Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siti Baroroh Baried, Profesor Perempuan Pertama di Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/ST SULARTO
Prof Dra Baroroh Baried
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Pada 19 Agustus 1970, Prof Dra Siti Baroroh Baried dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Gadjah Mada (UGM).

Meski dilantik pada 1970, ia sebenarnya telah ditetapkan sebagai guru besar sejak 1 September 1964 atau ketika berusia 39 tahun.

Ini merupakan hari bersejarah bagi Baroroh dan juga Indonesia. Pasalnya, ia menjadi guru besar perempuan pertama di tanah air.

Harian Kompas, 19 Agustus 1970 mencatat, Baroroh menyampaikan pidato pengukuhannya berjudul "Bahasa Arab dan Perkembangan Bahasa Indonesia".

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baroroh dilahirkan pada 23 Mei 1925 dan merupakan putri dari pasangan Haji Tamim Djakfar dan Siti Asmah, pedagang asli Kauman, Yogyakarta.

Baca juga: Saat Ganjar Bercerita tentang UGM yang Mampu Cetak Tokoh Penting...

Pendidikan

Setelah lulus dari Mulo HIK (Hollands Indlansche Kweekschool) pada 1944, Baroroh kemudian mengajar ilmu pengetahuan alam (IPA) di SMP Puteri Muhammadiyah Yogyakarta.

Saat itu, UGM belum berdiri, tetapi hanya ada Yayasan Balai Perguruan Tinggi Nasional Gadjah Mada pengelola Fakultas Sastra, Filsafat, dan Kebudayaan, serta Fakultas Hukum dan Ekonomi.

Atas arahan dari sejumlah akademisi, termasuk Prof Dr Priyono dan Prof Dr Purbacaraka, ia kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Sastra, Filsafat dan Kebudayaan.

Alasannya sederhana, ia mengaku guru-gurunya pandai menanamkan pengertian agar senang kepada sastra, dikutip dari Harian Kompas, 8 Maret 1991.

Baroroh pun kuliah di Balai Perguruan Tinggi Nasional Gadjah Mada hingga 1949, kemudian pindah ke Fakulas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia yang lebih dulu berdiri.

"Kalau kamu tetap tinggal di sini, kamu tak akan selesai-selesai, siapa nanti yang akan menggantikan mengajar," kata Baroroh menirukan guru-gurunya yang mengajak ke Jakarta.

Bersama lima mahasiswa angkatan pertama lainnya, yakni Koentjaraningrat, Slamet Muljana, Soetjipto Wirasanjaya, Tudjimah, dan Tejaningsih, mereka pun pergi ke Jakarta.

Dari enam mahasiswa di atas, hanya Baroroh yang pulang ke Yogyakarta dan tidak ikut mengabdikan diri di UI.

Pasalnya, ia mengaku bukan tipe orang yang suka mengembara dan sudah diincar Gadjah Mada untuk mengajar di kampus itu.

Baca juga: KPU Minta NU dan Muhammadiyah Sisipkan Pendidikan Pemilu dalam Forum Keagamaan

Perjalanan karier 

Pada 1953, Baroroh resmi diangkat sebagai pegawai negeri atau setahun setelah lulus dari UI.

Bersama Prof Tudjimah, Baroroh juga pernah belajar Bahasa Arab di Kairo, Mesir selama dua tahun.

"Studi pokok saya memang mengenai Bahasa Indonesia. Tetapi Bahasa Indonesia itu memerlukan mata kuliah pendukung, Bahasa Arab," kata Baroroh.

"Saya senang pada Bahasa Indonesia lama. Saya kemudian dididik sebagai ahli filologi, ilmu yang mempelajari naskah-naskah kuno," sambungnya.

Di Fakultas Sastra, Baroroh mengajar Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab yang merupakan bidang keseniannya.

Atas dasar itu juga, Baroroh mendirikan jurusan Bahasa Arab di Universitas Gadjah Mada, seperti yang dilakukan Prof Tujimah di UI.

Ia menjadi ketua jurusan pertama Bahasa Arab dan disandangnya selama bertahun-tahun.

Karier Baroroh yang cukup menonjol adalah menjabat Dekan Fakultas Sastra UGM dua kali berturut-turut, yakni pada 1962-1964 dan 1964-1966.

Ia juga pernah menjadi menjadi promotor Presiden pertama RI, Bung Karno ketika memperoleh gelar Doktor (Honoris Causa) dari Universitas Muhammadiyah, Jakarta.

"Saya tidak tahu, mengapa Bung Karno memilih saya. Kemungkinan besar karena saya wanita. Sebab di samping saya, diusulkan pula Prof Faried Makruf. Bung Karno itu memang pengin yang aneh," tuturnya.

Tiga bulan setelah penyampaian gelar Doktor HC tadi, meletus pemberontakan G30S/PKI.

Meletusnya peristiwa G30 merupakan masa paling berat dalam hidupnya, karena pernah berhadapan dengan komunis pada 1965.

"Berat, berat sekali. Apalagi saya harus memutuskan nasib orang lain, siapa yang harus ditindak," kenangnya.

"Pegangan saya waktu itu hanya dokumen tertulis. Meski informasi terus masuk, tak saya ambil pusing. Pokoknya yang tertulis saja. Maka sampai sekarang tak pernah ada kesulitan. Yang terkena tindakan adalah karena tulisan, karena pernyataannya sendiri. Jadi saya tidak bisa disangka memfitnah. Wong ada dokumennya," lanjutnya.

Baca juga: Bentuk Perjuangan Muhammadiyah

Tokoh Muhammadiyah

Selain menjadi akademisi, Baroroh juga berkiprah di Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Ia bahkan termasuk salah satu perempuan pertama yang masuk ke dalam jajaran kepengurusan PP Muhammadiyah.

Pada 1965, Baroroh menjadi Ketua Umum PP 'Aisyiyah dan menempati posisi itu selama 20 tahun hingga 1985, dikutip dari laman resmi Muhammadiyah.

Keilmuan dan jaringannya membawa pengaruh besar pada 'Aisyiyah hingga mampu mengenalkannya ke dunia internasional.

Selain di kawasan Timur Tengah karena sebagai lulusan Mesir, Baroroh juga membawa nama 'Aisyiyah di negara-negara Barat.

Salah satunya adalah seminar di Harvard University dengan menyampaikan presentasi berjudul "Aisyiyah and The Social Change Women of The Indonesian".

Lawatan-lawatan luar negeri ini memungkinkan 'Aisyiyah untuk bermitra dengan organisasi-organisasi luar negeri.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi