Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD
Bergabung sejak: 25 Sep 2022

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Heboh ChatGPT dan Dunia Pendidikan Tinggi Kita

Baca di App
Lihat Foto
Kompas.com/Wahyunanda Kusuma
Ilustrasi ChatGPT Plus di Indonesia.
Editor: Sandro Gatra

KEHEBOHAN tentang ChatGPT akhir-akhir ini membuat banyak perguruan Tinggi di dunia bersuara.

Sebuah artikel berjudul Embracing the AI Revolution – ChatGPT & Co. in the Classroom, yang ditulis Julius Ritter dan diterbitkan Berkeley Hass, University of California Berkeley, 10 Februari 2023 menyatakan, ChatGPT yang dikembangkan oleh OpenAI adalah aplikasi dengan pertumbuhan tercepat dan telah mencapai 100 juta pengguna hanya dalam waktu dua bulan setelah diluncurkan.

Ritter menambahkan, meskipun aplikasinya bermanfaat bagi mahasiswa, AI generatif telah menimbulkan kekhawatiran para pakar. Penggunaan AI dalam pendidikan akan mengurangi keterampilan berpikir kritis di kalangan mahasiswa.

Tantangan penggunaan AI di perguruan tinggi terletak pada model verifikasi jawaban yang disajikan.

Ritter lebih jauh mengatakan bahwa pengguna harus menjadi editor dan bukan sekadar regurgitator.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ChatGPT yang dikembangkan oleh OpenAI, perusahaan teknologi asal Amerika Serikat, dan diluncurkan pada 30 November 2022, adalah chatbot berbasis kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI), yang dapat melakukan percakapan dan memberikan jawaban berdasarkan kebutuhan penggunanya yang diatur secara natural dalam berbagai bahasa.

Dilansir The New York Times, 3 Februari 2023, OpenAI adalah perusahaan dengan standar Silicon Valley.

Sekelompok pendukung OpenAI telah berkomitmen untuk mendanai proyek ini senilai 1 miliar dollar AS. Mereka adalah Reid Hoffman, Jessica Livingston, Peter Thiel, Greg Brockman, Elon Musk, dan Sam Altman.

Pada 2019, OpenAI LP menerima investasi sebesar 1 miliar dollar AS dari Microsoft. Pada Februari 2018, Musk mengundurkan diri dari kursi dewan untuk menghindari "potensi konflik” di masa depan, terkait pengembangan AI Tesla untuk produk mobil tanpa pengemudi. Namun Musk tetap menjadi donator proyek ini.

Ada hal yang perlu dicatat, berdasarkan berbagai sumber, para pendiri khususnya Elon Musk dan Sam Altman melakukan langkah ini konon karena terdorong kekhawatiran kecerdasan buatan dapat mengancam keberadaan manusia.

Cara kerja ChatGPT tentu menggunakan algoritma dan berbasis konten internet yang telah ada sebelumnya. Platform ini dikembangkan berbasis GPT-3.5, yaitu suatu model bahasa natural dalam bentuk teks dengan kecepatan detik.

Saya sudah mengunduh platform ini melalui toko aplikasi Playstore. Platform ini memang dirancang agar pengguna merasa seperti tidak sedang berhadapan dan berkomunikasi dengan robot.

Frasa Generative Pre-Trained Transformer (GPT), berkonotasi bahwa chatbot ini akan memberikan jawaban layaknya manusia, sesuai instruksi atau pertanyaan penggunanya.

Jawaban diberikan ChatGPT dalam bentuk teks secara otomatis berdasarkan struktur dan kaidah bahasa.

Meskipun saat saya berinteraksi dengan chatbot tersebut, masih banyak teks jawaban yang kaku dan belum akurat.

Hal yang menarik, platform berbasis AI ini juga sanggup melakukan “kreativitas” lain sesuai instruksi pengguna, seperti membuat puisi, membuat rencana kerja, membuat tagline, dan lain-lain.

Dengan teknologi AI dan algoritma, platform digital ini dirancang mampu mengelola dan memahami komunikasi dan diskusi interaktif layaknya manusia.

Kelebihan platform ChatGPT, terletak pada kecerdasannya untuk menghasilkan berbagai macam teks dalam hitungan detik dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia.

ChatGPT merupakan platform digital berbasis teknologi transformer yang dapat memprediksi probabilitas kalimat, atau kata berikutnya dalam suatu percakapan ataupun instruksi teks.

Saya mencatat betul bagaimana platform ini dirancang dengan output berbagai bahasa dan konten untuk melayani pertanyaan dan instruksi individu di seluruh dunia yang tentu sangat beragam dan tidak mudah.

Jika ChatGPT benar-benar bisa menampilkan jawaban dengan akurasi tinggi, maka ini akan menjadi super apps konten paling spektakuler.

Kelebihan lainnya, ChatGPT menyimpan data triliunan konten dan kalimat, dari berbagai sumber di seluruh dunia. Model ini dapat menangkap berbagai gaya bahasa dan konteks percakapan.

ChatGPT pun memiliki fitur fine-tunning. Fitur ini dapat digunakan untuk menambah data spesifik agar instruksi pengguna bisa compatible dengan sistem AI, sehingga jawabannya akan lebih tepat.

Namun, ChatGPT saat ini masih memiliki kelemahan dalam kinerjanya. Dari beberapa tes pertanyaan yang saya lakukan, masih terdapat jawaban salah.

Pengalaman pengguna lain juga menunjukan Chatbot ini malah mengajak "berdebat" tak akurat, bahkan seolah memiliki "emosi" layaknya manusia.

Berdasarkan referensi yang berkembang, ChatGPT untuk saat ini belum mampu memberikan informasi atau memahami konteks atas peristiwa setelah tahun 2021.

Dilansir dari portal resmi OpenAI, openai.com yang menulis laporan dengan judul ChatGPT: Optimizing Language Models for Dialogue, diakui masih adanya beberapa keterbatasan ChatGPT itu.

Menurut OpenAI, kelemahan itu adalah, pertama, ChatGPT terkadang menulis jawaban yang terdengar masuk akal, tetapi sebenarnya salah atau tidak logis.

ChatGPT juga peka terhadap frase input. Misalnya, ketika platform diberi satu frasa pertanyaan, bisa dijawab tidak tahu, tetapi dengan sedikit pengulangan, platform dapat menjawab dengan benar.

Kedua, model jawaban juga sering terlalu bertele-tele dan menggunakan frasa tertentu secara berlebihan.

Namun demikian, OpenAI mengklaim bahwa platform akan mengajukan pertanyaan klarifikasi saat menghadapi hal ambigu. Mereka menyatakan bahwa saat ini bisa menebak apa yang diinginkan pengguna.

Ketiga, OpenAI menyatakan bahwa meskipun mereka telah berupaya agar proses platform menolak permintaan yang tidak pantas, terkadang model tersebut menanggapi instruksi yang berbahaya, atau menunjukkan perilaku bias.

OpenAI menggunakan moderasi API untuk memperingatkan atau memblokir jenis konten tertentu yang tidak aman. OpenAI mengakui saat ini diprediksi akan ada hal negatif dan positif palsu.

Dilansir The New York Times, 16 Februari 2023, dalam laporan berjudul "This Is a Secret", teknologi ini masih dalam bentuk yang sangat kasar.

Laporan itu mengutip CEO OpenAI Sam Altman yang mengatakan bahwa "ChatGPT adalah produk yang mengerikan (horrible product).

Sebelumnya Altman juga menyebut beberapa kekurangan ChatGPT yang sering terjadi, termasuk soal desain yang sederhana dan masalah kapasitas sebagai problem signifikan.

Dilansir dari Stanford News, Stanford University Communications, 13 Februari 2023, dalam laporannya berjudul How will ChatGPT change the way we think and work? Stanford scholar examines, aplikasi yang menjanjikan ini juga melahirkan dilema etika.

Di dunia yang semakin didominasi oleh AI yang dapat meniru kemampuan bahasa alami manusia, universitas kelas dunia ini mempertanyakan apa artinya kejujuran dan keotentikan?

Di Stanford, ahli komunikasi Jeff Hancock menangani dan melakukan penelitian dampak AI pada hubungan antarpribadi.

Hancock berpendapat bahwa bot sekarang terdengar sangat nyata. Sehingga orang tidak dapat membedakan antara manusia dan mesin dalam percakapan, yang menimbulkan risiko besar untuk manipulasi dan penipuan dalam skala besar.

Lalu bagaimana alat ini dapat digunakan untuk kebaikan dan tidak merugikan?

Hancock melihat, potensi AI untuk membantu orang melakukan pekerjaan secara lebih efektif dengan segala kekurangannya.

Pada akhirnya, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mengembangkan AI yang mendukung tujuan manusia, dan mendidik cara terbaik menggunakan teknologi baru ini secara efektif dan etis.

Langkah antisipatif perguruan tinggi

Transformasi digital, termasuk lahirnya platform ChatGPT, adalah fakta yang dihadapi dunia saat ini sebagai dampak revolusi digital.

Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang menekankan lahirnya sumber daya manusia berkualitas dan berkarakter mulia, tentu harus mengawal dan mengantisipasi proses ini dalam ekosistemnya.

Pengembangan daya kritis para akademisi dan mahasiswa, logika cerdas dengan tetap menjunjung tinggi budi pekerti adalah hal penting.

Prinsip invensi dan penciptaan berbasis originalitas dan etika akademik serta penghargaan atas kekayaan intelektual harus dijaga, dibudayakan dan terus dikembangkan dalam ekosistem kampus.

Seiring waktu, jika tidak ada kebijakan yang berubah dari developernya, maka ChatGPT akan terus berkembang dan penggunaannya di kampus tidak dapat dihindari.

Dalam kondisi inilah para dosen harus memahami dan terus meng-update model bisnis platform ini secara praktis. Dengan demikian, dosen dapat mengetahui mana mahasiswa yang menjadikan platform tersebut seutuhnya tanpa mereka bekerja secara kreatif, berpikir kritis, dan tidak menganalisisnya secara cerdas dan jujur.

Berdasarkan pengetahuan ini, dosen juga akan memahami, mana mahasiswa yang menjadikan ChatGPT sebatas sebagai sumber referensi dan bahan dasar untuk dianalisis, dikritisi, dikembangkan, dikomparasi, hingga diramu dengan logika cerdas dengan tetap menjunjung tinggi etika dan kejujuran ilmiah.

Dosen juga sebetulnya dengan mudah bisa mendeteksi dua model tersebut dengan melakukan cek-ricek.

Caranya adalah dengan meng-input instruksi atau pertanyaan melalui platform chatGPT, dengan menggunakan keyword atau kalimat tertentu dan melakukan komparasi hasilnya dengan jawaban atau pekerjaan mahasiswa.

Secara praktis kita juga sebetulnya bisa membedakan bahasa chatbot dan bahasa yang benar-benar natural jika menelitinya secara detail.

Dalam menghadapi transformasi digital yang demikian cepat, perguruan tinggi hendaknya lebih intens dan fokus mengembangkan daya pikir analitik dan penalaran kritis mahasiswa, ketimbang membiarkan mereka menyelesaikan tugas-tugas mandiri yang bisa mereka lakukan dengan hanya memanfaatkan berbagai infrastrukstur digital semata.

Mengombinasikan tugas-tugas mandiri mahasiswa dengan diskusi dan eksplorasi penalaran kritis di kelas bersama dosen, hingga berdiskusi antarmahasiswa adalah hal penting untuk menjaga kualitas.

Semua materi yang diperoleh mahasiswa secara mandiri dari berbagai sumber platform digital akan menjadi hal menarik dan dinamis jika dikritisi dan didiskusikan di kelas.

Kehadiran ChatGPT justru harus dimanfaatkan untuk pengayaan dalam proses akademik di kampus dengan pemanfaatan kontennya secara selektif.

Saya menekankan frasa "penggunaan konten secara selektif" ini penting untuk diperhatikan, mengingat chatbot berbasis AI dalam beberapa hal tidak selalu akurat, bahkan bisa memberikan instruksi secara tak terduga hingga fatal.

Sudah saatnya sistem perguruan tinggi berfokus pada kualitas daya nalar mahasiswanya dengan memanfaatkan secara optimal teknologi digital.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi