepala desa, pejabat pelaksana yang ditugaskan, hingga permasalahan dana desa. Bila dipadatkan dalam bahasa yang konotatif, tuntutannya hanya menyakut dua hal: kekuasaan dan duit.

Sehubungan dengan kekuasaan, Soekarno, Presiden pertama Indonesia (1901-1970) berpesan: “Kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”

Menyangkut perkara duit (uang), penulis Amerika Serikat (AS), Mark Twain (1835-1910) berpetuah: "Bekerjalah bagaikan tak butuh uang."

Namun kekuasaan, apapun alasannya, kalau bisa tak ada batasnya. Lantaran kekuasaan adalah ukuran derajat kendali, sejauh mana derajat ini dimiliki untuk memengaruhi kehidupan dan tindakan orang-orang sekeliling maupun di wilayah teroterial –terasa begitu nikmat. Mungkin hanya orang bodoh yang tidak butuh kenikmatan ini.

Maka, pesan Soekarno tadi terasa mengiris psikologis, pedih, bilamana hal ini disandingkan dalam baki-baki tuntutan para kades tersebut. Oleh karenanya, pesan Soekarno dijebloskan ke dalam pengertian transendental, tidak kontekstual, dan banal. Lalu, lupakan.

Hal yang sama dengan petuah filosofis Mark Twain: sebuah petuah tanpa kesadaran, karenanya lupakan saja. Apalah artinya bekerja keras. Sudah susah payah menghilangkan malas, harus pula mematikan kesadaran motivasi mendapatkan uang. Maka dikesankan petuah ini hanya cocok buat para pemimpi, bukan para pemimpin.

Identifikasi Pemimpin

Sekalipun di desa, pemimpin adalah pemimpin, maka ia punya pengaruh. Pengaruh ini, karena di desa pula, bisa karena faktor keturunan (disnasti), partai politik, agama, maupun kapasitas sang subyek itu sendiri.

Setidak-tidaknya, semua faktor pengaruh itu dikapitalisasi. Proses ini harus dilalui dari skala kecil, umpamnya proses kerja bakti atau kegiatan sosial desa. Momentum ini adalah proses yang sangat sensitif, yang sangat dalam tersimpan dalam memori warga desa.

Bila di momentum itu warga hilang feeling, tidak simpatik, karena tokoh yang bersangkutan tidak responsif terhadap kegiatan, ini menjadi faktor minus. Keguyuban masayarakat desa dalam aksi sosial, sesungguhnya menjadi tes kemampuan seseorang hadir di tengah-tengah keguyuban itu untuk menanamkan pribadi yang pesona agar kelak punya “modal” calon kepala desa.

Jadi tidak main-main bahwa kepala desa pun adalah pemimpin, sebagai kepala pemerintahan desa yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa. Juga melaksanakan pembangunan, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Di wilayah Republik Indonesia ada 81.616 desa (BPS, 2022). Jadi dalam hitungan gampang: jumlah kades sebanding dengan jumlah desa.

Baca juga: Masa Jabatan Kepala Desa Menurut Undang-undang

Jabatan kepala desa di setiap wilayah pun berbeda-beda penyebutannya. Di wilayah Bolaang Mongondow, kepala desa biasa disebut sangadi. Berbeda halnya di wilayah lain, penyebutan kepala desa beragam seperti geuchik (Aceh), wali nagari (Sumatera Barat), pambakal (Kalimantan Selatan), hukum tua (Sulawesi Utara), perbekel (Bali), kuwu (Pemalang, Brebes, Tegal, Cirebon dan Indramayu), pangulu (Simalungun, Sumatera Utara), peratin (Pesisir Barat, Lampung), dan kapala lembang (Tana Toraja & Toraja Utara, Sulawesi Selatan).

Permainan Politik

Kehidupan demokrasi di negeri ini tidak terlepas dari praktik-praktik demokrasi yang diimplementasikan masyarakat desa. Praktik demokrasi ini berkaitan kuat dengan sejauh mana efektif pelaksanaan Pasal 1 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pemerintah desa adalah penyelenggara urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Maka penyelenggaraan pemerintahan desa mesti mengakomodasikan aspirasi dan misi menyejahterakan dan membahagiakan masyarakat yang dipimpin.

Di dalam sistem nilai kebudayaan desa, tokoh atau subyek yang punya laku demikian, punya pengaruh kuat dan gampang diterima khalayak. Sehubungan dengan asumsi bahwa masyarakat desa gampang manut, mudah dipengaruhi atupun lancar diatur-atur, membuat tokoh yang berpengaruh itu bernilai “mahal” bagi sejumlah partai politik (parpol).

Ironisnya, si tokoh ini memang tahu bahwa ia punya kapital untuk jual mahal. Maka parpol mana yang cuma bisa merayu ataupun punya kemampuan “membeli” tokoh untuk jadi kades, tidak kasat mata diketahui tapi aromanya sangat kuat berhembus tatkala jelang dan saat pemilihan kepala desa (pilkades).

Keuntungan yang didapat parpol dari sana, sekurang-kurangnya basis massa demikian menguat. Faktor keuntungan ini yang sangat mungkin membuat kancah perpolitikan di parlemen “akur-akur” selalu dengan eksekutif merespon tuntutan demo para kades.

Sepertinya para kades yang juga mulai cekatan membaca “wangsit” politik, hingga ini dapat dibaca mengapa tututan itu justru marak di tahun politik. Lagi pula, tututan para kades yang berdemo di depan Gedung DPR itu bukanlah “demi” rakyat yang terhina dan terlantar.

Masyarakat desa demikian terhina, kemajuan bangsa abad 21 justru masih didapati seperti penghidupan abad 17: kemiskinan merajalela, masyarakat terlantar dan tertindas.

Tututan mereka justru berkutat pada perputaran kekuasaan dan pengelolaan dana desa, dalam bentuk permainan politik dari sebuah pergeseran idetifikasi desa mau jadi kota. Maka saat sejumlah televisi menayangankan demo mereka, banyak tersorot laku mereka “bergaya” menikmati cita rasa kota.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi