KOMPAS.com - Universitas Gadjah Mada (UGM) saat ini tengah melakukan kajian akademik terkait aturan pemberian profesor kehormatan pada perguruan tinggi.
Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi.
Ketua Tim Kajian Regulasi Profesor Kehormatan UGM Andi Sandi Antonius menuturkan, kajian ini dilakukan untuk menjaga marwah UGM sebagai lembaga pendidikan.
"Kajian ini dimaksudkan untuk mendudukkan pemberian profesor kehormatan dengan prudent, sehingga marwah UGM sebagai lembaga pendidikan tinggi tetap terjaga," kata Andi dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Kamis (16/2/2023).
Baca juga: Informasi Diskon Tiket Kereta untuk Civitas dan Alumni UNS, UGM, ITB, ITS, UNY, dan Unair
Sementara itu, Sekretaris Rektor UGM Wirastuti Widyatmanti menuturkan, pihaknya sangat menghargai dan menghormati setiap pandangan yang muncul.
Karena itu, UGM nantinya akan menyampaikan hasil kajian tersebut kepada kementerian terkait.
"Hasil akhir dari kajian tersebut akan disampaikan kepada kementerian dan menjadi dasar langkah UGM ke depannya," jelas Wirastuti.
Baca juga: Beredar Surat Penolakan Dosen UGM terhadap Pemberian Gelar Profesor Kehormatan pada Pejabat Publik
Surat penolakan dosen UGM
Diberitakan sebelumnya, beredar draf surat penolakan dosen UGM terkait pemberian gelar profesor kehormatan kepada individu non-akademik, termasuk pejabat publik.
Draf tersebut bertanggal 22 Desember 2022 yang ditujukan kepada Rektor UGM, ketua, sekretaris, ketua-ketua komisi, dan anggota Senat Akademik UGM.
Ada 6 alasan para dosen menolak pemberian gelar profesor kehormatan kepada pejabat publik.
Pertama, profesor merupakan jabatan akdemik, bukan gelar akademik. Jabatan akademik memberikan tugas kepada pemegangnya untuk untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban akademik.
Baca juga: Sebelum Bergelar Profesor, Begini Perjalanan Akademik Habibie
Bagi para dosen, kewajiban-kewajiban akademik tersebut tidak mungkin dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pekerjaan dan atau posisi di sektor non-akademik.
Kedua, pemberian gelar honorary professor (guru besar kehormatan) kepada individu yang berasal dari sektor non-akademik tidak sesuai dengan asas kepatutan "we are selling our dignity".
Ketiga, Honorary Professor seharusnya diberikan kepada mereka yang mendapatkan jabatan akademik profesor.
Baca juga: Siti Baroroh Baried, Profesor Perempuan Pertama di Indonesia
Keempat, jabatan profesor kehormatan tidak memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas dan reputasi UGM.
Sebaliknya, hal tersebut akan merendahkan marwah keilmuan UGM.
Kelima, pemberian profesor kehormatan akan menjadi prrseden buruk dalam sejarah UGM dan berpotensi menimbulkan praktik transaksional dalam pemberian gelar dan jabatan akademik.
Baca juga: Mengenang Profesor Drum Neil Peart...
Keenam, pemberian profesor kehormatan seharusnya diinisiasi oleh departemen yang menaungi bidang ilmu calon profesor kehormatan tersebut, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akademik sesuai bidang ilmunya.
"Berdasarkan poin-poin di atas, kami dosen-dosen UGM menyatakan menolak usulan pemberian gelar guru besar kehormatan kepada individu-individu di sektor non-akademik, termasuk kepada pejabat publik," bunyi draf tersebut.
Draft itu kemudian dilengkapi dengan daftar nama-nama dosen yang ikut menolak pemberian gelar profesor kehormatan.
Baca juga: Bagaimana Cara Memastikan Gelar Profesor Seseorang?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.