Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 30 Mei 2021

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Dilema Kecerdasan Buatan di Ruang Perguruan Tinggi: Pemimpin Harus Bagaimana?

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock/Zapp2Photo
Ilustrasi artificial intelligence (AI), kecerdasan buatan.
Editor: Sandro Gatra

AKHIR-akhir ini, dunia digegerkan dengan kehadiran ChatGPT, program AI yang dapat menjawab pertanyaan dengan akurasi yang menakjubkan. ChatGPT langsung mendapatkan perhatian luas dan pengguna yang masif.

Bahkan, CEO Google, Sundar Pichai, kebingungan melawan pengaruh ChatGPT, yang membuat Larry Page dan Sergey Brin harus turun gunung membantu Sundar Pichai.

Pengaplikasian ChatGPT bisa di banyak bidang, namun yang menarik perhatian saya adalah aplikasinya di dunia perguruan tinggi.

Sudah ada beberapa penggunaannya di berbagai perguruan tinggi. Misalnya, ada mahasiswa/i menggunakan ChatGPT untuk mengerjakan esai.

Selain mengerjakan esai, ada juga mahasiswa magister yang menulis tesis dengan menggunakan ChatGPT.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah mengancam?

Dua kejadian tersebut menunjukkan kapabilitas ChatGPT untuk menjawab pertanyaan apapun. Sebenarnya, tidak hanya ChatGPT saja yang dapat membantu aktivitas. Ada banyak tools AI yang mampu membantu kegiatan manusia.

Ada Compose AI yang membuat kita bisa menulis kalimat email. Kita hanya tinggal mengetikkan kata kuncinya saja.

Lalu, ada Quillbot dan Grammarly, aplikasi berbasis AI yang dapat mengecek cara penulisan bahasa Inggris dan menyusun ulang kalimatnya.

Ada Steve AI dan Synthesia yang memungkinkan kita membuat video. Bedanya, Synthesia bisa membuat presentasi beserta avatarnya untuk mempresentasikan video.

Answer the Public membuat kita semakin mudah melakukan riset konten. Jasper dan Frase merupakan aplikasi yang membuat kita bisa membuat naskah.

Soundful memudahkan siapapun membuat musik dengan mengoptimalkan data dan fitur dari Soundful. Dall.E 2 dapat mengubah teks menjadi gambar.

Kemudian dengan Cookup.AI, kita bisa membuat judul blog, lagu, hingga lawakan hanya dengan mengetikkan tema.

Lalu, SlidesAI memungkinkan kecerdasan buatan membuat presentasi berdasarkan konten yang sudah kita buat.

Lalu ada aplikasi AI berbasis website, Instoried dan Predis.ai yang semakin membantu kita membuat konten.

Kemudian ada Trypencil, web-based AI yang merangkai kalimat ciamik untuk iklan digital kita. Selain itu, ada Nuclia yang memudahkan kita mencari informasi hanya dengan mengetikkan kata kunci.

Semua aplikasi tersebut dapat memudahkan kita dalam berbagai kegiatan. Namun, di antara banyaknya tools AI, yang saat ini menyita perhatian dunia pendidikan tinggi adalah ChatGPT.

Dengan kapabilitas yang sudah kita lihat bersama, jajaran pemimpin di dunia pendidikan tinggi melakukan diskusi yang intensif bagaimana menangani masifnya penggunaan GPT untuk kebutuhan dunia akademis.

Sikap para petinggi pendidikan tinggi terbagi menjadi dua. Beberapa sekolah publik di berbagai negara melarang penggunaan ChatGPT. Salah satunya adalah Sciences Po.

Mengutip LiveMint, jajaran pemimpin Sciences Po beralasan bahwa, “Without transparent referencing, students are forbidden to use the software for the production of any written work or presentations, except for specific course purposes, with the supervision of a course leader.”

Selain Sciences Po, salah satu universitas di Bengaluru, India, Universitas RV, juga melarang penggunaan ChatGPT. Alasannya adalah untuk menghindari plagiarisme yang dilakukan oleh mahasiswa/i.

Selain itu, Sanjay Chitnis, Dekan Ilmu Komputer dan Engineering menghimbau mahasiswa/i agar mengumpulkan tugas orisinil hasil pemikirannya tanpa bantuan alat.

Larangan yang dilakukan Sciences Po dan Universitas RV sebenarnya masuk akal. Perguruan tinggi merupakan produsen ilmu pengetahuan.

Untuk menulis esai, skripsi, tesis, maupun disertasi membutuhkan banyak referensi yang valid dan telah teruji.

Ada metode atau kaidah ilmiah yang harus diikuti untuk memproduksi pengetahuan. ChatGPT melompati proses ilmiah yang mendalam dengan menyediakan jalan pintas bagi mahasiswa/i untuk mengerjakan tugasnya.

Selain itu, penggunaan ChatGPT seakan mendegradasi peran dunia pendidikan tinggi yang berjuang keras untuk menanamkan sikap berpikir kritis dan pendekatan ilmiah. Alasan itulah yang membuat universitas melarang ChatGPT.

Jika tidak dihentikan, maka ChatGPT akan membuat mahasiswa/i tidak lagi berusaha untuk melakukan kajian tulisan dengan metode ilmiah yang berlaku.

Nick Weising, peneliti utama dari Cornell Intellectual Property and Ethics Club’s mengatakan bahwa penggunaan ChatGPT yang berlebihan akan menyulitkan mahasiswa/i untuk mendapatkan kemampuan dasar.

Profesor Kim Weeden dari Universitas Cornell menambahkan, ChatGPT dapat menyebarkan misinformasi.

Mengutip dari Cornellsun, dia berpendapat bahwa, “AI technologies are in some sense laundering misinformation and biased information. They grab bits of existing content, feed it through an opaque probability model and then spit out ‘new’ content stripped of information about its sources.”

Namun begitu, ada pihak yang tetap menerima ChatGPT dengan prinsip kehati-hatian. Salah satunya adalah Universitas Princeton.

Pihak universitas lebih menyerahkannya kepada dosen untuk memutuskan penggunaan ChatGPT. Universitas Princeton beralasan bahwa ChatGPT dapat digunakan sebagai salah satu opsi alat pembelajaran bagi banyak mahasiswa/i.

Singapura juga tidak melarang penggunaan ChatGPT. Mengutip ZDN, Menteri Pendidikan Singapura, Chan Chun Sing, berpendapat bahwa, “In a more uncertain world, we must also teach our students to embrace and learn to work with tools in the new normal that have a range of outcomes beyond a deterministic outcome, like [one produced by] a calculator.”

Dari perspektif ini, Singapura ingin agar dunia pendidikan tinggi menyambut teknologi dan menggunakannya untuk kepentingan pengajaran.

Tak ada yang salah dengan kedua perspektif tersebut, karena setiap pihak menggunakan kacamata yang berbeda menanggapi kasus ChatGPT. Namun, saya coba memahami ini dari sudut pandang lain.

Menurut saya, ChatGPT dan aplikasi lainnya memang memudahkan kita untuk melakukan berbagai kegiatan. Namun, kita seperti terlalu mengandalkan teknologi, yang membuat teknologi bersifat deterministik.

Menurut Dafoe (2015), determinisme teknologi adalah pendekatan yang mengatakan bahwa ia memiliki otonomi dan membentuk masyarakat.

Apabila kita melihat fenomena penggunaan ChatGPT, ada pergeseran yang cukup signifikan bagaimana metode dan sudut pandang sivitas akademika terhadap proses keilmuan.

ChatGPT dianggap sebagai solusi untuk kebuntuan ilmiah. Bukannya mengandalkan pemikiran orisinil dari pikiran kita sendiri, kita malah beralih menggunakan ChatGPT untuk mengatasi kebuntuan tersebut.

Sikap seperti ini yang membuat cara pandang kita terhadap teknologi berubah. Teknologi dianggap sebagai solusi, bukan lagi tools yang membantu kita.

Pola pikir ini bahaya, mengubah teknologi menjadi subjek, bukan lagi objek. Ini juga akan menyulitkan tugas perguruan tinggi, yang bertujuan membentuk generasi muda menjadi generasi kreatif, inovatif, tangguh, dan cerdas.

Tak hanya itu, penggunaan jalan pintas tersebut akan membuat mahasiswa/i berpikir instan dan cenderung mudah menyerah.

Profesor Rhenald Kasali menyebut generasi sekarang adalah generasi strawberry, yang memiliki ide brilian, tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Bahkan, sudah ada beberapa mahasiswa/i yang menganggap kuliah sangat berat.

Implikasi terhadap dunia pendidikan tinggi

ChatGPT dan aplikasi AI lainnya kemungkinan akan membuat mahasiswa/i tidak lagi berusaha untuk melakukan proses mencari, menggali, dan dialektika, yang kesemuanya merupakan proses penting dalam ilmu pengetahuan.

Jika kita melihat kembali ke belakang, semua produksi pengetahuan yang kita gunakan sekarang merupakan hasil buah pikir orisinil manusia. Mulai dari Isaac Newton, Michael Faraday, Albert Einstein, dan lain-lain.

Melalui pergulatan intelektual panjang dengan menggunakan metode ilmiah yang berlaku, pengetahuan yang mereka hasilkan membawa dampak besar bagi dunia.

Dalam perkembangan ilmu sosial, pemikiran filosofis, mulai dari stoikisme hingga eksistensialisme, tidak membutuhkan tools apapun, kecuali pikiran kita dan proses dialektika yang dilakukan.

Namun, kita menggunakan perspektif para filsuf tersebut untuk mengarungi kehidupan. Adanya aplikasi berbasis AI membuat pergulatan tersebut tidak begitu penting karena langsung menunjukkan hasil dari pergumulan tersebut.

Seorang dosen di Wharton School of Business di Pennsylvania melakukan uji coba bagaimana ChatGPT menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian.

Hasilnya luar biasa. ChatGPT mendapatkan nilai antara B- dan B. Ini dengan catatan bahwa ChatGPT tidak akan mengalami perkembangan. Saya yakin ChatGPT akan terus berkembang, yang akhirnya melampaui nilai B.

Artinya adalah ChatGPT dapat berpotensi mendelegitimasi proses produksi pengetahuan. Tidak hanya ChatGPT, aplikasi AI lainnya juga demikian.

Proses menjadi tidak berarti di hadapan aplikasi AI. Sehingga nantinya, perguruan tinggi akan kesulitan menghasilkan lulusan yang memiliki pola pikir yang dibutuhkan.

Sebaliknya, akan muncul generasi instan yang tidak menghargai proses untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, universitas gagal melakukan edukasi penting terhadap mahasiswa/i.

Penggunaan aplikasi AI akan membuat sivitas akademika kurang dapat menghasilkan pengetahuan yang holistik dan timeless.

Hal ini karena semua sudah tersedia di ChatGPT dan aplikasi AI lainnya. Kita hanya tinggal mengetikkan pertanyaan dan kata kunci yang relevan mampu menghasilkan jawaban yang terstruktur.

Tak ada eksperimen pemikiran yang melelahkan. Semuanya sudah tersistematisasi melalui kecerdasan buatan.

Neil Postman, seorang pendidik, penulis, dan kritikus budaya, telah menuliskan implikasi dari perkembangan teknologi. Dia menyebut peradaban ini sebagai teknopoli.

Dalam bukunya yang berjudul Teknopoli: Budaya, Saintisme, Monopoli Teknologi, Neli menjelaskan bahwa teknologi adalah sebuah keadaan budaya dan merupakan kondisi pikiran.

Teknopoli adalah pendewaan teknologi, yang berarti budaya mencari otorisasi dalam teknologi, menemukan kepuasan dalam teknologi, dan menerima tatanannya dari teknologi.

Kehidupan inilah yang saat ini kita jalani. Dengan masuknya teknologi kecerdasan buatan ke dalam dunia pendidikan, menciptakan iklim seperti halnya yang dilakukan Socrates pada zaman Yunani menjadi sulit.

Pemimpin perguruan tinggi dihadapkan pada kemudahan teknologi, yang membuat proses tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang berharga.

Padahal, Rene Descartes mengatakan bahwa jika kita berpikir, maka kita ada. Berpikir merupakan simbol dari keberadaan kita.

Banyak hal yang kita gunakan merupakan hasil olah pikir kita. Namun, dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat dan canggih, sivitas akademika seakan dibebaskan kewajibannya untuk berpikir mencari jawaban dari sebuah pertanyaan.

Hal ini akan menjadi masalah di perguruan tinggi. Pemimpin perguruan tinggi harus mencari solusinya agar insan pendidikan tinggi tetap dapat mencetak generasi yang tangguh, inovatif, dan berdaya saing tinggi.

Terlebih, seharusnya perguruan tinggi menjadi tempat berdialektika, tempat di mana banyak pemikiran unik muncul.

Sebagai pemimpin di perguruan tinggi, iklim itulah yang harus kita bentuk sama-sama. Bukan iklim dan budaya instan seperti sekarang ini.

Bagaimana menyikapinya

Implikasi tersebut membuat pemimpin di dunia pendidikan tinggi harus menyikapi inovasi teknologi secara bijaksana dan seksama.

Hal ini karena perguruan tinggi merupakan pintu masuk generasi muda untuk bisa berkontribusi kepada Indonesia.

Syarat agar bisa berkontribusi untuk Indonesia adalah generasi muda harus punya mental tangguh, kuat, inovatif, dan berjiwa entrepreneurship. Oleh karena itu, perguruan tinggi punya peran yang krusial mendidik mahasiswa/i agar mereka siap untuk berkontribusi.

Terlebih, Indonesia akan memiliki banyak usia produktif, yang dapat membantu untuk menaikkan level negara kita.

Dengan banyaknya tools AI yang memudahkan, bonus demografi dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, penggunaan tools AI ini memang dapat memudahkan berbagai aktivitas, seperti membuat video, presentasi, dan membuat tulisan.

Namun, kemudahan tersebut harus dibayar dengan berkurangnya kemampuan untuk berpikir kritis, rasa curiosity, keinginan melakukan riset, dan kecerdasan emosional.

Proses pencarian ilmu pengetahuan bukanlah proses yang mudah. Akan ada banyak hal yang membuat kita gagal berproduksi pengetahuan, baik itu ada kesalahan metode maupun hal lain yang tidak terlihat.

Tak jarang, itu membuat emosi kita menjadi lelah dan tak ingin lagi menggali pengetahuan. Oleh karena itu, hanya ada sedikit para filsuf dan ilmuwan yang ada di dunia karena sesulit itu menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Rasa penasaran juga akan semakin berkurang karena semuanya sudah ada jawabannya, berikut dengan caranya pula.

Rasa penasaran menjadi elemen penting apakah kita bisa menjadi seorang life-long learner atau tidak. Dengan mengetahui bahwa segala jawaban telah tersedia, keinginan untuk mencari tahu pun akan hilang.

Terlebih, rasa penasaran yang tinggi membawa manfaat yang besar. Studi dari Gruber, et al (2014) menemukan bahwa 30 persen orang akan lebih mengingat sesuatu ketika mereka penasaran.

Selain itu, Kashdan, et al (2014) menemukan bahwa orang yang punya keingintahuan yang besar mendapatkan banyak dampak positif di tempat kerja.

Pemimpin di perguruan tinggi perlu menyikapi dengan bijak permasalahan ini. Kedepan akan semakin banyak tools yang memudahkan manusia untuk beraktivitas.

Akan banyak yang menganggap bahwa dunia pendidikan tak lagi relevan dengan perkembangan zaman yang semakin terbuka.

Oleh karena itu, saya menyarankan pemimpin perguruan tinggi melakukan tiga hal berikut.

Pertama, perguruan tinggi perlu membuat dan mengadaptasi kurikulum yang mampu merespons perkembangan teknologi. Dengan kata lain, perguruan tinggi perlu reinvent dari segi cara, metode, dan pengajaran.

Perguruan tinggi juga harus membuat peraturan yang melarang mahasiswa/i untuk menggunakan kecerdasan buatan dalam tugas akhir. Hal ini karena menggunakan AI melanggar kode etik akademis.

Selain itu, perguruan tinggi juga menjadi tempat yang mendorong tumbuhnya pemikiran orisinil.

The Stanford Daily, salah satu media yang dikelola mahasiswa/i Universitas Stanford, melakukan survei informal tentang ini.

Hasilnya. 31,5 persen menganggap melanggar kode etik jika digunakan lebih dari sebuah ide semata. Sebanyak 22,7 persen pendapat penggunaan ChatGPT melanggar kode etik jika kita menggunakannya untuk kepentingan apapun.

Lalu 21 persen berargumen bahwa menyerahkan tugas menggunakan ChatGPT tanpa proses penyuntingan merupakan pelanggaran.

Kedua adalah membuat indikator penilaian terhadap proses pengerjaan, bukan hanya hasilnya saja.

Nancy Gleason, Direktur Pusat Pengajaran dan Pembelajaran Hilary Ballon di NYU Abu Dhabi, dalam tulisannya di Times Higher Education menegaskan bahwa penilaian harus bergeser dari hasil ke proses.

Dengan hadirnya ChatGPT dan tools AI lainnya, perguruan tinggi harus melakukan itu secepatnya.

Ketiga adalah membuat peraturan yang ketat terhadap penggunaan tools AI dalam praktik akademik di perguruan tinggi.

Peraturan ketat ini utamanya meliputi sanksi apabila menggunakan tools AI untuk kepentingan pengetahuan. Selain sanksi, pemimpin perguruan tinggi perlu memiliki alat detektor yang dapat mengecek tugas mahasiswa/i yang menggunakan ChatGPT.

Kabar baiknya, ChatGPT sedang mengembangkan watermark yang menandai bahwa tulisan ini ditulis oleh ChatGPT.

Inovasi ini setidaknya membuat dosen di perguruan tinggi mengetahui tulisan yang dibuat oleh ChatGPT atau manusia.

Kecerdasan buatan akan semakin masif perkembangannya. Pemimpin di dunia pendidikan perlu selektif dalam mengaplikasikan tools yang ada, sehingga perguruan tinggi tetap mampu menjalankan perannya. Tidak semua tools cocok untuk diterapkan dalam dunia pendidikan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi