Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa Harus Ditolak?

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Bahrul Ghofar
Koordinator Kades asal Gresik, Bahrul Ghofar, ketika berorasi dalam aksi damai yang digelar, sebelum rombongan Kades dari seluruh Indonesia menuju gedung DPR RI, Selasa (17/1/2023).
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun menuai kritikan.

Diketahui, ribuan kepala desa melakukan aksi demo menuntut revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 di Gedung DPR, Selasa (17/1/2023

Mereka meminta agar masa jabatan kepala desa diperpanjang dari 6 tahun menjadi 9 tahun.

Politisi PDI-P Budiman Sudjatimko bahkan telah menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyampaikan aspirasi perubahan periodisasi jabatan kepala desa tersebut.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salah satu alasannya adalah aturan tersebut membuat boros dan banyak menimbulkan gesekan sosial.

Baca juga: Demo Minta Masa Jabatan Ditambah Jadi 9 Tahun, Berapa Gaji Kepala Desa?


Lantas, mengapa perpanjangan masa jabatan kepala daerah tersebut harus ditolak?

Minimnya leadership kepala desa

Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai, usulan tersebut harus ditolak karena dapat merusak demokrasi.

Menurutnya, masa jabatan 6 tahun merupakan waktu yang sangat cukup untuk mengatasi keterbelahan sosial akibat pemilihan kepala desa.

"Ini juga waktu yang sangat lama untuk untuk memerintah desa dengan jumlah penduduk yang rata-rata hanya puluhan ribu," kata Ubed kepada Kompas.com, Jumat (19/1/2023).

Baca juga: Menteri Risma Terima Laporan Bansos PKH Mengalir ke Keluarga Lurah dan Kades, Sebetulnya untuk Siapa?

Karena itu, persoalan substansinya lebih pada minimnya kemampuan leadership kepala desa dalam membangun dan mengatasi keterbelahan sosial.

Jika persoalan substansi tersebut tak diatasi, maka perpanjangan 9 tahun masa jabatan pun tidak bisa mejawab persoalan.

"Jika masalah substansinya tidak diatasi, maka kepala desa tidak akan mampu jalankan program-programnya dengan baik, termasuk tidak mampu atasi problem keterbelahan sosial itu. Jadi solusinya bukan perpanjang masa jabatan," jelas dia.

Baca juga: Tersangka Korupsi Rp 150 M di Bengkulu Dilantik Jadi Kades, Bagaimana Aturan Hukumnya?

Selain itu, Ubed juga menampik dana pilkades akan mengganggu dana pembangunan.

Pasalnya, dana pilkades sudah disiapkan APBN dan dianggarkan sesuai peruntukannya.

"Angka dana pilkades itu seluruh Indonesia saya hitung totalnya tidak sampai Rp 50 triliun, itu pun pilkades tidak dilakukan serentak, masing-masing daerah berbeda-beda waktunya sehingga dananya tidak dubutuhkan dalam waktu yang sama," kata dia.

Oleh karena itu, Ubed menganggap lemah argumen perpanjangan masa jabatan kepala desa dan justru merusak demokrasi.

Baca juga: Masa Jabatan Kepala Desa Menurut Undang-undang

Benih otoritarian dan korup

Ia menuturkan, jabatan publik yang dipilih rakyat dalam demokrasi harus dipergilirkan agar terhindar dari kecenderungan otoriterian dan korup.

"Bayangkan 6 tahun saja sudah ada 686 kepala desa tersangka korupsi, apalagi 9 tahun," kata dia.

"Selain itu, menurut Pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan kepala desa dapat ikut pilkades selama tiga periode berturut-turut atau tidak berturut-turut. Kalau 9 tahun berarti kepala desa bisa menjabat sampai 27 tahun," lanjutnya.

Baca juga: Viral Video Kades di Wonosobo Sumbang Tanah untuk Makam Pasien Virus Corona

Menurutnya, ini merupakan periode yang berpotensi besar menjalankan praktek korupsi.

Ia menjelaskan, temuan risetnya Lord Acton pada awal abad 20 menyimpulkan, power tend to corrupt and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup).

"Jadi usulan perpanjang periode menjadi 9 tahun itu ide yang bertentangan dengan demokrasi sebab demokrasi menolak keras kekuasaan yang absolut," tutupnya.

Baca juga: Viral, Video Kades di Wonosobo Sumbangkan Gajinya untuk Tangani Virus Corona

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi