Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Mary Jane, Terpidana Mati yang Ditunda Dieksekusi di Detik Akhir

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/Markus Yuwono
Terpidana mati Mary Jane Fiesta Feloso sedang melakukan pewarnaan batik di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) Kelas IIB Yogyakarta di Wonosari, Gunungkidul, Senin (18/4/2022).
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Mary Jane Fiesta Veloso dijadwalkan dieksekusi mati di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada 29 April 2015 lalu. Namun eksekusinya ditunda di detik-detik terakhir.

Eksekusi terpidana mati kasus narkoba Mary Jane ditunda setelah seseorang yang mengaku sebagai perekrutnya, Maria Cristina Sergio, menyerahkan diri kepada kepolisian Filipina, Selasa (28/4/2015).

"Jadi, ada surat Pemerintah Filipina, ada kasus human trafficking. Ada penundaan, bukan pembatalan," kata Jokowi di Gedung Bidakara, Jakarta, Rabu (29/4/2015).

Baca juga: Profil Mary Jane Fiesta Veloso, Terpidana Mati Kasus Narkoba asal Filipina

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Mary Jane

Mary Jane sebelumnya ditangkap di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, pada April 2010. Dia ditangkap karena kedapatan membawa 2,6 kg narkoba jenis heroin.

Selanjutnya dalam perjalanan kasusnya pada Oktober 2010 perempuan asal Filipina itu divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta.

Kini, setelah hampir 13 tahun menghabiskan waktunya di penjara, ibu dua anak itu kini mulai lancar berbahasa Indonesia.

"Dulu aku sama sekali enggak mengerti karena aku tidak bisa berbahasa Indonesia. Sekarang aku bisa ceritakan semuanya," kata Mary, dilansir dari Harian Kompas (8/1/2023).

Dia kini juga rajin membatik selama di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas II B Yogyakarta, Wonosari, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyawakarta (DIY). 

Diberitakan oleh Kompas.com (2021), Kepala Lapas Perempuan Kelas II B Yogyakarta Ade Agustina mengatakan, batik karya Mary sudah tidak terhitung.

Satu kain batik karya Mary memiliki harga jual yang tinggi, mulai dari Rp 600.000 hingga jutaan. Melalui hasil penjualannya itu, kini Mary bisa mengirimkan uang ke keluarganya di Filipina.

Tak hanya rajin membatik, Mary juga terlibat di aktivitas sosial lain, seperti bermain organ tunggal untuk mengiringi kegiatan rohani.

Baca juga: Wamenkumham Bertemu Mary Jane, Belum Bisa Pastikan Kapan Eksekusi Mati


Kisah perjalanan Mary Jane

Mary Jane berasal dari keluargan miskin di Provinsi Nueva Ecija, Filipina. Anak bungsu dari lima bersaudara ini hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas.

Menurut Kompas.com (2021), Mary Jane sempat menikah dan dikaruniai dua orang anak. Namun, usia pernikahan itu tidak lama.

Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dia lalu bekerja sebagai pekerja domestik di Dubai. Namun dia memutuskan pulang ke Filipina lantaran nyaris diperkosa.

Pada 2010, Mary mendapatkan tawaran bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia oleh Cristine atau Maria Cristina Sergio.

Namun setibanya di Malaysia, pekerjaan itu tidak segera didapatkannya.

Baca juga: Profil Mary Jane Fiesta Veloso, Terpidana Mati Kasus Narkoba asal Filipina

Diminta pergi ke Yogyakarta

Sebagai ganti tawaran pekerjaan yang dijanjikan itu, Cristina meminta Mary Jane pergi ke Yogyakarta, Indonesia.

Mary Jane dibekali koper baru dan uang sebanyak 500 dollar Amerika Serikat (AS). Dia menginggalkan Kuala Lumpur dan bertolak ke Yogyakarta pada 25 April 2010.

Setibanya di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, petugas bandara menaruh curiga pada koper yang dibawa Mary Jane usai melewati sinar-X.

Petugas akhirnya memeriksa koper tersebut dan menemukan heroin yang dibungkus alumuniun dengan berat 2,6 kilogram.

Baca juga: Cerita di Balik Jeruji Terpidana Mati Mary Jane, Penantian 11 Tahun dan Canting Batik

Vonis hukuman mati

Ketika ditangkap dan divonis hukuman mati, Mary Jane tidak mendapatkan fasilitas yang memadai untuk membela diri.

Pengacara Mary Jane, Agus Salim, mengatakan bahwa saat dia diinterogasi polisi dia tanpa didampingi pengacara dan penerjemah.

Padahal, saat itu interogasi dilakukan dengan Bahasa Indonesia, sementara Mary Jane hanya bisa berbahasa Tagalog.

Di persidangan, pengadilan disebut tidak menggunakan penerjemah berlisensi. Adapun pengacara yang ditunjuk adalah pembela umum yang disediakan polisi.

Dalam sidang itu, hakim menjatuhkan vonis hukuman mati, lebih berat dari tuntutan jaksa yakni pidana seumur hidup.

Baca juga: Perjalanan Kasus Mary Jane, Terpidana Mati Asal Filipina, Kini Habiskan Waktu Membatik di Penjara Yogyakarta

 

Eksekusi mati ditunda

Eksekusi mati Mary Jane dijadwalkan dilakukan pada 29 April 2015 di Nusakambangan, Jawa Tengah.

Namun di detik-detik terakhir jelang eksekusi, hukuman mati Mary Jane itu diurungkan menyusul desakan publik, DPR, dan Komnas Perempuan kepada Presiden.

Menurut Harian Kompas, penundaan eksekusi mati itu juga dilakukan karena besarnya tekanan masyarakat internasional dan nasional yang mengatakan bahwa Mary Jane merupakan korban perdagangan manusia.

Di saat yang sama, Maria Cristina Sergio, yang mengirim Mary ke Indonesia, menyerahkan diri ke kepolisian Filipina.

Sampai saat ini, eksekusi hukuman mati terhadap Mary Jane masih ditunda.

Baca juga: Mary Jane Habiskan Hari di Penjara Sambil Membatik, Dijual Jutaan Rupiah

Akui sempat depresi

Mary Jane mengaku sempat depresi sejak pertama kali hakim menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

Dia mengaku sangat sangat stres, tidak bisa tidur, dan sempat membenci Tuhan.

"Ini tidak adil," kata dia. 

Namun, setelah mendapatkan penundaan eksekusi mati, Mary Jane mengaku dapat bangkit dan mendapat dukungan dari berbagai pihak untuk terus berjuang.

Dia juga menyadari bahwa selama ini dirinya telah dimanfaatkan oleh Cristina yang memanfaatkan traumanya yang pernah hampir diperkosa di Dubai dan mengirimkannya ke Yogyakarta.

Menurut pengakuan ibu Mary Jane, Cristina bilang bahwa Mary Jane sempat bekerja di Malaysia. Namun kabur dengan laki-laki ke Indonesia.

Baca juga: Duta Besar Filipina Kunjungi Terpidana Mati Narkotika Mary Jane

Dianggap layak dapat grasi

Sementara itu, Komnas Perempuan menaruh harapan agar Pemerintah Indonesia memenuhi permohonan grasi Mary yang telah mendekam di bui selama 13 tahun.

Terlebih, Mary dilaporkan berperilaku baik selama menjalani hukumannya.

Di sisi lain, penantian Mary setelah penundaan eksekusi mati juga menimbulkan ketidakpastian.

Hal ini dikhawatirkan memberikan tekanan psikologis dan mental bagi Mary.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi