Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Pers Nasional, Mungkinkah Pekerja Media Akan Tergantikan oleh AI?

Baca di App
Lihat Foto
dok. Agus Suparto
Presiden Joko Widodo saat memberi sambutan pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2023 yang digelar di Medan, Sumatera Utara, Kamis (9/2/2023).
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Hari Pers Nasional diperingati setiap 9 Februari sejak 1985.

Pada momen Hari Pers Nasional 2023, pekerja media dihadapkan pada ancaman eksistensinya di era digital.

Pasalnya, media sosial dianggap lebih cepat menyajikan informasi melalui jurnalisme warga, dibandingkan produk media massa.

Kemunculan ChatGPT oleh OpenAI dan Bard oleh Google baru-baru ini juga disebut semakin menyudutkan peran media massa.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melalui aplikasi berbasis artificial intelligence (AI) itu, semua informasi bisa disajikan dengan penjelasan yang sangat 'manusiawi'.

Baca juga: Hari Pers Nasional 2023: Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia

Tak heran, kerap muncul sebuah pertanyaan "mungkinkah pekerja media akan tergantikan oleh AI?"

Jurnalisme harus memanusiakan manusia

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Ana Nadhya Abrar menilai, AI tak akan mampu menggantikan pekerja media secara psikologis dan filosofis.

Secara filosofis, Abrar menyebut jurnalisme harus memanusiakan manusia dan menghargai manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

"AI tidak bisa itu, ia hanya teknis aja. Tidak bisa membuat orang tertawa, sedih, dan menangis," kata Abrar saat dihubungi Kompas.com, Kamis (9/2/2023).

Baca juga: Viral, Video Sebut Anak 4 Tahun Berdiri 1 Jam di KRL, KAI Commuter: Saling Peduli dan Toleransi


Ia menjelaskan, secara psikologis seseorang mencari berita bukan hanya untuk memenuhi informasi, melainkan membayangkan masa depan yang akan mereka bentuk.

Menurutnya, hal ini hanya bisa diperoleh melalui berita yang memiliki visi ke depan.

"Visi ke depan hanya bisa ditulis oleh manusia, mesin tidak bisa mempertimbangkan itu," kata Abrar.

"Wartawan tidak usah risau, banyak kok yang bisa dipersoalkan lewat berita. Cuma masalahnya kan banyak media yang terlalu asyik dengan yang teknis," sambungnya.

Baca juga: Ramai di Media Sosial, Ini Serba-serbi soal Mixue

Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa media yang terlalu memfokuskan diri pada teknis adalah mereka yang lebih mengejar profit, tetapi mengabaikan filosofis dan psikologis jurnalisme.

Untuk itu, Abrar menganggap pekerja media harus bisa menyeimbangkan antara memuaskan materi dan idealisme.

"Kalau jurnalis tetap menjadikan teknik sebagai primadona, dia akan dilindas oleh AI. Kita butuh mereka, tapi wartawan yang mampu melihat secara psikologis dan filosofis seperti ini" tutupnya.

Baca juga: 5 Media Internasional Soroti Kasus Brigadir J dan Irjen Ferdy Sambo, Apa Kata Mereka?

Sudah terjadi

Terpisah, pemerhati budaya dan komunikasi digital Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan menilai, AI kini sudah menggantikan posisi media massa secara perlahan.

"Terus terang, sudah terjadi. Soal waktu saja," kata Firman, Kamis (9/2/2023).

Pernyataan Firman itu bukan tanpa alasan.

Kemunculan perangkat cerdas bernama Wordsmith beberapa tahun lalu, misalnya, dapat digunakan untuk menyusun produk artikel yang sangat mirip dengan artikel produk manusia.

Baca juga: Doxing, Ancaman bagi Pers di Era Digital

Selain menggunakan bahasa yang emosional, Wordsmith juga mampu memilih kata atau kalimat yang lebih mudah dipahami pembaca.

Menurutnya, perangkat cerdas itu bekerja dengan cara memilih elemen dari kumpulan data yang kemudian digunakan sebagai bahan menyusun artikel.

"Perusahan besar telah lama menggunakan jasa Wordsmith, seperti Gannett yang menerbitkan USA Today dan Yahoo News untuk artikel olahraga," jelas dia.

"Dengan cara-cara ini, perusahaan media mengaku telah membuat waktu luang bagi para jurnalisnya," sambungnya.

Sementara itu, Firman menyebut kemunculan ChatGPT yang berkemampuan lebih canggih daripada Wordsmith akan semakin menggerus posisi pekerja media.

Pasalnya, sangat sulit membedakan antara produk-produk ChatGPT dan produk tulisan manusia.

Baca juga: Profil Sir Azyumardi Azra, Ketua Dewan Pers yang Dapat Gelar Kehormatan dari Ratu Elizabeth II

Kekosongan AI

Namun, ada kekosongan yang bisa diisi oleh pekerja media di tengah ancaman eksistensi dan relevansinya.

Ia menjelaskan, baik produk media sosial maupun AI, keduanya berpotensi tercemar oleh berita palsu atau hoaks.

Dalam hal ini, pekerja media dengan sumber informasinya yang terpercaya mampu mengisi ruang-ruang kosong yang ditinggalkan oleh media sosial dan AI.

"Artinya, terhadap berita yang diragukan kebenarannya, segera terkonfirmasi manakala jurnalis media massa mengenal betul sumber informasinya," ujar dia.

"Mungkin produk berciri pengenalan profesional macam ini yang diharapkan dari media massa sekarang," pungkasnya.

Baca juga: Mengenal GPT Zero, Aplikasi yang Bisa Mendeteksi Tulisan Buatan AI

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi