KOMPAS.com – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menjatuhkan vonis lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J.
Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo divonis hukuman mati. Sementara sang istri, Putri Candrawathi divonis 20 tahun penjara dalam kasus tersebut.
Vonis hukuman yang diberikan kepada Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi jauh lebih berat dari tuntutan jaksa penutut umum (JPU). Sebelumnya Sambo dituntut pidana penjara seumur hidup sementara Putri Candrawathi dituntut JPU 8 tahun penjara.
Terbaru, terdakwa Kuat Ma'ruf divonis 15 tahun penjara, lebih berat dari tuntutan JPU yakni 8 tahun penjara.
Vonis hakim terhadap ketiga terdakwa yang melebihi tuntutan jaksa disebut sebagai ultra petita, apa itu ultra petita?
Baca juga: Profil Wahyu Iman Santoso, Ketua Majelis Hakim yang Jatuhkan Vonis Mati pada Ferdy Sambo
Penjelasan tentang ultra petita
Dilansir dari Kompas.com, ultra petita merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin. Ultra berarti sangat, sekali, dan berlebihan. Sedangkan petita berarti permohonan.
Secara umum, ultra petita dapat diartikan sebagai penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang diminta.
Penjelasan mengenai ultra petita tercantum dalam Pasal 178 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) dan Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg).
Pasal 178 HIR berbunyi, “Ia (hakim) tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat.”
Sementara bunyi Pasal 189 Ayat 3 RBg, yakni “Ia dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberikan lebih dari yang dimohon.”
Baca juga: Apa Itu Ultra Petita?
Putusan ultra petita dalam perkara pidana dan perdata
Dalam hukum acara pidana, saat melakukan pemeriksaan di persidangan hingga memutuskan perkara, hakim harus berlandaskan pada dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum.
Disebutkan di Pasal 182 Ayat 4 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), musyawarah terakhir hakim untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Berdasarkan aturan ini, pada prinsipnya, hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa jika perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaan.
Namun, pada pelaksanaannya, beberapa putusan pidana yang dijatuhkan oleh hakim di luar atau melebihi dakwaan dan tuntutan dari jaksa penuntut umum.
Secara prinsip, putusan ultra petita juga tidak diperkenankan dalam penyelesaian perkara perdata.
Putusan ultra petita bahkan dapat menjadi alasan diajukannya permohonan peninjauan kembali.
Alasan tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 67huruf c UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yakni apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut.
Meski demikian, sama seperti perkara pidana, putusan ultra petita dalam perkara perdata juga secara normatif diperbolehkan untuk sejumlah kasus.
Putusan ini tentu dengan mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan.
Baca juga: Vonis Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi: Kejutan Ultra Petita yang Agung
Contoh putusan ultra petita
Contoh putusan ultra petita dijatuhkan hakim terhadap seorang advokat, Susi Tur Andayani, dalam perkara suap pengurusan sengketa Pilkada Lebak dan Lampung Selatan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam putusannya, hakim menilai Susi tidak terbukti melakukan Pasal 12 huruf c UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti dakwaan yang diajukan jaksa KPK.
Menurut hakim, dakwaan tersebut tidak tepat untuk Susi karena mengatur tentang hakim yang menerima suap, sedangkan Susi bukanlah hakim yang memutus perkara.
Hakim justru menilai Susi terbukti bersalah menyuap hakim sebagaimana Pasal 6 Ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Hakim juga menilai Susi terbukti melanggar Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Hakim menyatakan Susi terbukti bersalah memberikan suap kepada Ketua MK, Akil Mochtar, sebesar Rp 1 miliar terkait pengurusan sengketa Pilkada Lebak dan Rp 500 juta terkait pengurusan Pilkada Lampung Selatan.
Atas pertimbangan ini, pada 23 Juni 2014, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan vonis lima tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Susi.
Mahkamah Agung kemudian memperberat hukuman Susi menjadi tujuh tahun penjara dalam putusan kasasi yang diajukannya.
Referensi:
- Noerteta, Risa Sylvya. 2021. Independensi Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi: Tinjauan Perma Nomor 1 Tahun 2020 Jo. UU Nomor 48 Tahun 2009. Surabaya: Global Aksara Pres.
- UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
- UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
- Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR)
- Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Apa Itu Ultra Petita?"
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.