Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 19 Feb 2023

Dosen Kajian Televisi, Radio dan Media Baru di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Pakuan

Memilih "Child Free" di Ruang Publik Digital yang Dipenuhi Kemarahan

Baca di App
Lihat Foto
rawpixel.com / HwangMangjoo
Social media troll harassing people on social media
Editor: Sandro Gatra

"Aku yang umur 24 kalah sama ka Git pdhl udah 30 (emoji crying face) awet muda banget si (emoji face with starry eyes)," komentar pengikut Gitasav.

"Not having kids is indeed natural anti aging. You can sleep for 8 hour every day, no stress hearing kids screaming. And when you finally got wrinkles, you have the money to pay for botox (emoji face with tears of joy)," jawab Gitasav.

PERCAKAPAN di kolom komentar Instagram tersebut memicu percakapan panjang dan cukup padat di media sosial hingga media konvensional.

Percakapan tersebut menjadikan nama Gitasav trending topik (lagi) di Twitter, menjadi topik bahasan di YouTube, menjadi bahan konten di TikTok, hingga bahan diskusi di podcast. Ciri media era digital yang mampu menghadirkan ruang publik baru.

Pernyataan Gita Savitri–Youtuber asal Indonesia domisili di Jerman–tentang child free kembali menuai banyak komentar, baik yang mendukung ataupun menentang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beberapa tahun silam, Gita Savitri Devi dan Suami memutuskan dan mengumumkan ke publik melalui platform media sosial mereka bahwa dalam hubungan pernikahan, keduanya berencana untuk tidak memiliki anak (child free).

Hal tersebut mengundang banyak hujatan dengan argumen yang bermacam-macam landasan, meski paling banyak argumen berlandaskan agama dan budaya.

Karena munculnya komentar di atas, keriuhan tentang childfree kembali menjadi pembahasan.

Lebih jauh, banyak anggapan bahwa Gitasav seolah mengampanyekan childfree dengan mengaitkan awet muda perempuan karena tidak memiliki anak.

Gitasav tidak perlu repot-repot menjelaskan kebenarannya, sebab akan banyak pengguna media sosial, hingga media online juga dengan cepat memberikan penjelasan argumen tersebut dengan didukung data penelitian.

Komentar Gitasav tentang childfree dan awet muda di atas kemudian menggulung dan menunjukkan kembali ciri khas warga internet di Indonesia.

Platform media sosial kita seakan harus tetap ramai dengan berbagai isu yang ada. Percakapan di media sosia tentang suatu isu di Indonesia bukan berhenti karena benar selesai, namun berhenti dibicarakan karena teralihkan oleh isu lain yang lebih ramai dan lebih baru.

Di luar segunung efek buruk yang dihasilkan, apakah ada harapan yang menunjukkan keterlibatan warga internet dalam diskusi di ruang publik digital.

Jessica Reyman dan Erika Sparby (2019) dalam artikel berjudul Toward an Ethic of Responsibility in Digital Aggression, menjelaskan bahwa serangan yang ditujukan kepada seseorang di media digital saat ini tersebar, meluas, anonim dan tanpa akhir serta tanpa penyelesaian yang jelas.

Hal ini merupakan salah satu masalah etika paling mendesak yang perlu diperhatikan dalam humaniora digital.

Sedangkan Teun van Dijk, bapak analisis wacana kritis, sejak awal menyatakan bahwa kekerasan bukan hanya terjadi di dunia nyata dan dilakukan dalam tindakan. Bahasa di media sosial melalui komentar bisa menjadi bentuk kekerasan.

Ruang publik (digital)

Ruang publik merupakan teori klasik yang diperkenalkan oleh filsuf Jerman, Jurgen Habermas dalam bukunya, The Structural Transformation of the Public Sphere pada 1962 dan terus menerima kritik demi upaya mematangkan konsep tersebut hingga 1970-an.

Khususnya kritik tentang tidak tersedianya ruang bagi kelas pekerja, perempuan, dan ras minoritas dalam ruang diskusi.

Dalam ruang publik yang digagas oleh Habermas pada masa awal hanya bisa diakses oleh kaum Borjuis atau kelas menengah ke atas dan laki-laki.

Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai “ruang di mana orang membaca, berdiskusi, dan menulis tentang opini, isu, dan ide di kedai kopi dan ruang pertemuan publik”.

Warnick dan Heineman (2012) dalam buku Rhetoric Online: The Politics of New Media menambahkan bahwa di lingkungan media kita saat ini, memungkinkan itu terjadi.

Alih-alih hadir secara fisik dalam diskusi publik, orang-orang saat ini dapat berpartisipasi untuk berkomunikasi satu sama lain untuk berbagi pemikiran dan pendapat tentang isu-isu sosial di dunia maya.

Dalam kasus Gitasav pun demikian. Hadirnya banyak diskusi yang membahas tentang pandangan hidup dan pilihan hidup dari Gitasav perlu diakui adalah hal yang menarik dan menyenangkan.

Walaupun pada sisi gelapnya adalah terdapat pihak-pihak yang menyerang bukan dari sisi argumentasi, namun menyerang dari sisi fisik, gender, bahkan menyinggung keluarga dan privasi.

Media sosial didesain untuk marah

Gitasav sebagai orang yang mengambil keputusan childfree hingga mengumumkan hal tersebut ke internet, seharusnya juga paham bahwa ketika orang memutuskan untuk terlibat dalam percakapan di media sosial, itu berarti mereka membiarkan diri mereka berkomunikasi satu sama lain.

Tulisan Luke Munn (2020 dalam esai berjudul Angry by design: toxic communication and technical architectures (dikutip oleh Chloë Arkenbout) menyatakan bahwa desain media sosial saat ini mengarahkan kita untuk selalu merespons apa yang ramai dan cenderung membangkitkan emosi.

Postingan dengan keterlibatan lebih tinggi akan menjadi prioritas dan akan muncul di linimasa terus menerus, sampai akhirnya diganti postingan dengan keterlibatan yang lebih tinggi lagi; sedangkan posting dengan skor lebih rendah dikubur atau dipinggirkan.

Karena itu, topik-topik kontroversial yang membangkitkan emosi dan amarah secara konsisten mencapai keterlibatan yang tinggi. Hal semacam ini yang kemudian memancing reaksi dan membentuk kubu-kubu berlawanan.

Tak terkecuali warga internet di Indonesia yang cenderung menyerang secara personal dan menjadikan platform media sosial untuk menekan pengguna lain yang kebetulan tidak sepemahaman atau tidak sejalan dengannya.

Di lain kasus media sosial ini tak jarang kita gunakan sebagai alat mendapat keadilan, kejelasan hukum, bantuan moral hingga menyelesaikan masalah yang kadang hanya bisa terjadi karena telah diramaikan di media sosial.

Jadi kita sebagai pengguna didorong untuk menjadi marah karena memang desain media sosial itu sendiri.

Dalam beberapa kasus ini berhasil dan baik. Sayangnya pada kasus lain kita terkesan memaksakan kehendak, dan terlihat sebagai kumpulan pengguna media sosial yang lebih cenderung memaksa orang untuk mengaku salah atas argumen pribadi yang telah disampaikan meskipun hal tersebut tidak sampai merugikan orang lain.

Walaupun memang kita tidak bisa menyalahkan desain media sosial melulu, sebab kemarahan juga adalah fenomena sosiologis, bahkan filosofis yang lebih luas.

Ketika diskusi berlangsung, kita sering memisahkan diri dengan lawan menjadi musuh, di mana orang lain dianggap berbeda, kemudian mempertanyakan identitas dan selanjutnya mengancam orang lain di media sosial, seperti kejadian yang menimpa Gitasav.

Perdebatan di media sosial–bahkan juga di media konvensional–tentang child free dan Gitasav, tak sedikit pengguna menyerang Gitasav sebagai perempuan dan dianggap mengampanyekan ajaran sesat.

Mungkin harapannya agar Gitasav bisa meminta maaf dan segera sadar akan pentingnya punya anak.

Meski begitu perlu juga dilihat bahwa banyak yang menjadikan argumen Gitasav sebagai bahan awal untuk memberikan pandangan alternatif tentang anak dalam rumah tangga dan keberlangsungan umat manusia. Percakapan ini lebih banyak ditemukan di Youtube atau podcast.

Mereka mendukung argumen atas dasar agama, atau data ilmiah maupun rasionalitas subjektif dengan masing-masing pengalaman.

Konten semacam ini lebih cendrung menata kembali keyakinan pengikut dengan argumentasi alternatif, melawan narasi Childfree, dan mengarahkan pengikut masing-masing ke jalan yang diyakini, alih-alih mencela dan menghujat Gitasav.

Dari beberapa komentar yang ada, pengguna media sosial–dalam mengomentari suatu kasus–terbagi dalam beberapa jenis (berdasarkan hasil riset Chloë Arkenbout (2022) dengan judul Challenging Oppressive Discourses in the Digital Public Sphere: Reflections on Anger and Empathy in Comment Wars.

Pada sisi pihak yang menanggapi dengan positif terbagi tiga: Pertama, sopan memahami dan mengerti.

Komentator/pengguna media sosial semacam ini terlebih dahulu memahami argumen Gitasav, mengerti dari mana argumen tersebut berasal dan berlandaskan apa, sebelum menyampaikan komentarnya.

Pada akhirnya kita hanya perlu mengerti sekeras apapun kita pada argumen seseorang kita belum tentu mampu mengubah sikap dan pendiriannya.

Kedua, emosional tetap sopan. Komentator/pengguna semacam ini mencoba membangkitkan empati dan memunculkan sisi emosional dari argumen yang disampaikan, misalnya menceritakan pengalaman pribadi memiliki serta merawat anak dan sebagainya.

Ketiga, sopan dan berdasar fakta. Komentator menggunakan fakta-fakta riset terkini atau informasi faktual untuk mendukung argumen mereka.

Ya, walaupun kita tidak bisa mengharapkan semua pengguna media sosial sebaik Ghandi. Kita akan banyak menemui warganet yang menyampaikan dengan marah-marah dan sumpah serapah.

Dalam riset yang sama juga terbagi pengguna media sosial yang mengomentari isu dengan cara marah.

Pertama, marah dengan memaki. Pengguna media sosial yang merasa tersinggung atau frustasi dengan komentar Gitasav tidak berpikir panjang untuk menulis dan berkomentar dengan kalimat makian di media sosial.

Kita sering menemui komentar yang seakan berupaya mencabut hak seseorang, dari hak berbicara, bahkan hak hidup.

Kedua, marah dan sedih. Pengguna yang menunjukkan kelemahan dan kesedihan mereka atas komentar seseorang di media sosial.

Ketiga, marah dengan menunjukkan fakta. Pengguna media sosial yang marah pun kerap menggunakan fakta-fakta untuk menanggapi komentar Gitasav.

Dan yang menyedihkan dari kejadian ini adalah tidak sedikit media yang seakan mengadu Gitasav yang childfree dengan Cinta Laura yang juga Child Free atau membandingkan badan dan wajah Gitasav dengan artis yang memiliki anak, namun tetap terlihat awet muda.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi