Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ridwan Kamil, Atalia Praratya, dan Mengenal Apa Itu Dinasti Politik...

Baca di App
Lihat Foto
Dok HUMAS PEMPROV JABAR
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bersama istrinya, Atalia Praratya.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil diketahui telah memberikan restu agar istrinya Atalia Praratya dapat maju ke dunia politik dengan mengikuti bursa calon wali kota (cawalkot) Bandung.

Pernyataan ini muncul usai Ridwan Kamil bergabung menjadi kader Partai Golkar jelang pelaksanaan pemilihan umum 2024.

Diberitakan sebelumnya, nama Atalia Praratya menempati posisi tertinggi dengan 18,8 persen dalam hasil survei Indonesia Politics Research & Consulting (IPRC) pada periode 20-30 Juli 2022.

Baca juga: Langkah Bobby Nasution Menuju Pilkada Medan 2020...

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Atalia sendiri belum berniat masuk partai meski suaminya telah bergabung dengan Golkar.

Kendati demikian, tak menutup kemungkinan dirinya akan mengikuti jejak suaminya menjadi kader partai. Namun, hal itu harus dipertimbangkan secara matang.

"Tapi kalau pun saya harus masuk kuning maka harus pertimbangannya sangat masak sekali. Karena sejauh ini hati saya masih ke dunia sosial dan kemanusiaan," katanya dikutip dari Kompas.com, Rabu (1/2/22023).

Baca juga: Ketika Dinasti Politik Semakin Menguat...


Baca juga: Jadi Kader Golkar, Ini Profil dan Sepak Terjang Ridwan Kamil

Lantas, apa yang terjadi, politik dinastikah? 

Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Cecep Hidayat melihat pernyataan Ridwan Kamil yang membolehkan istrinya untuk berpolitik merupakan sebuah upaya untuk mendulang suara bagi partai politik.

Menurutnya, Ridwan Kamil populer di media sosial. Banyak orang menyukainya sehingga berpotensi tinggi mendatangkan suara pemilih.

Kepopuleran ini dapat dia gunakan dengan mengangkat nama sang istri Atalia Praraya untuk mendatangkan suara yang lebih banyak bagi parpol.

"Dia bisa meng-endorse istrinya, Jadi banyak orang yang suka, jadi bisa terpilih. Ada efek menarik pemilih," jelasnya kepada Kompas.com, Rabu (1/1/2023).

Baca juga: Bukan ke Demokrat dan PKS, Ini Alasan Surya Paloh Lebih Memilih Temui Golkar

Cecep menambahkan, partai politik tentu ingin mendapatkan suara yang tinggi di pemilu. Untuk itu, butuh sosok tokoh yang akan menarik suara.

Tokoh penarik suara ini bisa diambil dari orang terkenal, berduit, maupun anak atau keluarga dari pemimpin sekarang.

Menurutnya, parpol akan memliki suara tinggi jika ada tokohnya yang populer, disukai banyak orang, dan banyak dipilih publik.

"Mereka (orang dalam dinasti politik) punya sumber daya (untuk dipilih). Tidak ada aturan (larangan dinasti politik) karena semua orang memiliki hak politik," lanjutnya.

Baca juga: Mengapa Marak Fenomena Artis Terjun ke Politik?

Jika ada politikus di dalam dinasti politik yang mencalonkan diri, Cecep mengembalikan ini kepada keputusan para pemegang hak pilih.

"Ada pemilih yang rasional, ada yang tidak. Pemilih yang rasional akan memilih pemimpin yang tentu punya kapabilitas," ujar Cecep.

Meski publik yang menentukan politikus yang akan menjabat, ia tidak memungkiri keberadaan tokoh-tokoh penting itu juga akan mempengaruhi hasil pemilihan.

Baca juga: Survei Litbang Kompas: Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil, Capres dan Cawapres Favorit Gen Z

Fenomena dinasti politik

Cecep menjelaskan, fenomena dinasti politik muncul saat ada lebih dari satu anggota keluarga yang memegang suatu jabatan dalam dunia politik.

Keluarga yang melakukan dinasti politik tidak selalu keluarga inti. Sementara jabatan yang diemban bukan hanya berlaku di kalangan pemimpin daerah, tapi juga di lembaga eksekutif dan legislatif suatu pemerintahan.

Meski terkesan negatif, Cecep menyebut dinasti politik bukanlah sesuatu yang diharamkan. Fenomena ini juga terjadi di negara-negara maju, tidak hanya Indonesia.

"Secara demokrasi tidak dilarang. Tapi butuh ada batasan," kata dia.

Baca juga: Merosotnya Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia 2022, Warisan Buruk Jokowi

Ia menjelaskan, perlu dibentuk suatu kebijakan khusus yang mengatur keluarga yang ingin bersama-sama terjun ke dunia politik.

Regulasi ini ada untuk mencegah penyalahgunaan sumber daya dalam suatu kepemimpinan.

"Saat ada anggota keluarga yang menjabat, perlu ada (waktu) jeda. Misal, saat ada anak dan istri (yang akan sama-sama memimpin)," tambahnya.

Baca juga: Apakah Nomor Urut Partai Politik Peserta Pemilu 2024 Berpengaruh terhadap Pemilih?

Dari sisi lain, Cecep juga berpendapat jika partai politik perlu mengatur persentase kuota anggota keluarga yang bisa menjadi kader di dalamnya sesuai aturan Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) parpol.

"Harapannya, rekrutmen kader fair. Internal partai bikin kebijakan dalam AD/ART," katanya.

Ia menjelaskan, kaderisasi parpol yang baik seharusnya dilakukan berbasiskan merit system atau sistem merit. Awalnya, kader bergabung dari ranting parpol, ke cabang, baru naik ke tingkat pusat.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) Pasal 1, sistem merit adalah kebijakan dan manajemen yang dibuat berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja ASN yang diberlakukan secara adil dan wajar tanpa diskriminasi.

Baca juga: Jadi Tersangka Kasus Korupsi, Berikut Jejak Politik dan Harta Kekayaan Alex Noerdin

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi