Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 26 Jan 2023

Dosen Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Tantangan Menjadikan Serangga Sumber Protein Hewani Berkelanjutan

Baca di App
Komentar Lihat Foto
BLOOMBERG VIA THE STRAITS TIMES
Badan Pangan Singapura (SFA) menilai bahwa spesies serangga tertentu dengan riwayat konsumsi manusia dapat diizinkan untuk digunakan sebagai makanan.
Editor: Egidius Patnistik

DALAM rangka Hari Gizi Nasional pada 25 Januari ini, kita diingatkan tentang pentingnya peran protein terutama untuk pencegahan stunting. Hari Gizi Nasional 2023 bertemakan “Cegah Stunting dengan Protein Hewani”.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki target untuk menekan angka stunting di Indonesia menjadi sebesar 14 persen di tahun 2024. Saat ini  angka stunting Indonesia21,6 persen, telah turun dari 24,4 persen di tahun 2021. 

Protein hewani dinilai berperan dalam mencegah stunting karena memiliki kandungan asam amino yang lebih lengkap dengan tingkat kecernaan yang baik karena tidak mengandung zat-zat anti-gizi yang dapat mengganggu proses penyerapan protein dalam tubuh. Beberapa pangan yang terkenal sebagai sumber protein hewani antara lain daging, susu, dan telur.

Baca juga: Manusia Masa Depan Mungkin Harus Makan Serangga dan Rumput

Namun daging, susu, dan telur dihasilkan dari peternakan yang notabene dapat menghasilkan efek gas rumah kaca (GRK) yang menjadi pemicu pemanasan global.  Peternakan berkontrobusi pada efek GRK sebesar 18 persen. Di pulau Jawa, misalnya, peternakan sapi potong menyumbang 11.684 Gg CO2/tahun.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat ini, Organisasi Pangan dan Pertanian di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau FAO mengkampanyekan budaya makan serangga sebagai pengganti sumber protein hewani yang berkelanjutan.

Budidaya serangga terbukti menghasilkan efek GRK yang jauh lebih rendah dari peternakan pada umumnya, membutuhkan lahan dan air yang jauh lebih sedikit, dengan kandungan protein yang hampir setara dengan daging sapi sehingga menjanjikan untuk digunakan sebagai sumber protein hewani masa depan.

Selain itu, serangga memiliki kandungan lemak tidak jenuh yang tinggi dan dinilai lebih bermanfaat bagi kesehatan.

Tantangan Jadikan Serangga sebagai Pangan

Sesungguhnya, budaya makan serangga sudah ada sejak dahulu. Namun budaya itu tergerus perkembangan zaman dengan adanya diversifikasi sumber pangan yang lain akibat kemajuan teknologi seperti teknologi pertanian dan peternakan yang lebih maju dan mampu menghasilkan sumber pangan yang lebih beragam.

Namun, saat ini kita dipaksa kembali untuk menghidupkan budaya entomofagi (memakan serangga) demi menjamin keberlangsungan kehidupan manusia melalui lingkungan yang sehat dan kebutuhan gizi yang dapat terpenuhi secara optimal. Hal ini tentunya tidak mudah dan masih menjadi tantangan mengingat anggapan masyarakat saat ini terhadap serangga yang merupakan makanan ekstrim, menggelikan, serta tidak lazim dikonsumsi.

Alergen pada serangga dan racun yang dihasilkan masih menjadi ketakutan masyarakat untuk mengonsumsi serangga. Belum lagi, beberapa kejadian yang menyoroti keracunan akibat mengonsumsi serangga meningkatkan ketakutan masyarakat.

Meski demikian, sebagian kecil negara di dunia seperti Mexico dan Thailand telah menjadikan serangga sebagai salah satu pangan yang lazim dikonsumsi. Pangan dari serangga dipasarkan sebagai kami lima (street food) hingga restoran mewah. Belalang, jangkrik, ulat hongkong, dan ulat sagu merupakan serangga yang paling populer untuk dikonsumsi.

Beberapa produsen makanan di dunia juga telah menciptakan produk berbasis serangga yang dikemas menarik dan kekinian seperti serangga goreng berbumbu dengan kemasan menyerupai camilan ringan.

Minat entomofagi di Indonesia masih perlu digenjot agar persepsi masyarakat yang hobi mengonsumsi daging ternak dapat beralih mengonsumsi serangga.

Peran Teknologi Pangan

Identifikasi jenis-jenis serangga yang aman untuk dikonsumsi dan bagaimana menciptakan produk-produk berbasis serangga yang enak dan disukai konsumen dari segi rasa dan tampilan perlu dilakukan. Tepung serangga bisa menjadi jawaban atas dilema entomofagi, mengingat tepung serangga mampu menyamarkan bentuk serangga yang dianggap menggelikan.

Selain itu, tepung serangga dapat diaplikasikan secara luas seperti digunakan sebagai bahan pembuatan daging analog pengganti daging ternak maupun ditambahkan pada produk-produk bakeri, mi, dan lain-lain. Daging yang dibuat menggunakan teknologi printing 3-dimensi dengan bahan berbasis tepung serangga dan pewarna alami memiliki bentuk, tekstur, dan warna yang sangat mirip dengan daging merah.

Baca juga: Tersesat, Fotografer Australia Bertahan Hidup dengan Makan Serangga

Penambahan tepung serangga pada produk bakeri maupun mi dapat meningkatkan kandungan protein.

Peran teknologi pangan sangat dibutuhkan dalam mengatasi dilema budaya entomofagi yang saat ini dianggap sebagai jawaban pemenuhan protein hewani berkelanjutan melalui inovasi produk-produk berbasis serangga yang aman, menarik, serta mampu memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi