KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari menganggap, usulan penghapusan jabatan gubernur oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terburu-terburu.
Pasalnya, penghapusan itu tak bisa dilakukan tanpa kajian mendalam.
"Tidak bisa tanpa kajian, terburu-buru, kemudian mengusulkan penghapusan," kata Feri saat dihubungi Kompas.com, Selasa (31/1/2023).
"Apalagi soal jabatan gubernur itu di mana-mana ada, karena dia kepala pemerintahan daerah. Jadi bagi saya usulan itu terlalu dini," sambungnya.
Feri menuturkan, jabatan gubernur juga diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sehingga tak mungkin untuk menghapus jabatan itu.
Baca juga: PKB Dorong DPR Bentuk Tim Kajian Matangkan Usulan Penghapusan Jabatan Gubernur
Pasal tersebut berbunyi: "Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang."
Karena itu, ia menilai usulan penghapusan gubernur itu hanya sekadar melempar isu.
"Apalagi di tengah tahun politik, kesan yang didapat ini hanya melempar isu saja," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menganggap jabatan gubernur sebaiknya dihapus karena tidak terlalu efektif.
Menurutnya, anggaran untuk gubernur juga terlalu besar, meski hanya bertugas menghubungkan antara pemerintah pusat dengan pemerintah kabupaten atau kota.
"Pada dasarnya fungsi itu terlampau tidak efektif, anggarannya besar tapi tidak langsung, tidak mempercepat," kata Muhaimin saat ditemui di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (30/1/2023).
Baca juga: Muhaimin Usul Jabatan Gubernur Dihapus karena Tak Efektif dan Anggarannya Terlalu Besar
Ia mengatakan, pihaknya saat ini sedang mematangkan usulan itu dengan para ahli.
Sebelum usulan menghapus gubernur, PKB lebih dulu mengusulkan pemilihan gubernur secara langsung ditiadakan.
Bagi Muhaimin, pemilihan kepala daerah secara langsung cukup pada level pemilihan bupati atau wali kota.
Ia menuturkan, banyak hal yang harus dievaluasi dalam sistem politik Indonesia di era Reformasi.
Salah satunya adalah politik yang pragmatis dan berlangsung bagaikan kompetisi yang tidak ada habisnya.
"Kelihatannya damai tapi kompetisinya tidak pernah berhenti 24 jam, ini sistem yang melelahkan, apalagi di pemilu sangat pragmatis, uang menentukan banyak hal dalam perilaku pemilih," jelas dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.