Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 20 Jan 2023

Pengajar Paruh Waktu FIKOM Universitas Multimedia Nusantara

Politik Virtual, Propaganda, dan Literasi Media

Baca di App
Lihat Foto
Smartmeetings.com
Ilustrasi virtual meeting.
Editor: Egidius Patnistik

KITA sudah berada pada era teknologi digital. Dalam teknologi digital, dibantu dengan koneksi internet, terdapat ruang publik yang juga digital.

Dalam ruang ini, semua orang dapat masuk, keluar, berbincang, beropini sesuai dengan keinginannya. Siapa pun itu dapat berinteraksi di ruang tersebut yang sering disebut dengan ruang virtual.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), virtual artinya mirip atau sangat mirip dengan sesuatu yang dijelaskan; arti lain adalah hadir dengan menggunakan perangkat lunak komputer, misalnya di internet.

Jadi, apa yang ada di dalam ruang tersebut hanya berbentuk suatu simbol, avatar, dan nama akun, termasuk manusia. Apakah itu merupakan sosok yang sama dalam kehidupan nyata? Apakah gambar avatar atau profil yang digunakan merupakan foto dari wajah aslinya atau hanya mirip?

Baca juga: Corona dan Revolusi Ruang Virtual

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tidak dapat kita pastikan jika kita tidak benar-benar tahu orang tersebut di dunia nyata. Begitu pun dengan dengan pandangan maupun opininya. Kita tidak tahu secara pasti apakah pandangan, pendapat, dan pengetahuannya memang merupakan pemikirannya. Atau jangan-jangan pemikirannya tersebut merupakan pikiran orang lain.

Bertemunya manusia di ruang virtual tersebut memiliki beragam motivasi. Ada yang ingin bergaul, bersosialisasi, bertemu teman lama dan baru. Secara motif ekonomi, ada yang ingin berdagang, saling bertukar barang sesuai kebutuhannya.

Ada juga motif politik, seperti memperjuangkan suatu isu, menyampaikan pendapatnya, menawarkan tawaran kebijakan, dan juga tentunya mengenalkan dirinya sebagai kandidat suatu pemilihan kepala daerah atau negara.

Aktivitas ruang virtual dengan motif politik dilakukan dengan menggunakan media sosial yang sudah banyak kita tahu, seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, dan TikTok. Situs media sosial (terkadang disebut situs jejaring sosial) adalah tempat orang berinteraksi dengan orang lain, bertukar informasi, hiburan, dan berita pilihan mereka dan buatan mereka sendiri, yang diakses secara daring.

Dampak Positif dan Negatif

Aktivitas politik virtual di media sosial ini, yang melibatkan banyak aktor, menimbulkan fenomena dampak positif maupun negatif. Dampak positif misalnya saja membuat mudahnya berkomunikasi antar aktor politik.

Seorang pemimpin daerah atau negara dapat dengan mudah dan cepat menyampaikan visi, misi, dan bahkan kegiatan sehari-harinya kepada rakyat dan konstituennya lewat media sosial.

Namun efek dari aktivitas politik virtual dapat juga berakibat buruk, misalnya mudahnya menyampaikan pesan-pesan propaganda negatif seperti berita bohong dan hoaks.

Jowett dan O’Donnell (2015) mendefinisikan propaganda sebagai upaya yang disengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi kognisi, dan perilaku langsung untuk mendapatkan respons yang mendekatkan maksud dan tujuan dari propagandis (pelaku propaganda).

Baca juga: Cara Terbaik Menyikapi Propaganda Politik di Media Sosial...

Alasan pelaku propaganda melakukannya tentu bermacam-macam. Salah satunya yang paling jelas, untuk mengalahkan lawan politik.

Tahun 2024, Indonesia akan mengadakan pemilihan umum. Pemungutan suara yang rencananya akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024 untuk memilih presiden, wakil presiden, dan anggota DPD, DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Artinya, pada tahun 2023, terutama di akhir tahun, akan banyak sekali kita temui aktivitas politik, baik di dunia nyata maupun virtual.

Aktivitas-aktivitas itu akan dilakukan baik oleh partai politik, para calon, simpatisan calon, media, dan publik umum dengan berbagai motif. Seperti pengalaman pemilu sebelumnya di tahun 2019 - yang sebenarnya sudah terbaca di Pemilu 2014 - muncul fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah negara ini, yaitu pertarungan politik sengit dalam ranah virtual terutama di media sosial.

Berbagai macam propaganda dalam bentuk misinformasi dan disinformasi. Misinformasi didefinisikan sebagai informasi yang tidak benar atau menyesatkan. Terlepas dari niat apa pun, informasi yang salah tidak akurat, atau informasi yang salah menyebabkan orang salah informasi.

Disinformasi adalah bagian dari misinformasi. Misinformasi didefinisikan sebagai informasi palsu yang sengaja dibuat dan sengaja disebarkan untuk memengaruhi opini publik atau menyesatkan kebenaran.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa penyebaran misinformasi dalam aktivitas politik yang meluas menjelang pemilu sayangnya telah menjadi fenomena umum di sebagian besar masyarakat demokratis. Sejak tahun 2014 dan memuncak tahun 2019, penggunaan ruang virtual untuk pertarungan politik semakin nyata. Ia menjadi salah satu ruang - bahkan mungkin ruang utama - untuk dimenangkan.

Pentingnya Literasi Media

Pertarungan tersebut menimbulkan masalah yaitu semakin terbelahnya masyarakat pemilih di Indonesia. Pertarungan tidak berhenti di ruang virtual tapi juga dalam kehidupan nyata. Kehidupan secara sosial menjadi tidak nyaman, bahkan sejak dari lingkungan sosial terkecil yaitu keluarga.

Parahnya, pertarungan atau pembelahan tersebut terus berlangsung saat pemilu sudah selesai. Kita saling tuduh, tidak percaya, dan curiga. Berbagai propaganda bermodus penyesatan informasi dalam berbagai format kemungkinan besar akan terjadi kembali dalam Pemilu 2024, bahkan sudah akan dimulai sejak tahun 2023. Kemungkinan dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih dibanding lima atau 10 tahun lalu.

Oleh karena itu, kita perlu tingkatkan literasi media yaitu kemampuan untuk menerapkan keterampilan berpikir kritis pada media massa (dan media sosial), sehingga menjadi warga negara yang lebih sadar dan bertanggung jawab— baik sebagai orang tua, pemilih, pekerja — dalam masyarakat yang digerakkan oleh media (Turow, 2020).

Caranya bisa dimulai dengan mempertanyakan konten-konten yang mencurigakan. Di saat kita membaca, menonton atau mendengar suatu konten dalam media - termasuk media sosial - yang membuat emosi kita sangat tergugah atau terguncang, seperti terlalu sedih, sesuatu yang too good to be true, atau juga sangat marah, kita perlu curiga terhadap konten tersebut.

Lalu, teliti lagi siapa pembuat konten tersebut. Jika pembuat konten tidak jelas asal usulnya, perlu dicurigai. Kemudian, selalu periksa ulang dengan berbagai media atau konten lainnya. Jika konten tersebut hanya satu-satunya yang membuat berita atau informasi tersebut, konten tersebut lagi-lagi perlu diwaspadai.

Yang terakhir, selalu menahan diri untuk tidak langsung membagikan suatu konten dan selalu periksa ulang konten tersebut seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi