Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal Aksi Penganiayaan di Titik Nol Jogja, Kriminolog: Pencegahan Bukan Hanya Penindakan

Baca di App
Lihat Foto
Twitter
Klitih
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Video komplotan remaja melakukan aksi kriminal jalanan di Titik Nol Kilometer Yogyakarta viral di media sosial.

Dalam video itu, sekelompok pemuda melakukan penganiayaan menggunakan senjata tajam sambil mengendarai motor pada Selasa (7/2/2023) 04.30 WIB.

Dilansir dari Kompas.com (10/2/2023), Polresta Yogyakarta sudah menangkap enam pelaku penganiayaan di kawasan Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta yang sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu.

Setelah video penganiayaan viral, Polresta Yogyakarta melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dan mendapatkan identitas korban, yaitu GN, MK, FN, YG, LT, dan TN.

Aksi kriminal seperti yang dilakukan remaja di jalan ini sering dikenal dengan sebutan klitih. Sehingga begitu video menjadi viral, warganet pun kembali memperbincangkan soal klitih. 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meski begitu, Kapolresta Yogyakarta Kombes Pol Saiful Anwar menyebut penganiayaan dengan senjata tajam di Titik Nol Km ini memiliki pola yang berbeda dengan motif kejahatan jalanan yang sering terjadi di Kota Yogyakarta.

Pada Jumat (10/2/2023), Saiful menjelaskan bahwa peristiwa ini tidak termasuk kejahatan jalanan yang umumnya dilakukan secara acak. 

Aksi penganiayaan di jalanan bukan kali pertama ini terjadi. Lantas bagaimana penanganan dan pencegahan aksi kriminalitas tersebut?

Baca juga: Viral, Video Klitih Nekat Beraksi di Titik Nol Jogja, Ini Kronologinya


Adanya stigma buruk

Jika memperbincangkan soal klitih, kriminolog sekaligus dosen Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar mengungkapkan bahwa klitih tidak selalu berarti negatif.

"Klitih ini kelompok orang yang suka mencari angin, jalan-jalan santai, kelihatan tidak bertujuan. Biasanya yang suka gitu remaja," jelasnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (10/2/2023).

Ia menjelaskan lebih lanjut kalau Yogyakarta banyak terdapat klitih karena warga yang tinggal di sana cenderung heterogen. Orang-orang ini berasal dari pendatang ke provinsi itu. Mereka memiliki banyak budaya dan bertemu di Yogyakarta.

Yesmil Anwar mengungkap, klitih dulu bukanlah istilah yang berati buruk seperti saat ini. Mereka hanya anak muda yang suka nongkrong saja. Namun, karena berkelompok, klitih dikonotasikan sebagai geng remaja.

"Proses pemberian stigma kepada masyarakat urban society di pinggiran kota," lanjutnya.

Baca juga: Rentetan Pembunuhan dan Tindak Kriminal Sadis, Apa yang Terjadi?

Yesmil menyebut, klitih memiliki arti buruk usai ada oknum yang mulai melakukan tindak kekerasan dan kejahatan saat sedang klitih atau nongkrong. Kelompok ini merusak norma baku kedamaian dalam masyarakat.

Oknum remaja yang suka berbuat kekerasan melakukannya untuk adu kehebatan diri antara kelompok lainnya. Mereka mencari orang terkuat di antara para kelompok anak jalanan.

Selain itu, menurutnya, oknum remaja melakukan kekerasan untuk mencari identitas diri sekaligus mengumpulkan uang untuk konsumsi.

Yesmil mengungkap, para remaja itu suka menggunakan senjata tajam saat beraksi. Ini dilakukan agar mampu beraksi lebih efektif dalam menakut-nakuti korban.

Meski klitih yang sekarang terkenal karena suka menyakiti korban di pinggir jalan, Yesmil menolak anggapan bahwa remaja yang suka nongkrong selalu berarti buruk.

"Jangan selalu dianggap negatif. Harus dalam konteks sebenarnya. Mereka melakukannya karena frustasi secara sosial," tegasnya.

Menurutnya, stigma buruk kepada remaja yang suka klitih yang disamakan dengan geng kriminal justru berbahaya. Remaja yang mendapat anggapan buruk ini malah berpotensi menjadi penjahat besar kelak.

Baca juga: Mengapa Napi Asimilasi Kembali Berbuat Kriminal? Ini Analisisnya...

Mengatasi aksi kekerasan di jalanan

Yesmil menegaskan, kejahatan remaja di jalanan, baik klitih atau bukan, sebenarnya bisa dihilangkan. Namun, caranya harus benar.

Menurutnya, harus ada tokoh masyarakat, agama, politik, dan perwakilan dari remaja serta wanita yang bertugas merangkul pelaku yang berbuat kekerasan. Ini berarti bukan hanya dari kepolisian.

Ia menolak jika aksi kekerasan di jalanan ini hanya ditangani secara pidana oleh polisi. Hal tersebut justru akan menciptakan konflik baru. Untuk itu, Yesmil menyarankan agar diadakan sesuatu yang guyup atau rukun terhadap para remaja.

"Pencegahan bukan penindakan. Pencegahan memang lebih mahal tapi lebih permanen. Penindakan tidak akan menghasilkan perubahan karena pelaku tidak memiliki kesadaran kalau perbuatannya salah," jelasnya.

Yesmil menyarankan agar remaja yang melakukan kekerasan di jalanan harus diarahkan agar tidak salah jalan. Pemerintah atau polisi juga perlu memberikan penyuluhan hukuman.

Selain itu, ia mendorong adanya penyuluhan hukuman dari pemerintah atau polisi. Tindakan ini dilakukan melalui permainan yang sesuai dengan remaja, bukan cuma mendengarkan penjelasan dari pengisi acara.

Yesmil juga mendorong adanya sistem keamanan dari RT/RW yang bertugas. Para petugas itu harus melakukan penyuluhan mengenai klitih kepada remaja secara umum.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi