Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dosen Jurnalistik
Bergabung sejak: 13 Feb 2020

Kepala Kantor Komunikasi Publik Universtas Padjadjaran. Dosen Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad. Selain minatnya di bidang Jurnalisme Digital, lulusan pendidikan S3 bidang jurnalistik di University of Gloucestershire, Inggris ini juga merupakan staf peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Unpad.

"Digital Maturity" dalam Konteks Jurnalisme di Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
Ilustrasi Virtual Reality (VR)
Editor: Sandro Gatra

KEHADIRAN teknologi informasi digital telah membawa interaktivitas melampaui batas-batas fisik dalam dunia pers. Kemasan berita dapat disajikan dalam berbagai format interaktif.

Format-format tersebut dulu hanya muncul di berbagai kisah fiktif futuristik, ilmiah, atau bahkan supranatural.

Beberapa hal yang sekarang ada mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan menjadi nyata. Misalnya, foto yang dapat bergerak ketika membaca berita layaknya di film Harry Potter, menonton siaran berita di setiap dinding rumah termasuk di pintu kulkas seperti di film Total Recall, atau meliput kejadian dengan satu alat kecil yang dapat merekam, memotret, dan menyiarkannya secara langsung seperti di film Star Trek.

Kemudahan-kemudahan yang disediakan teknologi untuk melakukan hal-hal di atas telah memacu kreativitas para produsen berita.

Contohnya, inovasi BBC yang membuat tampilan berita virtual dalam aplikasi Second Life beberapa waktu yang lalu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada pula jurnalis yang menggunakan teknologi Virtual Reality (VR) untuk melaporkan jalannya konferensi COP26.

Belum lagi penggunaan augmented reality yang sudah semakin lumrah saat ini, di mana dengan pertolongan pemindai pada perangkat telepon pintar, kita dapat memperoleh data tambahan berbentuk tiga dimensi yang muncul di layar ketika kita melihat sebuah objek atau berita.

Kemasan berita kreatif dengan menggunakan teknologi seperti itu tentu memiliki peluang menarik perhatian khalayak yang saat ini mayoritas tidak lagi mengakses media konvensional.

Seperti yang ditemukan dalam riset Nic Newman (2023) kala memprediksi tren jurnalisme, media, dan teknologi tahun 2023, ada kecenderungan semakin banyaknya surat kabar yang akan menghentikan produksi hariannya akibat naiknya biaya pencetakan dan melemahnya distribusi.

Hal itu bisa jadi merupakan akibat semakin sedikitnya khalayak yang mengakses media cetak tradisional dan meningkatnya perentase khalayak yang beralih ke layanan streaming, podcast, bahkan format video di media sosial seperti IGLive dan Tiktok.

Geliat media berinovasi dalam dunia digital dan media sosial dirasakan juga di Indonesia. Dalam level penguasaan teknologi yang berbeda dengan negara-negara maju yang lebih dahulu mendominasi perkembangan teknologi komunikasi, ternyata Indonesia berada di peringkat lima besar pengguna media sosial terbanyak di dunia berdasarkan survei Demandsage (Ruby, 2023).

Hal ini berarti Indonesia merupakan negara yang sangat potensial mendapatkan pengaruh besar dari informasi yang disajikan secara digital terutama di media sosial.

Potensi sekaligus mengancam eksistensi jurnalis tradisional yang harus bersaing dengan para content creator di berbagai platform.

Bisa jadi ini menjadi salah satu faktor mengapa tidak banyak media pemberitaan di Indonesia yang terlibat aktif di media sosial.

Di lain pihak, aktivisme masyarakat Indonesia di media sosial juga membawa kekhawatiran tertentu dalam hal kualitas konten yang bertanggung jawab.

Hasil survei Microsoft tahun 2020 yang menobatkan Indonesia sebagai negara paling tidak sopan di Asia Tenggara masih tetap menghantui sampai saat ini.

Apakah mungkin faktor inilah yang menyebabkan industri media pemberitaan di Indonesia belum begitu bersemangat untuk melibatkan diri di dunia media sosial?

Pemanfaatan media sosial oleh jurnalis Indonesia

Apabila ditanyakan kepada pekerja media pemberitaan di kota-kota besar tentang sejauh mana media sosial dimanfaatkan dalam praktik jurnalisme, jawaban yang didapat biasanya senada.

Salah satu jawaban yang umum adalah bahwa media sosial merupakan fenomena yang tidak terhindarkan, maka jurnalis harus terlibat di dalamnya.

Jawaban lainnya adalah bahwa media sosial bermanfaat bagi jurnalis untuk menemukan topik yang sedang hangat dibicarakan oleh publik.

Jawaban yang lebih advance didapatkan saat penulis melakukan riset tahun 2016-2017, yaitu bahwa media sosial juga alat pemasaran bagi media massa konvensional agar dapat meningkatkan engagement dengan khalayaknya, sekaligus mendapatkan khalayak baru dari kelompok publik milenial.

Namun pada praktiknya, apakah prosesnya sesederhana itu?

Sebuah riset yang penulis lakukan akhir tahun 2022 di salah satu kabupaten di Jawa Barat menghasilkan temuan menarik. Riset yang dilakukan dengan cara focus group discussion bersama 16 wartawan lokal dari 15 media ini ternyata mengungkap realitas tentang sejauh mana media sosial dimanfaatkan oleh wartawan daerah yang berbeda dengan asumsi awal penulis ketika itu.

Asumsi yang dimentahkan pada saat itu adalah bahwa wartawan daerah tidak memiliki akses pada media digital sebesar wartawan di kota besar. Asumsi ini muncul setelah melihat tidak banyaknya karya jurnalistik dari wartawan daerah yang memanfaatkan teknologi digital dalam penyebarannya.

Dari hasil FGD, ternyata inti permasalahannya bukan itu, karena ternyata dalam perbincangan yang dilakukan, terlihat para jurnalis yang hadir memiliki pengetahuan cukup banyak tentang teknologi digital, terutama dalam hubungannya dengan media sosial.

Ada beberapa faktor pada akhirnya membuat mereka tidak dapat memaksimalkan teknologi yang ada untuk kepentingan media tempat mereka bekerja.

Faktor pertama datang dari khalayak yang tidak terlalu antusias dalam mengakses produk berita dalam format digital selain teks biasa di laman perusahaan media. Bahkan masih banyak di antara khalayak yang lebih suka membaca surat kabar tradisional.

Media digital, terutama media sosial, lebih banyak digunakan untuk tujuan bersosialisasi. Kalaupun ada berita yang dibaca atau dibagikan di media sosial, biasanya hanya berita-berita sensasional yang tidak jelas kebenarannya.

Faktor ini membuat para jurnalis tidak bersemangat untuk mewakili perusahaannya melalui media digital dan media sosial selain di laman resmi, karena nama media mereka jadi ikut terbawa seakan-akan menjadi sumber informasi yang tidak akurat.

Faktor berikutnya adalah kesiapan medianya dalam menyediakan fasilitas multiplatform digital. Dalam hal penugasan, beberapa jurnalis mengaku telah diberi beban untuk melakukan liputan secara multiplatform.

Namun, dari pihak perusahaannya belum menyediakan perangkat lunak dan keras yang memadai untuk itu.

Pada akhirnya, beberapa jurnalis berhasil untuk memenuhi kebutuhan itu sendiri melalui jaringan profesi yang mereka ikuti, atau dengan terpaksa membeli perangkat lunak bajakan. Ini pula yang mengurangi semangat para jurnalis untuk terjun lebih dalam di dunia digital.

Masalah sumber daya manusia (SDM) juga menjadi faktor lain yang menghambat. Sebagai kontributor atau jurnalis daerah, seringkali mereka harus meliput tanpa tim yang lengkap atau bahkan bekerja solo.

Alhasil, persoalan akurasi dan kedalaman berita, bahkan etika, seringkali harus dikesampingkan.

Mereka mengakui bahwa praktik cloning atau berbagi materi untuk digunakan oleh banyak media memang terjadi. Pasalnya, tidak semua jurnalis memiliki waktu dan kemampuan untuk memproduksi materi multimedia, karena harus meliput peristiwa di tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan.

Faktor selanjutnya adalah kompetisi dengan produsen-produsen konten digital di luar profesi wartawan. Saat ini begitu banyak manusia yang begitu dekat dengan teknologi digital dan diberi keleluasaan oleh teknologi untuk dapat memublikasikan karyanya secara instan.

Akibatnya, banyak orang yang membuat produk-produk informasi digital dan disebarkan kepada khalayak melalui media sosial walaupun tanpa didasari pengetahuan jurnalisme yang memadai.

Parahnya, karya-karya mereka yang dibuat sedemikian rupa sehingga dekat dengan tren para pengguna media digital menjadi lebih digandrungi, bahkan diperlakukan selayaknya karya jurnalistik.

Para jurnalis yang sejati sangat bersusah payah untuk mengejar khalayak yang lebih suka mendengarkan podcast, menonton reels di Instagram, atau berinteraksi di Tiktok.

Sekali lagi, fenomena ini yang mungkin turut melemahkan semangat media massa arus utama untuk ikut berkembang di dunia digital.

Digital maturity di industri jurnalisme

Kemampuan industri media untuk bergerak di media digital salah satunya dapat diukur dengan sebuah kerangka kerja yang disebut digital maturity atau kedewasaan digital.

Kerangka kerja ini muncul dalam riset yang dilakukan oleh Remotivi tahun 2022, untuk mengindeksasi tingkat pemanfaatan media digital media oleh organisasi nirlaba yang berkerja dalam isu-isu lingkungan. Indeksasi ini meliputi kapasitas produksi digital dan optimalisasi penggunaan media sosial (Putra & Amabel, 2022).

Indeksasi dalam riset tersebut kemudian dikembangkan dalam penelitian penulis tahun 2022 bersama dengan Justito Adiprasetio dan Ika Merdekawati dari Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran dalam upaya pemetaan digitalisasi oleh jurnalis Indonesia.

Pengembangan tersebut mencakup format editorial, aspek-aspek bisnis dan inovasi, kondisi konvergensi, dan pemanfaatan teknologi dalam pengimplementasian jurnalisme digital.

Berdasarkan indeksasi tersebut, hasil FGD di atas menggambarkan bahwa digital maturity jurnalisme di kabupaten tersebut masih rendah.

Hal itu dilihat dari format editorial pemberitaan di media yang masih cenderung mengikuti media tradisional. Aspek bisnis dan inovasi tampak stagnan karena pasar di daerah tersebut belum begitu menerima digitalisasi pemberitaan.

Konvergensi terjadi di internal perusahaan, dengan adanya penugasan untuk menjadi jurnalis multiplatform. Namun dari segi produk jurnalisme, belum banyak terlihat adanya konvergensi informasi.

Tentu saja dari kesemuanya, terlihat bahwa media arus utama jurnalisme di kabupaten tersebut belum banyak memanfaatkan teknologi untuk menunjang jurnalisme digital.

Secara konsep, jurnalisme yang berkembang masih mengikuti prosedur di media tradisional.
Namun ternyata indeks kedewasaan digital yang rendah tersebut menjadi berbeda ketika melihat kegiatan jurnalis secara individual.

Sebuah temuan menarik dari FGD tersebut memperlihatkan bahwa secara individual, lepas dari media tempat mereka bekerja, para jurnalis tersebut memiliki konsern terhadap teknologi digital yang cukup tinggi.

Dari segi inovasi, para jurnalis sebenarnya mampu untuk melakukan hal-hal baru. Namun karena keterbatasan kebijakan dari pihak perusahaan dengan memperhitungkan keinginan khalayak, kebanyakan dari mereka akhirnya berkarya melalui saluran media sosial pribadi.

Beberapa di antara mereka kemudian aktif untuk menyebarkan sendiri informasi hasil liputan yang tidak dapat "naik" di media mereka.

Sebaran mereka beragam dan interaktif, didukung oleh aplikasi pada media sosial yang mereka miliki. Ada yang menggunakan akun Facebook yang ternyata masih digunakan oleh jaringan pertemanan mereka.

Sebagian lagi menggunakan YouTube untuk mendistribusikan video liputan yang tidak lolos di redaksi medianya karena di luar aspek kontribusi daerahnya.

Dari hasil diskusi, dijelaskan bahwa followers dan viewers mereka mengalami peningkatan. Ini menarik karena ketika informasi tersebut dikemas secara digital oleh outlet media arus utama, khalayak tidak begitu tertarik.

Lain halnya ketika dipublikasikan oleh akun pribadi di media sosial, jejaring yang ada lebih apresiatif. Ini menunjukkan sifat dari khalayak media di Indonesia yang dijelaskan di awal, yaitu lebih suka menggunakan media sosial untuk kepentingan sosial mereka sendiri.

Dalam hal ini, pertemanan pribadi di media sosial menjadi lebih kuat engagementnya dibandingkan status mereka sebagai khalayak sebuah media.

Sebagian jurnalis lain yang terlibat dalam FGD juga aktif menjadi content creator berbagai aplikasi, dan bahkan mengaku mendapat penghasilan yang lebih besar dibandingkan pekerjaan mereka sebagai kontributor di media arus utama.

Ada yang kemudian beralih menjadi pengelola akun Tiktok medianya, yang terpisah dari newsroom atau redaksi pemberitaan. Ia kemudian menemukan peluang lebih besar untuk berekspresi memanfaatkan teknologi digital, dengan reward yang lebih stabil pula.

Ada pula jurnalis yang dulunya aktif di bagian pemberitaan radio siaran nasional, saat ini mulai menekuni bisnis sebagai content creator dalam bentuk podcast.

Dengan cara ini, ia telah berhasil mendekati pendengar radio yang sebagian besar telah beralih ke media digital dan media sosial, meninggalkan siaran radio konvensional.

Ternyata, keterbatasan di media telah membuat kreativitas pada jurnalis berkembang sehingga membuat mereka mampu membesarkan bisnis model mereka sendiri.

Maka, dari kondisi tersebut dapat dikatakan, jurnalis Indonesia sebenarnya siap untuk mengembangkan kedewasaan di bidang jurnalisme digital. Faktor yang membuatnya terhambat justru dari masalah kebiasaan khalayak dalam bermedia serta ketergantungan media pada keinginan publik.

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa semua berpulang pada bagaimana upaya kita, terutama akademisi ataupun pihak lain yang menaruh perhatian khusus terhadap teknologi komunikasi, meningkatkan literasi media digital masyarakat.

Bukan saja diarahkan kepada khalayak media arus utama, namun juga para pemangku kepentingan dan pemegang keputusan di industri media itu sendiri.

Mengapa demikian? Karena digital maturity memerlukan sinergi dan kreativitas dari semua pihak, dan kedewasaan yang tinggi mutlak diperlukan apabila Indonesia tidak ingin tertinggal dalam era jurnalisme digital.

 

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi