Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi dan konsultan komunikasi
Bergabung sejak: 6 Mei 2020

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Anies Baswedan "Jalan-Jalan" dan Pelabelan "Ditakuti"

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/M. Elgana Mubarokah
Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang diusung partai Nasdem menjadi calon Presiden tahun 2024 belum menentukan siapa yang akan mendampinginya mengarungi kontestasi Politik 2024 nanti.
Editor: Egidius Patnistik

“Abdi nu ngider naha anjeun nu keder” – Anies Baswedan.

TULISAN berbahasa Sunda di kaos yang dikenakan Anies Baswedan saat sosialisasi pencapresan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (22/1/2023) tak pelak mengundang beragam tanya. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, arti dari selarik kalimat tersebut adalah: Saya yang jalan-jalan, kenapa Anda yang takut.

Bagi pendukung Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, atau Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, harus diakui nama mantan Gubernur DKI Jakarta itu adalah rival terberat dalam berbagai hasil jajak pendapat oleh berbagai lembaga survei sebagai bakal calon presiden di Pilpres 2024. Beragam lembaga survei, saling bergantian menempatkan tiga kandidat sebagai pemuncak hasil survei untuk capres di Pilpres 2024.

Baca juga: Survei LSI: Elektabilitas Ganjar Pranowo Teratas, Prabowo dan Anies Bersaing Ketat

Hanya saja secara rata-rata, Ganjar yang secara konsisten menempati urutan pertama. Endors politik yang disampaikan secara terbuka oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap sosok capres yang akan didukungnya, lebih banyak mengarah kepada sosok Ganjar Pranowo ketimbang Prabowo Subianto.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selain memiliki chemistry, antara Ganjar dengan Jokowi ditautkan dengan kesamaan asal partai, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Beragam “kode keras” yang dilontarkan Jokowi di berbagai kesempatan agar memilih sosok yang berambut putih dan wajah berkerut diterjemahkan publik kepada sosok Ganjar.

Prabowo, Anies, Puan Maharani, Muhaimin Iskandar apalagi Agus Harimurti Yudhoyono jelas tidak memiliki kriteria tersebut. Sosok berambut putih dan berwajah keriput dikonotasikan Jokowi sebagai tipe pemimpin yang suka bekerja keras. Pemimpin harus rajin turun ke lapangan. Bukan ngadem di ruangan berpendingin, alih-alih pemimpin yang rajin facial dan rutin perawatan ke salon kegantengan.

Baca juga: PDI-P Tegaskan Jokowi Tak Endorse Siapa Pun soal Pemimpin Berambut Putih

Bahkan di suatu acara relawan Jokowi di Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, Jokowi tanpa tedeng aling-aling menyebut sosok capres mendatang mungkin telah hadir bersama di acara itu. Padahal, hanya sosok Ganjar yang digadang-gadang berbagai kalangan sebagai capres idola di Pilpres 2024 hadir dan menemani Jokowi di acara tersebut.

Terhadap sosok Anies Baswedan, Jokowi secara tersirat dan tersurat tidak bisa memungkiri bahwa dirinya “berseberangan” dengan Anies yang pernah menjadi bekas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di kabinet periode pertama Jokowi menjadi presiden.

Berulang kali Jokowi menyerukan agar calon pemilih di Pilpres 2024 menghindari politik identitas yang rawan memecah belah bangsa. Politik anti kebinekaan sangat mencederai tujuan para pendiri bangsa agar “keguyuban” beragam suku, agama, dan aliran kepercayaan menjadi perekat kebangsaan.

Publik tentu masih mengenang, pemilihan gubernur di DKI Jakarta tahun 2017 yang berlangsung dua putaran begitu banyak meninggalkan “luka”. Demi mengalahkan Ahok, petahana gubernur mantan pasangan Jokowi saat menjabat gubernur DKI, pendukung Anies melancarkan “semua cara”. Mulai dari strategi penggunaan “ayat” hingga “mayat” dilancarkan relawan dan tim pendukung Anies.

Hasilnya Anies melenggang. Ahok kalah. Jagat politik kita pun memiliki jejak kelam tentang kampanye politik yang tidak beradab dan bermartabat. 

Anies telah dengan tegas membantah dirinya menggunakan politik identitas dan anti kebinekaan. Anies justru menunjukkan pencapresannya oleh Partai Nasdem bersama PKS dan Demokrat di Koalisi Perubahan malah “dicemaskan berlebihan “ oleh partai-partai lain.

Kesantunan dalam politik adalah trade mark dari mantan Rektor Universitas Paramadina itu. Kelihaian Anies dalam memilin dan mematut kata demi kata adalah kepiawaian yang susah ditandingi oleh Ganjar dan Prabowo.

Memang Bisa Hanya Tidur Bisa Menang?

Politik pada dasarnya bukan perang. Tetapi efek dari situasi yang diciptakan oleh kampanye politik bisa berubah menjadi perang ketika kampanye politik dijadikan sebagai arena untuk “membantai” lawan politik tanpa etika, sopan santun politik.

Pilkada DKI Jakarta dan Pilpres di 2014 serta 2019 membuktikan kampanye ternyata bisa berakhir di meja pengadilan agama. Akibat beda pilihan, sepasang suami-istri bisa bercerai dan bubar rumah tangganya. Ikatan pertemanan dan kekeluargaan juga berakhir bubar karena beda pilihan politik.

Akan sangat “lucu” dan “janggal” segregasi politik akibat perbedaan pilihan yang begitu tajam di antara kubu-kubu yang bersebarangan, ternyata berbeda di panggung politik utama. Jokowi merekrut rival terkuatnya di pilpres dengan menjadikan Prabowo dan Sandiaga Uno sebagai “pembantu” di kabinetnya.

Kampanye politik merupakan sebuah upaya untuk memengaruhi pemilih supaya menentukan pilihan sesuai dengan tujuan sang kandidat. Oleh sebab itu, sering kali kampanye politik diisi oleh penjaringan terhadap pribadi- pribadi kandidat dan pendukungnya dengan membuka keburukan-keburukan dari segala dimensi.

Cara Anies Baswedan mengenakan kaos sindiran “Abdi nu ngider naha anjeun nu keder” adalah tepat untuk menggambarkan dirinya tengah “dikuyoh-kuyoh” para elite politik partai-partai dan elite pemerintahan. Hanya saja Anies mungkin tidak menyadari, cara tersebut juga semakin “mengokohkan” imaji publik bahwa dirinya adalah antitesa Jokowi.

Dengan melihat komposisi pendukung dan “pembenci” Jokowi berikut distribusi loyalitas kader dan simpatisan partai-partai pendukung Jokowi, para fans Anies tidak berpotensi “menggerus”, alih-alih merebut peta suara pro Jokowi.

Saya jadi teringat dengan Mario Balotelli ketika dia menjadi pemain Manchester City. Ia membuka jersey-nya saat pertandingan krusial di laga hidup dan mati City dengan Manchester United. Sebagai pemain bengal yang kerap berulah, Balotelli memperlihatkan tulisan “Why always me” sebagai bentuk protes pengingkar bahwa dirinya adalah pemain hebat bertalenta, bukan sebagai biang kerok.

Apakah publik langsung kesengsem dengan cara Balotelli di derbi Manchester di Liga Inggris musim 2011-2012 itu walau mencetak dwi gol? Ternyata tidak. Publik kadung antipati dengan pemain yang kerap berpindah-pindah klub karena temperamentalnya yang susah dikendalikan, baik di lapangan maupun di luar lapangan.

Labelling pada diri sendiri dengan menyebut dirinya adalah sosok yang ditakuti saat sedang kampanye atau bahasa halusnya sedang jalan-jalan tetapi menemui warga di berbagai daerah, tidak serta merta menguatkan brandingnya sebagai kekuatan “oposisi” bagi Jokowi atau siapa pun yang nantinya mendapat restu dari Jokowi di Pilpres 2024. Akan lebih ideal, amunisi politik tambahan bagi Anies Baswedan sebagai tokoh “oposisi” jika partai pendukungnya yakni Nasdem hengkang dari kabinet Jokowi – Maruf Amin.

Imaji publik akan oposisi semakin dilekatkan kepada Anies jika Nasdem berada di luar kabinet Jokowi, untuk menguatkan pagar oposisi yang sudah melekat pada Demokrat dan PKS di dua periode kepresidenan Jokowi.

Dengan posisi Nasdem yang “bermain” dua kaki, yakni satu kaki masih enggan melepaskan diri dari kabinet serta di satu kaki lain yang “menginjak” Anies untuk direkomendasikan sebagai capres semakin sulit mencitrakan Anies sebagai tokoh oposisi yang layak menyebut dirinya “Abdi nu ngider naha anjeun nu keder”?

Belum lagi, Nasdem begitu “cerdik” mempermainkan dua sekondannya di Koalisi Perubahan untuk menyerahkan urusan cawapres kepada Anies seorang. Demokrat yang terlalu “ngebet” mencalonkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapares sebagai “harga mati” begitu tidak rela jika posisi pendamping Anies nantinya diambil dari PKS, yakni mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Demikian juga dengan cawapres dari luar koalisi, seperti nama mantan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa atau Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Demokrat selalu antipati.

Demokrat yang merasa memiliki andil suara dalam Koalisi Perubahan dan begitu “pede” dengan elektabilitas AHY, merasa AHY-lah yang layak menjadi “pengantin”-nya Anies.

Sementara Nasdem dan Anies tentu tidak ingin kalah “konyol” jika pangsa pasar politiknya hanya terbatas di tiga partai anggota Koalisi Perubahan saja. Rumus umum dari keberhasilan merebut konsumen di pasar politik adalah memperbesar lebar pita dukungan, tidak saja sebatas di pasar tradisional tetapi juga menarik “minat” di pasar lain. Potensi suara di kalangan anak muda, harus diambil dengan memahami keinginan anak muda di pasar politik.

Beberapa waktu yang lalu ada seorang pengamat politik yang menyebut Wali  Kota Solo, Gibran Rakabumi, “tidak perlu kampanye” dan hanya “tinggal tidur” jika putra sulung Presiden Jokowi itu ingin memenangkan kontestasi di pemilihan gubernur Jawa Tengah. Selain karena moncernya Gibran dalam jejak kepemimpinan di lapangan, elektabilitas Gibran juga menjanjikan untuk ajang pemilihan kepala daerah serta besarnya dukungan partai-partai.

Dalam strategi kampanye, tidak ada istilah “tinggal tidur” dan “pasti menang” mengingat memori calon pemilih masih labil sehingga membutuhkan penetrasi politik yang ajeg. Kampanye harus dikemas dengan strategi.

Menurut Andrew Lock dan Phil Harris (Political Marketing – Vive la Difference !, European Journal of Marketing Vol 30, 1996) kampanye politik bertujuan untuk pembentukan imaji politik. Untuk itu parpol harus menjalin kegiatan kampanye, biasanya diarahkan untuk menciptakan perubahan pada tatanan pengetahuan dan kognitif. Pada tahap ini pengaruh yang diharapkan adalah munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan, atau meningkatnya pengetahuan khalayak terhadap isu tertentu.

Pada tahap berikutnya diarahkan pada perubahan sikap. Sasarannya adalah untuk memunculkan simpati, rasa suka, kepedulian, atau keberpihakan khalayak pada isu-isu yang menjadi tema kampanye.

Sementara pada tahap terakhir kegiatan kampanye ditujukan untuk mengubah prilaku khalayak secara konkret dan terukur. Tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye. Tindakan ini dapat terjadi sekali itu saja atau juga terjadi secara berkelanjutan.

Anies sadar peluangnya untuk menang tidak boleh redup di saat dirinya sudah menanggalkan jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta. Prabowo dan Ganjar masih diuntungkan dengan posisinya.

Baca juga: Anies Baswedan Siapkan Tiga Kriteria Cawapres, Harus Mewujudkan Keadilan Sosial

Jadi, salahkah Anies melakukan kampanye dini sementara partai-partai lain masih bingung mencari format koalisi dan gamang mencari sosok yang potensial menang di Pilpres 2024? Anies harus “jalan” terus untuk kampanye mengenalkan profilingnya kepada calon pemilih.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi