Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 31 Jan 2023

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Hutan Adat Bukan Hutan Negara, Lantas Hutan Apa?

Baca di App
Lihat Foto
ABC
Ilustrasi Hutan Kalimantan
Editor: Egidius Patnistik

STATUS hutan di Indonesia menarik dan unik. Luas hutan Indonesia 120,3 juta hektar, atau sekitar 60 persen dari luas daratan Indonesia, dan statusnya merupakan hutan negara.

Di daratan Eropa yang pengelolaan hutannya lebih maju, seperti di negara-negara Scandinavia, hutan rakyat (hutan milik) mencapai porsi lebih dari 90 persen dari tutupan hutan total.

Hutan Indonesia yang begitu luas dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung timur Palau Papua itu merupakan hutan negara. Undang-Undang (UU) Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, menyebut hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.

Dalam penjelasannya di Pasal 5, yang masuk dalam hutan negara adalah hutan adat, hutan desa, dan hutan kemasyarakatan. Status hutan selain hutan negara adalah hutan hak. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik, lazim disebut hutan rakyat.

Baca juga: Petani Dapatkan Hak Kelola Hutan Negara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yang menarik adalah status hutan adat sekarang ini. Kenapa? Sejak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan hutan negara, bukan berarti hutan adat otomatis menjadi hutan hak sebagaimana yang tersurat dalam UU Nomor 41 tahun 1999 Pasal 5 ayat (1).

Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah (perda). Karena itu, Menteri Kehutanan tahun 2013 mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 1/Menhut II/2013 yang ditujukan kepada gubernur, bupati/wali kota dan kepala dinas kehutanan di seluruh Indonesia yang menegaskan bahwa penetapan kawasan hutan adat tetap berada pada Kementerian Kehutanan.

Surat Edaran tersebut tetap mensyaratkan perda untuk penetapan kawasan hutan adat oleh Menhut (sekarang Menteri LHK). Itu aturan secara tekstual.

Lantas bagaimana posisi dan status hutan adat dalam konstelasi pertanahan maupun kehutanan di Indonesia? Apa hubungannya dengan masyarakat hukum adat (MHA) yang selama ini mengaku dan berhak mengelola hutan adat?

Histori Hutan Adat

Secara historis, keberadaan hutan adat telah diakui negara sudah lebih dari enam dekade, sejak terbitnya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam penjelasan umum UU tersebut, disebut bahwa berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan.

Misalnya di dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha), masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.

Sebaliknya, tidak dapat dibenarkan jika suatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran untuk proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk.

Pernyataan senada juga disebut dalam UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Dalam Pasal 17 disebut bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota- anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam UU ini.

Baca juga: Masyarakat Adat Kawi Minta Pemerintah Kembalikan Hutan Adat

Selanjutnya, masyarakat hukum adat dengan hutan adatnya lebih dipertegas dan diperjelas dalam UU Nomor 41 tahun 1999 dalam Pasal 67 ayat (1-3). Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang.

Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan perda.

Tahun 2021, DPR menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat. RUU itu telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 sebagai revisi dan penyempurnaan regulasi masyarakat hukum adat yang sebelumnya. Namun, RUU tersebut hingga awal 2023 ini tidak kunjung disahkan DPR dan pemerintah.

Dalam sebuah diskusi di Jakarta pada 23 November 2021, Ketua Panitia Kerja RUU Masyarakat Hukum Adat, Willy Aditya mengatakan, salah satu hal yang membuat RUU itu tidak pernah disahkan dalam rapat paripurna DPR adalah tidak adanya kemauan politik, baik dari presiden maupun DPR.

Padahal tujuh fraksi sudah sepakat melanjutkan RUU itu sebagai hak inisiatif DPR hasil pleno Badan Legislatif, sementara dua fraksi menolak. Mereka yang menolak tampaknya dihantui bayang-bayang bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat akan menjadi hambatan bagi pembangunan dan investasi.

Status dan Posisi Hutan Adat Saat Ini

Meski hutan adat bukan hutan negara menurut keputusan MK, namun dalam praktiknya dalam tanda kutip posisi dan status hutan adat hingga saat ini diperlakukan sebagai hutan negara, sama halnya dengan hutan desa dan hutan kemasyarakatan.

Dalam UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan yang merevisi UU Nomor 41 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, hutan adat masuk dalam salah satu skema dari lima skema kegiatan perhutanan sosial.

Sebagai salah satu kegiatan selain kegiatan TORA (tanah obyek reforma agraria) dalam program Reforma Agraria, kegiatan perhutanan sosial telah dilaksanakan sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam periode pertama (2014-2019) hingga masa pemerintahan kedua (2019-2024) atau telah berlangsung selama delapan tahun lebih.

Dalam refleksi akhir tahun 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 29 Desember 2022, dilaporkan capaian khusus kegiatan hutan adat pada tahun 2022 telah diterbitkan sebanyak 18 surat keputusan (SK) yang luasnya mencapai 76.780 hektar. Demikian total hutan adat telah mencapai 107 lokasi dengan luas 152.917 hektar.

Padahal, wilayah indikatif hutan adat pada 19 provinsi kurang lebih seluas 988.393 hektar atau pencapaian target luasnya baru mencapai 15,47 persen.

Lain lagi yang dilaporkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Hingga Desember 2022, BRWA telah melakukan registrasi sebanyak 1.167 peta wilayah adat dengan luas mencapai 21,3 juta hektar mencakup wilayah adat di 29 Provinsi dan 142 kabupaten/kota. Bila dipersentasekan dengan data BRWA ini maka pencapaian penetapan hutan adat hingga akhir 2022, baru sekitar 0,71 persen saja.

Dengan demikian, pantas kalau Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendorong pemerintah melalui kementerian terkait untuk terus mempercepat penetapan hutan adat ini dengan memonitor capaian pengakuan di daerah dan memperluas kerja sama.

Hambatan Mendasar

Proses pengukuhan dan penetapan hutan adat dan masyarakat hukum adatnya selama ini memang berjalan lambat, meskipun pemerintahan Presiden Joko Widodo telah meletakkan dasar Nawacita dengan programnya membangun dari pinggiran sejak tahun 2014 –hingga hari ini (2023). Proses itu banyak menemui kendala, di antara adalah:

Pertama, pengakuan, pengukuhan, dan penetapan hutan adat dan masyarakat hukum adat melalui perda sangat membebani dan memberatkan masyarakat hukum adat itu sendiri. Perda adalah proses keputusan politik yang diambil para elite politik yang duduk di DPRD di tingkat kabupaten/kota yang sarat dengan berbagai kepentingan.

Seandainya pengakuan, pengukuhan dan penetapan hutan adat cukup sampai dengan keputusan bupati selaku kepala daerah maka presiden lebih mudah untuk mendorong bupati untuk mempercepat penetapan hutan adat tersebut.

Baca juga: Masyarakat Adat Kawi Minta Pemerintah Kembalikan Hutan Adat

Kedua, kebijakan dan regulasi yang dibuat pemerintah dan DPR tentang hutan adat dan masyarakat adatnya selama ini, baik berupa UU, PP maupun peraturan menteri terkait masih bersifat parsial, sektoral, dan belum afirmatif (menguatkan) antara satu dengan yang lain. Menurut Kasmita Widodo, Kepala BRWA, komponen di pemerintah pusat yang dianggap paling signifikan perannya dalam mempercepat hutan adat ini di antaranya adalah Kementerian Dalam negeri (Kemendagri) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Upaya yang perlu dilakukan Kemendagri adalah memonitor capaian pemerintah daerah terhadap implementasi penyelenggaraan pengakuan masyarakat adat. Sementara KLHK perlu memperluas kerja sama dengan pemda dalam pengakuan hutan adat yang secara pararel dapat mendukung pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya.

Secara spesifik , pemda juga perlu menyiapkan atau mengaktifkan kelembagaan yang memiliki tugas khusus menyelenggarakan pengakuan masyarakat hukum adat serta mengalokasikan anggarannya.

Ketiga, RUU Masyarakat Hukum Adat yang mengalami mandeg di DPR agar segera didorong oleh para pihak untuk dapat diselesaikan dan dapat disahkan. Mumpung masih belum disahkan, sebaiknya hal-hal yang mempersulit pengakuan dan penetapan masyarakat hukum adat sebaiknya prosedurnya dipermudah, diimbangi dengan pengawasan dan pengendalian yang lebih ketat oleh pemerintah daerah setempat untuk mengurangi implikasi negatif yang akan timbul di belakang hari, khususnya kerusakan lingkungan dan konflik tenurial.

Keempat, meskipun waktu efektif pemerintahan Presiden Joko Widodo tinggal kurang dari dua tahun, namun peluang untuk mempercepat penetapan hutan adat masih terbuka lebar. Kawasan hutan yang dialokasikan untuk kegiatan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar hingga akhir 2022 baru dimanfaatkan sebesar 5.314.082,11 hektar, masih tersisa 7,4 juta hektar.

Tinggal niat dan kemauan para pihak penyelenggara negara terkait di tingkat pusat maupun daerah untuk memberikan akses dan kemudahan dalam penetapan hutan adat ini.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi