Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ristiana D. Putri
KOMPAS.com - Di Indonesia, ada banyak tragedi pelanggaran hak asasi manusia yang hingga kini belum terselesaikan. Beberapa kasusnya yang cukup dikenal masyarakat adalah pembunuhan Marsinah, hilangnya Wiji Thukul, hingga peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Namun, ada pula tragedi pelanggaran kemanusian yang dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz di Timor Timur. Sebagai warga asli, Alexandra Tilman pun akan selalu mengingat kejadian ini. Bahkan, hal inilah yang membuatnya menjadi sastrawan yang peduli dengan isu-isu sosial.
Perempuan pemerhati sastra Timor-Leste ini pun berbagi kisahnya bersama Wisnu Nugroho, Pemimpin Redaksi Kompas.com, dalam siniar Beginu bertajuk “Alexandra Tilman, Sajak Duka Santa Cruz” dengan tautan dik.si/BeginuAlexandraP1.
Sastrawan yang Berani Menentang Pelanggaran HAM
Alexandra adalah seorang sastrawan yang tak gentar menyuarakan isu sosial dan kemanusiaan. Melalui puisi ekstremnya, ia menolak hal-hal yang tak sesuai dengan kebenaran dan keadilan.
Perempuan itu mengatakan, “Saya ingin menyuarakan suara yang selama ini terpendam di masyarakat kecil karena mereka tak bisa bersuara. Supaya mereka ada yang memperjuangkan meskipun hanya bait semata.”
Baca juga: Mengenal Oei Hong Djien, Lulusan Kedokteran yang Memilih Jadi Kurator Seni
Salah satunya ia torehkan ke dalam puisi “Pagi November”. Puisi ini mengisahkan kesedihan yang luar biasa atas kematian dan harapan-harapan yang selama ini diinginkan oleh masyarakat Timor Leste atas tragedi Pembantaian Santa Cruz.
Alexandra pun Mengecam oknum-oknum tak bertanggung jawab yang memicu pertumpahan darah dan masyarakat kecil yang jadi korban.
Ada pun pembuatan puisi ini didasari oleh dirinya yang saat itu berusia 14 tahun membantu menyembunyikan salah satu korban pembantaian yang bersimbah darah di rumahnya.
Awal Mula Pembantaian Santa Cruz: Kisah Kelam Bagi Timor Timur
Mengutip Kompas.com, Pembantaian Santa Cruz adalah peristiwa penembakan terhadap kurang lebih 250 pengunjuk rasa pro-kemerdekaan Timor Timur pada 12 November 1991. Pada saat itu, Indonesia sedang menduduki di Timor Leste.
Pada Oktober, dikabarkan ada delegasi yang berisi anggota parlemen Portugal dan 12 orang wartawan yang akan mengunjungi Timor Timur. Hal inilah yang menyebabkan para mahasiswa bersiap-siap menyambut kedatangan mereka.
Namun, rencana ini dibatalkan setelah pemerintah Indonesia mengajukan keberatan atas rencana kehadiran Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu.
Joleffe sendiri adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin. Pembatalan ini menyebabkan kekecewaan mahasiswa pro-kemerdekaan.
Situasi pun memanas hingga puncaknya, pada 28 Oktober, terdapat konfrontasi antara aktivis pro-integrasi dan kelompok pro-kemerdekaan yang pada saat itu tengah melakukan pertemuan di Gereja Motael, Dili.
Peristiwa itu mengakibatkan tewasnya Afonso Henriques, perwakilan kelompok pro-integrasi, dan seorang aktivis pro-kemerdekaan, Sebastião Gomes, karena ditembak mati oleh tentara Indonesia.
Hari Pembantaian Santa Cruz yang Memilukan
Dua minggu setelahnya, pada 12 November 1991, Pastur Alberto Ricardo memimpin misa arwah untuk memperingati kematian Gomez di gereja yang sama. Misa itu pun diikuti oleh ribuan umat Katolik Timor Leste.
Setelah Misa dilaksanakan, sekitar 500 orang keluar dari gereja sambil membawa spanduk pemimpin pro-kemerdekaan Timor Leste, Xanana Gusmao.
Mereka berjalan sejauh 4 kilometer ke pemakaman Santa Cruz, tempat Gomez dimakamkan. Namun, sesampainya di sana, tentara Indonesia pun telah bersiaga.
Baca juga: Merenungi Kembali Ekosistem Digital di Indonesia
Saat tentara Indonesia berhadapan dengan pengunjuk rasa, beberapa demonstran dan seorang mayor asal Indonesia bernama Lantara, ditusuk. Namun, salah satu demonstran mengklaim Lantara telah menyerang pengunjuk rasa, termasuk seorang anak perempuan yang mengibarkan bendera Timor Leste.
Mengutip Kubiak (2008), aktivis Fretilin, Constâncio Pinto, mengatakan beberapa orang mengaku dipukuli oleh tentara dan polisi Indonesia. Bahkan, saat berada di dalam TPU Seroja, tentara melepaskan tembakan ke arah ratusan warga sipil tak bersenjata. Akibatnya, 250 warga Timor Timur pun tewas seketika.
Dua Jurnalis Amerika Serikat Sebagai Saksi Kunci
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat, Amy Goodman dan Allan Nairn, dan direkam oleh Max Stahl yang diam-diam membuat liputan untuk Yorkshire Television.
Namun, saat berada di sana, ketiganya pun tak luput dari kekerasan para tentara. Bahkan, tengkorak Naim sampai retak. Meski begitu, ketiganya berhasil menyelundupkan pita video ke Australia.
Mereka memberikannya ke Saskia Kouwenberg, wartawan Belanda, untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera.
Baca juga: Uninvolved Parenting, Ketika Orangtua Lalai Mengasuh Anak
Berkat usaha mereka, rekaman yang menjadi saksi bisu kebengisan dan kebrutalan tentara Indonesia pada saat itu pun dapat diakses oleh banyak pihak.
Lantas, bagaimana situasi Alexandra saat dihadapkan dengan korban pembantaian ini? Dan, bagaimana ia mampu berani membuat karya-karya kiri yang menentang?
Temukan jawabannya melalui perbincangan Alexandra dengan Wisnu Nugroho dalam siniar Beginu bertajuk “Alexandra Tilman, Sajak Duka Santa Cruz” di Spotify.
Di sana, ada banyak kisah dari para tokoh inspiratif yang mampu memberikan perspektif baru untuk hidupmu.
Tunggu apalagi? Yuk, ikuti siniar Beginu dan akses playlist-nya di YouTube Medio by KG Media agar kalian tak tertinggal tiap ada episode terbarunya!
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.