Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal Childfree, Ini Pengertian, Penyebab, dan Dampaknya

Baca di App
Lihat Foto
Freepik/atlascompany
Childfree banyak dipilih oleh pasangan muda.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Childfree sempat menjadi istilah populer usai seorang pegiat media sosial dan penulis Gita Savitri mengungkapkan bahwa ia dan suaminya memutuskan untuk childfree.

Di Indonesia, istilah childfree memang belum begitu dikenal dan dipahami oleh masyarakat luas.

Namun usai Gita Savitri membahas mengenai childfree, istilah ini pun mulai cukup sering didengar dan bahkan menjadi bahasan atau diskusi di berbagai media sosial.

Namun, apa sebenarnya maksud dan arti dari istilah childfree?

Baca juga: Sering Disebut Selebgram Gita Savitri, Ini Pengertian dan Sejarah Childfree

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa itu childfree

Cambridge Dictionary mendefinisikan istilah childfree hampir serupa seperti apa yang dijelaskan oleh Oxford Dictionary, yaitu kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak.

Menurut psikolog sekaligus dosen Fakultas Psikologi Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta Ratna Yunita Setiyani Subardjo mengatakan, childfree merupakan istilah untuk menyebut orang yang tidak memiliki anak.

Ratna menyebut, ada dua kelompok orang yang childfree, yaitu mereka yang memutuskan tidak punya anak atau memiliki kondisi yang memaksa tidak bisa memiliki anak.

"Kondisi fisik tidak mendukung mereka punya anak. Mereka kemudian memutuskan untuk tidak mengadopsi anak," jelasnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (9/2/2023).

Ada pula orang yang bisa memiliki keturunan namun memutuskan tidak memiliki anak usai menikah. Orang tipe ini memilih untuk tidak mempunyai keturunan meskipun tubuhnya dalam kondisi sehat.

"Sebenarnya mereka mampu tapi tidak mau karena sudah merencanakan kalau sudah berkeluarga memang tidak mau punya anak," lanjutnya.

Baca juga: Ramai soal Anggapan Anak Bikin Cepat Tua, Gaya Hidup Childfree atau Fobia?

Alasan pasangan memilih childfree

Dikutip dari Gramedia, psikolog Dr. Tri Rejeki Andayani menyebutkan, meskipun keputusan childfree bersifat sangat personal, namun keputusan tersebut sebaiknya turut melibatkan kedua anggota keluarga besar, terutama orang tua dari pasangan. 

Jika keputusan untuk childfree tersebut tidak dapat diterima oleh kedua orang tua, tentu saja, tidak menutup kemungkinan bahwa akan muncul tekanan sosial bagi pasangan. Namun, apabila diterima, maka pasangan pun akan menjadi lebih mudah dalam menghadapi tekanan sosial baik itu dari masyarakat luar maupun keluarga.

Salah satu alasan pasangan memilih untuk childfree adalah karena berkaitan dengan isu maupun masalah lingkungan. Beberapa pasangan atau perempuan yang memutuskan untuk childfree, menilai bahwa populasi penduduk di bumi semakin meningkat.

Akan tetapi, populasi yang meningkat tersebut tidak sejalan dengan kesehatan bumi serta ketersediaan pangan. Sehingga, childfree pun akhirnya dipilih sebagai salah satu langkah yang dapat ditempuh.

Baca juga: Apa Itu Resesi Seks yang Berpotensi Dialami Indonesia, Penyebab, dan Dampaknya?

Dr. Tri juga menyinggung mengenai perspektif teori perkembangan dari Erikson.

Dalam teori tersebut disebutkan, bahwa setiap orang akan memasuki tahap stagnan versus generativitas. Seseorang yang mengalami stagnan, cenderung akan kesulitan untuk menemukan cara dalam berkontribusi pada kehidupan.

Selain alasan masalah lingkungan, beberapa pasangan yang memutuskan untuk childfree, pada umumnya merasa tidak yakin akan kemampuannya dalam merawat maupun mengasuh anak. Sehingga hal tersebut pun menjadi suatu kekhawatiran bagi pasangan.

Berikut beberapa faktor yang bisa memengaruhi seorang perempuan atau pasangan memutuskan untuk childfree.

1. Latar belakang keluarga

Alasan pertama yang menyebabkan seseorang atau pasangan memilih untuk childfree ialah karena ia memiliki masa lalu sendiri tentang keluarganya.

Ia tumbuh dan melihat apa yang terjadi di dalam keluarganya, sehingga apa yang ia lihat semasa kecil pun akan memengaruhi pilihannya ketika ia dewasa.

Begitu pula tentang kenangan yang kurang baik, serta perasaan kecewa yang didapatkan selama masa anak-anak, perasaan dan kenangan tersebut pun bisa menjadi alasan terbesar, kenapa pasangan atau seorang perempuan memilih untuk childfree.

Latar belakang keluarga pun dapat memengaruhi keputusan seseorang untuk childfree, yaitu ketika seseorang memiliki keluarga yang memberikan kebebasan padanya untuk memilih dan memutuskan segala hal.

Sehingga, ketika ia memutuskan childfree, ia tidak akan mendapatkan tekanan dan tanpa penghakiman dari pihak keluarga. Justru sebaliknya, ia akan merasa didukung.

Baca juga: Resesi Seks, Ini Alasan Wanita Enggan Menikah dan Punya Anak

2. Isu lingkungan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, alasan yang cukup menarik dari seseorang memutuskan untuk childfree adalah berkaitan dengan isu lingkungan.

Over populasi menjadi isu yang cukup hangat saat ini. Populasi manusia semakin banyak di dunia, akan tetapi tidak sebanding dengan jumlah kerusakan lingkungan yang semakin tinggi serta ketersediaan pangan.

Sebagian individu, baik yang telah berpasangan atau bahkan masih single pun menyadari isu tersebut, sehingga mereka merasa prihatin dengan isu tersebut dan memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree. Harapannya, tentu saja mereka tidak ingin menambah populasi yang telah ada.

3. Kondisi finansial 

Keadaan finansial seseorang menjadi salah satu faktor seseorang memutuskan untuk childfree. Membesarkan serta merawat anak, bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan persiapan mental serta finansial yang matang.

Ketika pasangan telah memutuskan untuk childfree, kemungkinan mereka telah memperhitungkan kemampuan finansial atau bahkan hingga kemungkinan-kemungkinan soal membiayai tumbuh kembang sang anak.

Apabila dalam perhitungan tersebut, rupanya pasangan maupun individu merasa tidak mampu, maka mereka pun memutuskan untuk childfree.

Sehingga, mereka akan lebih fokus dalam mengalokasikan dana untuk kebutuhan-kebutuhan pribadi yang tentu saja, nominalnya tidak sedikit.

4. Khawati tidak mampu membesarkan anak dengan baik

Alasan keempat merupakan salah satu alasan umum yang menyebabkan seseorang atau pasangan memutuskan untuk childfree.

Pada umumnya, pasangan atau individu cenderung memiliki kekhawatiran, bahwa mereka tidak mampu membesarkan anak dengan baik.

Atau pasangan atau individu tersebut belum matang dan belum siap secara mental, untuk memiliki seorang anak. Hal ini dikarenakan kondisi mental setiap orang berbeda-beda.

Beberapa orang yang memiliki masalah mental, kemungkinan akan lebih khawatir dan berpikir bahwa mereka tidak cukup mampu untuk membesarkan anak.

Akan muncul kekhawatiran, apakah sang anak akan merasa bahagia, apakah kebutuhannya tercukupi, apakah ia bisa membesarkan anak dengan mental dan fisik yang sehat dan lain sebagainya.

Karena kekhawatiran tersebutlah, pasangan maupun individu akhirnya memilih untuk childfree.

Baca juga: Indonesia Berpotensi Alami Resesi Seks, Ini Dampaknya Menurut Sosiolog

5. Memiliki masalah maternal instinct

Maternal instinct merupakan kondisi di mana kemampuan emosional dari seorang perempuan, khususnya seorang ibu dalam menentukan hal-hal yang benar serta salah ketika ia membesarkan seorang anak.

Sebagian orang mungkin memiliki anggapan, bahwa maternal instinct memiliki peran yang penting untuk dimiliki oleh seorang perempuan, atau lebih tepatnya seorang ibu.

Alasannya karena maternal instinct ini memiliki kaitan dengan kemampuan seorang ibu untuk melindungi anak-anaknya.

Beberapa dari perempuan merasa khawatir, bahwa mereka tidak memiliki atau mengalami masalah dengan maternal instinct, serta tidak yakin bahwa mereka akan menjadi seorang ibu yang baik sesuai dengan harapan anak atau dirinya.

6. Memiliki kondisi fisik tertentu

Beberapa mungkin memiliki kondisi fisik tertentu yang membuat dirinya tidak bisa atau tidak mampu memiliki seorang anak.

Contohnya seperti mengidap penyakit keturunan dan lain sebagainya. Kondisi tersebutlah yang kemudian akan menjadi alasan terbesar seorang individu maupun pasangan memilih untuk childfree.

7. Alasan personal

Alasan terakhir adalah karena alasan personal dari seseorang atau pasangan. Seperti tidak ada alasan khusus, hanya saja mereka memilih untuk childfree, sebab mereka merasa nyaman dengan kondisi tersebut.

Mungkin juga, beberapa orang memiliki pandangan bahwa lebih aman, baik itu secara finansial maupun fisik untuk memilih childfree.

 

Mementingkan diri ketimbang anak

Sementara itu secara psikologis, Ratna menganggap jika orang memilih childfree karena mendahulukan diri sendiri dan kurang suka berhubungan dekat dengan orang lain. Ia menyebut, orang tipe ini tidak menemukan arti dari anak dalam suatu keluarga.

"Mereka biasanya tidak mempunyai emosi yang dalam. Tidak bisa punya hubungan yang benar-benar dekat dengan orang lain," ujarnya.

Di luar itu, Ratna menilai, orang dewasa yang childfree senang mempunyai aktivitas sehari-hari yang bebas dari tanggungan atas anak. Mereka jadi punya waktu untuk mengutamakan pekerjaan dalam hidupnya.

"Mereka tidak perlu memikirkan siapa yang mengasuh dan membimbing anak," tambahnya.

Alasan lain orang dewasa childfree karena ia mungkin merasa bersalah karena merasa kurang mampu merawatnya. Orang seperti ini berpikir mereka kurang uang, ingin fokus berkarier, atau tidak bisa memberi pendidikan cukup kepada anak.

"Ketakutan tidak bisa membahagiakan anak dari segi materi membuat mereka memilih tidak punya anak," jelasnya.

Baca juga: Ramai soal Anak Dilecehkan Ayahnya Usai Ibunya Meninggal, Ini Tanggapan KPAI dan Komnas Perempuan

Tuntutan lingkungan

Sosiolog Universitas Sepuluh Maret Drajat Tri Kartono mengungkapkan, memang ada pergeseran tren di kalangan masyarakat. Orang tidak lagi menganggap anak bernilai tinggi, melainkan sebagai beban.

"Dulu ada kepercayaan banyak anak banyak rezeki. Anak bukan dianggap beban biaya dalam perekonomian keluarga tapi justru sumber pendapatan," jelasnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (9/2/2023).

Drajat mencontohkan, orang zaman dulu bisa diminta membantu orang tua bekerja di pasar atau sawah.

Namun, saat ini muncul perkembangan zaman yang menghasilkan spesialisasi pekerjaan. Anak tidak bisa lagi dengan mudah dipekerjakan di tempat kerja orang tuanya.

"Tidak semua pekerjaan bisa dilakukan banyak orang. Kemudian, anak itu tidak bisa langsung membantu ekonomi orang tua. Hingga kemudian dianggap sebagai beban atau cost biaya," lanjutnya.

Menurut Drajat, orang tua harus mengeluarkan uang untuk biaya kebutuhan anak, antara lain sekolah, les, dan kesehatan. Kondisi ini masih ditambah oleh standar masyarakat yang menuntut orang tua memberikan hal yang terbaik bagi anak.

"Ini menyebabkan banyak anak jadi banyak beban. Di situlah orang jadi mengurangi jumlah anak. Dulu misalnya 6 sekarang maksimal dua atau tiga, bahkan satu sudah cukup," jelasnya.

Tidak hanya itu, ia memandang hubungan orang tua dan anak di dalam keluarga saat ini cenderung bersifat privat. Kondisi tersebut memicu orang untuk melindungi privasinya.

Orang-orang ini tidak mau kehidupannya diganggu orang lain karena ia sanggup mengelola kepemilikannya sendiri. Hal demikian tetap berlaku meskipun antara orang tua dan anak kandung.

Drajat menambahkan, jika orang tersebut mau mempunyai anak, dia akan cenderung memilih adopsi. Dia tidak akan terlalu terbebani daripada merawat anaknya sendiri.

Baca juga: Ibu Muda di Jambi Cabuli 17 Anak, dr Boyke Sebut soal Kelainan Seks

Peran anak dalam masyarakat

Drajat menambahkan, masyarakat memang akan cenderung bereaksi negatif kepada orang yang memutuskan tidak memiliki anak.

Hal ini terjadi karena masyarakat cenderung berpegang pada nilai lama bahwa orang menikah agar punya anak. Orang yang tidak punya anak akan dianggap tidak subur.

Akibatnya, orang yang tidak punya anak akan disalahkan. Masyarakat juga tetap akan menyalahkan orang tersebut meski memiliki alasan khusus untuk hidup tanpa keturunan.

"Tidak punya anak seperti jadi beban yang dituduhkan kepada seseorang, mirip dengan masyarakat yang menyalahkan orang yang tidak menikah. Masyarakat memiliki norma di mana setiap orang punya kewajiban sosial yang harus dipenuhi," jelasnya.

Salah satu kewajiban sosial yang harus dipenuhi dari orang dewasa adalah melahirkan anak sebagai penerus nilai sosial di masyarakat.

Drajat mencontohkan, saat orang tua sakit, anaklah yang bertanggung jawab merawatnya. Kebalikannya, orang tua juga memberi contoh teladan kepada sang anak.

Tanpa anak, orang dewasa tidak akan menyumbang generasi baru yang akan menerapkan perilaku baik dalam kehidupan sosial.

"Nilai anak tidak sekadar ekonomi, pekerjaan, dan jaminan di saat tua. Tapi juga punya fungsi untuk membangun dan mempertahankan nilai, solidaritas, dan moralitas di masyarakat," ujarnya.

Selain itu, masyarakat juga akan kesulitan berhubungan dan merawat orang dewasa yang tidak memiliki anak saat ia kelak menjadi tua.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi