Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Nuri dan Haris, Mereka yang Berhasil Melewati Badai Bernama Kanker

Baca di App
Lihat Foto
Unsplash/National Cancer Institute
Ilustrasi kanker
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Penderitaan panjang dialami pejuang kanker dan keluarganya. Semangat dan keyakinan untuk sembuh menjadi modal utama bertahan hidup dan lepas dari kanker.

Adalah Syamsinar, salah seorang ibu di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah yang mendampingi putrinya, Nuriana, menjalani pengobatan kanker otak.

Bermula lima tahun lalu, saat berumur 6 tahun, Nuri tiba-tiba terjatuh di kamar mandi.

Syamsinar menyampaikan, CT scan kala itu menunjukkan bahwa sang putri terkena hidrosefalus, juga tumor otak.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Waktu itu Nuri koma tidak sadarkan diri. Kata dokternya gimana pun caranya harus dirujuk ke Semarang karena dokter nggak berani menjamin," cerita dia kepada Kompas.com, Jumat (3/2/2023).

Kala itu, dokter tak berani merujuk Nuri ke Rumah Sakit di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, lantaran harus menempuh perjalanan darat selama berjam-jam. Akhirnya dokter pun merujuk ke Semarang agar lebih cepat karena bisa ditempuh lewat perjalanan udara. 

Setibanya mereka di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang, Jawa Tengah, Nuri pun menjalani operasi hidrosefalus. 

Selang satu minggu kemudian, Nuri kembali menjalani operasi untuk mengangkat sel kanker yang mendiami otaknya.

Bersama dengan Syamsinar yang setia menemani, terhitung satu bulan penuh Nuri mendiami salah satu ranjang rumah sakit.

"Waktu itu cuma saya sendiri yang menemani, posisi jauh juga, terkendala biaya juga, jadi saya sendiri yang menemani. Ayahnya bekerja di sini. Kalau keluarga aslinya dari Aceh, kami di sini posisinya merantau," kenang Syamsinar.

Baca juga: 35 Link Twibbon Hari Kanker Sedunia 2023

Semangat dan tekad hidup Nuri jadi penguat

Kelegaan lantaran sang anak kembali sehat usai operasi, tak berlangsung lama. Jantung Syamsinar kembali bertalu saat sakit yang mendera Nuri tiba-tiba kambuh.

Syamsinar dan Nuri pun kembali terbang ke Semarang untuk menjalani pengobatan. Tak kembali dibuka, dokter kala itu memilih memasang sebuah alat di bagian kepala putrinya.

"Dipasanglah alat seperti karet agak menonjol di kepalanya, biar nggak usah operasi bolak-balik. "(Sampai sekarang) masih, alatnya masih dipakai di kepalanya, cuma alhamdulillah nggak ada ngeluh-ngeluh sakit lagi," imbuh dia.

Dengan suara bergetar, Syamsinar menceritakan bahwa hatinya hancur melihat sang putri harus melewati penyakit dan pengobatan yang menyakitkan.

"Kita tahu waktu itu dia sakitnya luar biasa kita tahu, tetapi dia tidak menangis, tidak rewel. Malahan dia yang menguatkan saya, melihat saya menangis, 'mama, jangan menangis,' katanya. 'Adek aja kuat, adek mau sembuh ma'," kenangnya.

Menurut Syamsinar, Nuri saat itu terlihat seperti orang dewasa yang tampak tegar menghadapi penyakitnya.

Baca juga: Hari Kanker Sedunia 2023: Sejarah, Tema, dan Twibbonnya

"Kondisi anak kayak gini, pasrah saja saya sama Allah. Niat saya satu, minta, berdoa sepanjang waktu saya bilang, 'Ya Allah kalau memang Nuri itu mau Kau ambil saya ikhlas. Tapi kalau memang dia masih Kau beri umur panjang, tolong mudahkan jalannya, berilah kesembuhan dia seperti semula lagi.' Hanya itu saja doa saya. Saya ikhlas," ujarnya.

Syamsinar pun mensyukuri, Nuri yang kini berusia 11 tahun tak pernah mengeluh sakit lagi.

Sembari mengenang perjuangan sang anak melawan kanker otak, Syamsinar menyebut bahwa afirmasi dan terus berpikir positif adalah kunci utama kesembuhan.

"Dulu Adek kan disuntik terus sama dokter. Sekarang nggak lagi, sekarang sudah pulang," celoteh Nuri dengan suara cerianya kepada Kompas.com.

Bahkan nyaris lima tahun berlalu, Nuri masih mengingat betul afirmasi yang selalu Syamsinar tanamkan kepada dirinya.

"Semangat! Aku sehat, aku sehat!" kata dia.

Baca juga: 13 Gejala Kanker yang Sering Diabaikan

Perjuangan Haris dan ibunda melawan leukimia

Kisah perjuangan lain datang dari penyintas leukimia, Haris Fitranugraha Aufany Salote. Yani, sang ibu menceritakan, sakit anaknya bermula pada akhir 2016.

Kala itu, Haris mengalami demam, pembengkakan otot, dan kesulitan menengok. Yani dan keluarga pun mengira anaknya mengalami salah urat. Apalagi, sakit yang dirasakan terjadi usai Haris berenang.

Dibawa ke dokter di Pangkalan Bun untuk pemeriksaan, Yani mengatakan bahwa anaknya diberi obat. Demam berhasil turun, tetapi kembali naik beberapa hari kemudian.

Siklus yang terus berulang itu membuat dokter menyarankan Haris untuk dirawat inap. Dokter saat itu menyebut, ada kemungkinan Haris mengalami kelainan darah untuk menjalani pemeriksaan secara menyeluruh.

Hasil diagnosa kala itu, kata Yani, sang anak menderita penyakit jantung rematik. Menjalani pengobatan, kondisi Haris terus mengalami naik turun.

Baca juga: Hari Kanker Sedunia 2023, Waspadai Penyebab, Risiko, dan Gejala Awalnya

Terkadang, dia tampak sehat dan bisa berlarian. Di sisi lain, anak ketiga Yani kerap merasakan sakit hingga tak bisa berjalan.

Lagi-lagi, dokter pun mengatakan bahwa Haris terindikasi mengalami kelainan darah dan harus dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.

Sampai di Semarang, Haris yang saat itu berusia 8 tahun kembali diperiksa ulang. Yani menceritakan, dokter tak percaya ada indikasi kelainan darah pada anaknya. Pasalnya, Haris kala itu tampak sehat dan ceria.

Haris selanjutnya didiagnosa mengidap anemia defisiensi besi akibat sel darah merah sehat terlalu sedikit.

Namun selang berapa hari, Haris kembali mengalami demam, tak bisa jalan, dan merasa sakit saat disentuh.

Masih belum mendeteksi sel kanker dalam darah, Haris didiagnosa dengan rheumatoid arthritis pada anak-anak dan diharuskan kontrol satu bulan kemudian.

Baca juga: Apa Penyebab Utama Kanker? Simak Penjelasannya

Begitu kembali ke Pangkalan Bun, kondisi Haris kembali menurun. Dia semakin kurus dan tak nafsu makan.

Haris dan Yani pun kembali terbang ke Semarang sebelum waktu kontrol untuk melakukan pemeriksaan.

"Udah ketahuan penyakitnya, leukimia, dia nggak lama habis BMP (Bone Marrow Puncie atau Aspirasi Sumsum Tulang) langsung dijadwalkan kemoterapi," terang Yani.

Kala itu, dokter menjadwalkan kemoterapi sebanyak 110 kali atau selama kurang lebih dua setengah tahun.

Pejuang kanker lain jadi penyulut semangat

"Awalnya saya memang down, tapi tinggal di Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI), saya lihat anak kecil kemoterapi sudah sampai 70 kali," tutur Yani pada Kompas.com, Jumat.

"Wah berarti dikemo berkali-kali itu tidak apa-apa. Dari situ mulai timbul semangat saya, dia aja masih kecil bisa, Haris bisa," imbuh dia.

Yani melanjutkan, sang anak yang ceria dan semangat turut mengobarkan api semangat dalam dirinya.

"Waktu kemo saya lihatin, 'Sakit nggak Le?'. 'Enggak'. Saya itu takut (makanya) dilihatin terus," kenang Yani.

Baca juga: 5 Faktor yang Meningkatkan Risiko Kanker, Apa Saja?

Haris yang kini berusia 14 tahun dan sembuh dari leukimia mengaku tak memikirkan hal-hal negatif saat didiagnosa.

"Waktu itu mikirnya penyakit, bisa disembuhin, sudah gitu doang. Selebihnya nggak ada pemikiran buruk kalau dulu," kata dia.

Menurut Haris, dukungan dari keluarga dan teman-teman adalah penyemangatnya. Dalam benaknya, pergi ke Jawa bukan untuk pengobatan, tetapi untuk berekreasi atau jalan-jalan. Sebab, Yani kerap mengajaknya berjalan-jalan setelah kemoterapi.

"Setelah kemo itu pasti diajakin jalan, buat refreshing, baru setelah itu pulang. Jadi perasaannya enak, ke sana bukan mikir obat tapi mikir buat jalannya."

Haris pun berpesan, agar semua pejuang kanker menjaga asupan makanannya dan tidak mengonsumsi makanan sembarangan.

Selain itu, penting juga untuk terus berpikir positif, dengan menilik pejuang-pejuang lain yang berhasil melalui badai bernama kanker.

"Oh temanku saja bisa sembuh, masa aku nggak bisa? Jadi aku harus sembuh, harus kuat," pesannya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi