Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 31 Jan 2023

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Mengapa Deforestasi Harus Menjadi Musuh Masyarakat?

Baca di App
Lihat Foto
Peter Blanchard - flickr
Ilustrasi deforestasi
Editor: Egidius Patnistik

KRISIS iklim akan mengganggu keberlangsungan hidup manusia di Bumi. Penyebab krisis iklim adalah pemanasan global. Pemanasan global dipicu produksi emisi karbon yang menimbulkan efek gas rumah kaca di atmosfer karena Bumi tak sanggup menyerap emisi karbon tersebut. Emisi karbon dihasilkan aktivitas ekonomi manusia untuk bertahan hidup dan mencapai kemajuan.

Para ilmuwan di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sepakat bahwa bencana iklim yang mengancam umat manusia akan terjadi jika kenaikan suhu bumi melebihi 1,5 C sebelum tahun 2024. Saat ini kenaikan suhu bumi sudah berada di 1,2 C dan dampaknya kian terasa.

Gelombang panas tanpa akhir di negara-negara belahan Bumi utara hingga hujan ekstrem yang menyebabkan 1/3 dari daratan Pakistan terendam banjir. Krisis iklim menambah parah bencana kelaparan. Sepuluh titik pusat krisis iklim terparah adalah Afganistan, Burkina Faso, Djibouti, Guatemala, Haiti, Kenya, Madagaskar, Nigeria, Somalia dan Zimbabwe.

Baca juga: Bahas UU Deforestasi, Indonesia dan Malaysia Kirim Utusan Minyak Sawit ke Uni Eropa

Penyebab terbesar adanya emisi karbon adalah alih fungsi hutan untuk kepentingan non kehutanan. Menurut data terakhir, sektor terbesar penyumbang emisi sebesar 48 persen berasal dari perubahan fungsi hutan menjadi non-hutan. Menyusul karbon dari transportasi sebesar 21 persen, kebakaran 12 persen, limbah pabrik 11 persen, pertanian 5 persen, dan sektor industri 3 persen.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penelitian Departemen Teknik Sipil di University of Hongkong dan Southern University of Science and Technology mendeteksi hilangnya karbon tropis selama dua dekade terakhir karena penggundulan hutan yang berlebihan. Kehilangan simpanan karbon hutan tropis di seluruh dunia naik 0,97 miliar ton per tahun pada 2001-2005 menjadi 1,99 miliar ton per tahun pada 2015-2019.

Alih fungsi hutan untuk kepentingan non kehutanan yang lebih dikenal dengan sebutan deforestasi menjadi sangat terkenal dan penuh kontroversi sejak digulirkannya COP 21 di Paris Perancis Desember 2015 yang menghasilkan Paris Agreement tentang pengendalian krisis iklim. Sebanyak 197 negara yang mengikuti COP 21 bersepakat untuk menstabilkan konsentrasi gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim.

Indonesia berkomitmen kepada dunia internasional dalam upaya pengendalian perubahan iklim global berupa penurunan emisi GRK dan mengatasi kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim melalui tindakan adaptasi perubahan iklim. Target Nationally Determined Contributions (NDC) dalam COP 21 di Paris (2015) , Indonesia akan menurunkan emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 29 persen CMI melalui upaya sendiri dan 41 persen CMI melalui bantuan internsional.

Namun dalam COP 27 di Sharm El-Sheikh, Mesir (2022), target penurunan emisi GRK Indonesia pada 2030 diubah menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,2 dengan bantuan asing.

Aksi mitigasi perubahan iklim meliputi lima sektor yakni sektor kehutanan (CM1 17,2 n CM2 13 persen), sektor energi (CM1 11n CM2 14 persen), sektor limbah (CM1 0,38 n 1 persen CM2), sektor pertanian (CM1 0,32 n CM2 0,13 persen), sektor IPPU (CM1 0,10 n CM2 0,11 persen).

Penurunan emisi GRK di sektor kehutanan merupakan penurunan yang paling tinggi dibandingkan dengan empat sektor lainnya. Target kegiatan penurunan emisi GRK di sektor kehutanan meliputi penurunan deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan lestari, peningkatan cadangan karbon dan peningkatan peranan konservasi.

Kontroversi Deforestasi

Secara sederhana pemahaman deforestasi dalam prakteknya di lapangan adalah berapa luas lahan kritis yang terjadi dalam kawasan hutan. Pokok persoalan yang menjadi kontroversi dan sering diperdebatkan selama ini adalah mengenai definisi atau pengertian tentang lahan kritis dalam kawasan hutan.

Saat bertugas di Dinas Kehutanan kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah tahun 2004, saya ketika mendampingi Bupati Katingan, sempat berdiskusi dan berdebat dengan seorang anggota Komisi IV DPR RI dari daerah pemilihan Provinsi Jambi, yang berkunjung kelokasi kegiatan rehabilatasi hutan dan lahan (RHL) di perbatasan antara Kota Palangkaraya dan wilayah Katingan.

Anggota DPR itu, tampak kaget dengan lokasi kegiatan RHL yang dikunjungi. Pasalnya, lokasi RHL yang dilihat adalah kawasan lahan yang hijau, ada semak belukar dan anakan kayu kayuan dari jenis yang tidak mempunyai nilai ekonomis karena tidak laku diperdagangkan.

Bayangan anggota Dewan itu, lahan kritis meski dalam kawasan hutan adalah kawasan lahan hutan yang gundul (tidak terdapat tanaman dan anakan kayu-kayuan), tampak warna tanahnya yang kuning akibat erosi, sebagaimana yang pernah dilihat dan dikunjunginya sebelumnya di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Baca juga: Indonesia Perlu Berbenah Hadapi Aturan Anti Deforestasi Uni Eropa

Sebagai rimbawan yang bergelut cukup lama di kegiatan RHL, saya jelaskan pengertian secara konvensional lahan kritis, baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan. Penjelasan saya, tampaknya diterima dengan baik dan anggota DPR itu berterima kasih karena baru kali itu mendapatkan penjelasan lahan kritis yang sifatnya clean dan clear.

Sebenarnya, jauh sebelum adanya kemajuan teknologi penginderaan jarak jauh (remote sensing) dan berkembang menjadi citra satelit resolusi tinggi seperti sekarang, pendekatan konvesional telah dilakukan tentang pengertian lahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.

Secara konvensional lahan kritis dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu lahan kritis fisik teknis, lahan kritis hidrologis, dan lahan kritis sosial ekonomis. Lahan kritis fisik teknis adalah lahan kritis yang secara kasat mata dapat dilihat sebagai lahan yang tidak produktif secara vegetatif (baik tanaman bawah seperti rumput-rumputan apalagi kayu kayuan). Kerusakan vegetasi pada lahan kritis jenis ini hampir mencapai di atas 75 persen.

Contoh aktualnya adalah lahan kritis yang berada di hulu DAS Solo dan hulu Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, sebagaimana yang dilihat anggota DPR komisi IV yang berkunjung ke kabupaten Katingan itu.

Lahan kritis hidrologis adalah lahan di mana telah terjadi kerusakan hidrolgis. Fungsi pengatur keseimbangan air telah terganggu akibat tutupan vegetasi mulai rusak, khususnya vegetasi kayu-kayuan. Surface run off (aliran air di permukaan) lebih besar dibanding dengan subsurface run off (aliran air yang masuk kedalam tanah).

Akibatnya debit air pada musim hujan meningkat tajam, sedangkan debit air pada musim kemarau sangat kecil. Bila rasio antara debit air maksimum dan minimum pada musim hujan lebih dari 40, maka dapat dipastikan terjadi banjir pada musim hujan.

Lahan kritis jenis ini banjak terdapat di daerah hulu daerah aliran sungai (DAS) besar di Jawa, seperti DAS Solo, Brantas, Citanduy, atau Cimanuk.

Sementara lahan kritis secara sosial ekonomis adalah lahan kritis yang secara vegetatif khususnya tanaman/tumbuhan bawah masih baik. Namun secara sosial apalagi secara ekonomis tidak atau kurang memberi manfaat nyata kepada masyarakat.

Tipe lahan kritis ini banyak ditemukan di Kalimantan dan Sumatera, khususnya bekas areal lahan HPH yang open akses seperti di Katingan.

Itulah yang sebenarnya dimaksud deforestasi, di samping selain kawasan hutan akibat perambahan atau perladangan berpindah (shifting cultivation), dan kebakaran hutan.

Deforestasi Aktual

Di era teknologi industri 4.0 yang ditandai dengan adanya kemajuan teknologi informasi (TI) dan digitalisasi maka deskripsi deforastasi akan lebih mudah dengan bantuan citra satelit beresolusi tinggi. Deforestasi dapat digambarkan dan disederhanakan menjadi berapa luas kawasan hutan yang telah kehilangan tutupan hutannya (unforested) dari hasil indentifikasi citra satelit dengan resolusi tinggi yang mampu menggambarkan landcover sampai skala 1: 5000.

Berdasarkan buku The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020 yang terbit Desember 2020, luas hutan Indonesia menyusut tinggal 120,3 juta hektare, yang terdiri dari 22,9 juta hektare hutan konservasi, 29,6 juta hektare hutan lindung, 26,8 juta hektare hutan produksi terbatas, 29,2 juta hektare hutan produksi biasa, dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang dapat dikonversi.

Sementara itu Areal Penggunaan Lain (APL) luasnya 67,5 juta hektare yang masih memiliki tutupan hutan seluas 6,4 juta hektare yang terdiri dari hutan primer 1,5 juta hektare dan hutan sekunder 4,9 juta hektare.

Hutan konservasi dan hutan lindung selama ini dianggap sebagai hutan perawan atau virgin forest. Anggapan ini tak sepenuhnya benar. Hutan konservasi terdiri dari hutan primer 12,5 juta hektare, hutan sekunder 4,8 juta hektare, hutan tanaman 0,1 juta hektare, dan non hutan (termasuk lahan kritis) 4,5 juta hektare.

Sedangkan hutan lindung terdiri dari hutan primer 15,9 juta hektare, hutan sekunder 7,8 juta hektare, hutan tanaman 0,3 juta hektare, dan non hutan (termasuk lahan kritis) 5,6 juta hektare.

Kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan (telah mengalami deforestasi) seluas 33,4 juta hektare dan merupakan lahan-lahan terbuka, semak belukar dan tanah terlantar. Meski kawasan hutan seluas 33,4 juta hektare itu tak lagi memiliki tutupan hutan, kawasan tersebut masuk dalam kawasan hutan konservasi 4,5 juta hektare, hutan lindung 5,6 juta hektare, hutan produksi terbatas 5,4 juta hektare, hutan produksi biasa 11,4 juta hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 6,5 juta hektare.

Baca juga: Deforestasi Ancam Penyebaran Malaria Knowlesi pada Manusia

Berangkat dari data digital deforestasi di atas, sudah seharusnya pengendalaian krisis iklim dari sektor kehutanan untuk menurunkan deforestasi dan degradasi hutan dimulai dari angka 33,4 juta hektare. Itu pun, harus dipilih dan dipilah menurut skala prioritas sesuai dengan kemampuan penganggaran, SDM,  dan peralatan yang ada.

Prioritas tertinggi untuk menurunkan deforestasi adalah memulihkan dan merehabilitasi dengan revegetasi tanaman/vegetasi kayu-kayuan pada kawasan hutan lindung 5,6 juta hektare dan hutan konservasi 4,5 juta hektare.

Sementara untuk hutan produksi yang dipersiapkan untuk perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) selain perizinan berusaha pemanfaatan hasil hutan kayu dapat diarahkan pada kawasan hutan produksi biasa maupun terbatas yang tidak ada tutupan hutannya seluas 16,8 juta hektare.

Pemulihan dan rehabilitasi kawasan hutan yang telah terdeforestasi tidaklah mudah dan tidak semudah membalik tangan. Buktinya sudah lebih dari 40 tahun, rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dilaksanakan dihitung sejak adanya Inpres Reboisasi dan Penghijauan tahun 1976, dengan luasan ribuan hektar hutan yang direhabilitasi, sampai hari ini belum sekalipun dirilis secara resmi berapa luas keberhasilan yang dicapai.

Hal itu membuktikan betapa sulitnya membangun hutan kembali dibandingkan dengan kegiatan deforestasi yang berlangsung setiap tahun. Wajar apabila deforestasi dapat dianggap musuh masyarakat (public enemy) karena pengaruh, dampaknya sangat besar dan sangat mengacam bagi kelangsungan hidup manusia tidak saja bagi bangsa Indonesia tetapi juga masyarakat dunia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi