Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terjadi Mulai 20 Februari 2023, Apa Itu Peristiwa Kulminasi Matahari dan Dampaknya bagi Bumi?

Baca di App
Lihat Foto
pixabay.com
Ilustrasi cahaya Matahari saat fenomena kulminasi
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Indonesia saat ini tengah mengalami fenomena kulminasi Matahari.

Fenomena ini akan berlangsung dalam 44 hari mulai 20 Februari-5 April 2023 dan 8 September-22 Oktober 2023.

Informasi perial kulminasi Matahari di Indonesia ini dibenarkan oleh peneliti Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang.

Ia menjelaskan, kulminasi Matahari adalah peristiwa saat Matahari tepat berada di atas kepala manusia di Bumi saat tengah hari, salah satunya di wilayah Indonesia.

"Peristiwa ini bisa disaksikan antara lima menit sebelum dan lima menit setelah tengah hari," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (21/2/2023).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Ramai soal Matahari Bercincin di Langit Sukabumi, Berbahayakah? Ini Kata BRIN

Menurut Andi, kulminasi matahari termasuk salah satu faktor yang akan meningkatkan suhu permukaan daerah di bawahnya.

Selain itu, ada faktor lainnya berupa tutupan awan, kelajuan uap air, kelembaban udara, dan faktor iklim.

Ia mengatakan bahwa kulminasi Matahari juga berdampak pada intensitas radiasi Matahari yang akan meningkat. Hal ini disebabkan karena sudut penyinaran Matahari tegak lurus atau 90 derajat ke Bumi.

"Meskipun demikian, fenomena ini sama sekali tidak berbahaya bagi manusia di Bumi karena fenomena kulminasi Matahari ini hanyalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan kenaikan suhu di permukaan Bumi," pungkasnya.

Baca juga: Matahari Akan Berada Tepat di Atas Kepala Sebulan Lebih, Apa Dampaknya?


Apa itu kulminasi Matahari

Dikutip dari laman BMKG, kulminasi merupakan fenomena ketika Matahari tepat berada di posisi paling tinggi di langit. Kejadian ini juga disebut transit atau istiwa.

Kulminasi Matahari dapat memunculkan fenomena bayangan yang menghilang dari Bumi.

Saat deklinasi Matahari atau sudut antara khatulistiwa dan garis yang ditarik dari pusat Bumi menuju pusat Matahari sama dengan lintang pengamat, fenomena ini disebut Kulminasi Utama.

Pada saat itu, Matahari akan berada tepat di atas kepala pengamat pada titik zenit atau titik yang berada persis di atas pengamat.

Akibatnya, bayangan pengamat yang berdiri tegak akan menghilang karena berada di bawah orang itu sendiri.

Baca juga: 10 Cara Mengatasi Kulit Belang karena Terbakar Matahari

Kejadian ini membuat hari kulminasi utama juga dikenal sebagai Hari Tanpa Bayangan di Indonesia.

Kulminasi terjadi karena bidang ekuator atau bidang rotasi Bumi tidak tepat berimpit dengan bidang ekliptika atau bidang revolusi Bumi.

Hal ini menyebabkan posisi Matahari dari Bumi akan terlihat terus berubah sepanjang tahun antara 23,5 derajat LU hingga 23,5 derajat LS saat dilihat dari Bumi.

Kulminasi akan terjadi di negara yang berada di garis khatulistiwa, termasuk Indonesia. Sementara kulminasi utama di wilayah Indonesia akan terjadi dua kali dalam setahun.

Baca juga: Mengapa Seseorang Bisa Pingsan di Bawah Terik Matahari?

Dampak kulminasi Matahari

Senada dengan penjelasan Andi Pangerang, LAPAN menyatakan peristiwa kulminasi tidak memberikan dampak khusus pada iklim Bumi.

Namun, posisi kulminasi dapat menimbulkan Bumi terkena sinar Matahari yang lebih intens. Akibatnya, ini bisa menyebabkan sun outage atau gangguan terhadap sinyal satelit saat menerima atau mengirimkan data akibat gelombang sinar Matahari.

Fenomena sun outage terjadi saat Matahari berada di arah yang sama dengan kedatangan sinyal setelit komunikasi yang mengitari Bumi di ketinggian 36.000 kilometer.

Baca juga: Studi Sebut Paparan Sinar Matahari Dapat Mengecilkan Perut Buncit, Bagaimana Bisa?

Saat ini, antena di wilayah Indonesia akan sulit menerima sinyal dengan normal selama kurang dari 10 menit.

Selain itu, penelitian yang dilakukan mahasiswa Universitas Tanjungpura Pontianak mengungkapkan kulminasi akan meningkatkan suhu udara.

Hal ini menimbulkan titik api atau hotspot yang lebih tinggi dibandingkan dengan waktu lainnya.

Akibatnya, peningkatan suhu permukaan dan udara dapat menyebabkan peningkatan potensi
kebakaran hutan. Kejadian ini terutama berpotensi terjadi di Kalimantan Barat atau di area lahan gambut.

Baca juga: Mengenal Heliophobia, Fobia pada Matahari, Gejala dan Penyebabnya

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi