Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Padjadjaran
Bergabung sejak: 24 Jan 2023

Pengamat Sosial, praktisi pendidikan dan pelatihan

Polah, Masalah, dan Hikmah

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi keberagaman masalah sosial.
Editor: Egidius Patnistik

KASUS Mario Dandy Satrio (20), anak seorang pejabat di Direktorat Jenderal Pajak, yang menganiaya seorang remaja berinisial D di kawasan Jakarta Selatan, telah meneteskan jutaan makna bagi manusia Indonesia. Seorang anggota keluarga pegawai yang diharapkan memiliki integritas tinggi, melakukan perilaku di luar kurva normal. Sebuah perilaku yang terlihat salah di konteks yang salah. Hal ini menghasilkan gelombang hujatan -yang tidak tertahankan dari warganet (netizen).

Sebuah respon wajar, yang juga menunjukkan bahwa netizen secara tidak langsung telah memiliki edukasi yang semakin baik, plus semakin pantas melakukan kontrol sosial. Gelombang respons ini, sejatinya menunjukkan bahwa ada sebuah proses pembangunan yang "tidak baik-baik" saja, dan memerlukan perhatian khusus.

Baca juga: Sri Mulyani dan Buntut Panjang Kasus Mario Dandy Satrio

Respon netizen terkait kasus ini memang cenderung emosional, spontan, dan terkadang berpontensi mengarah pada perundungan yang berlebihan.

Sebuah kesalahan perilaku sejatinya tidak untuk dihujat terus menerus sambil memuaskan nasfu bullying. Sejatinya hal itu dijadikan hikmah pembelajaran dan untaian kebijaksanaan. Masyarakat belajar untuk bersabar, dan sekaligus terus belajar untuk berperan sebagai kontrol sosial dan auditor moral.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah bersabar untuk menata langkah perbaikan dan penyempurnaan, serta menyingkirkan sekecil apapun hal-hal yang bisa melukai nurani rakyat. Manusia adalah tempatnya salah dan khilaf, sehingga perjalanan hidupnya penuh dengan ujian yang menghasilkan silih berganti antara keberhasilan dan kegagalan.

Setiap kegagalan/kesalahan yang merugikan orang lain, tentu memerlukan perlakuan khusus untuk menghasilkan efek jera. Sebuah "kesalahan" yang tidak mendapat perhatian yang proporsional, berpontensi menjadi "kebenaran semu" dan "kewajaran baru".

Maka, langkah selanjutnya, tentu bagaimana masyarakat bersinergi mengambil hikmah, dan memastikan tidak terjatuh lagi ke lubang yang sama.

Kepekaan terhadap Masalah Sosial

James Crone (2007) melalui buku How Can We Solve our Social Problem menegaskan bahwa sebuah masalah sosial terjadi ketika publik secara subyektif mempersepsi dan memiliki bukti empirik untuk menunjukkan bahwa sebuah situasi sosial yang terbangun dari kombinasi cakupan loka, sosial, dan global memengaruhi permasalahan individu.

Definisi ini sejalan dengan semangat pembangunan sosial, yaitu bahwa proses pembangunan seyogianya adalah pembangunan sikap positif, akhlak yang baik dan perilaku produktif. Maka, analisa proporsional terhadap ragam masalah personal dan masalah sosial yang terjadi, perlu terus dilakukan secara berkesinambungan dengan pelibatan stakeholder yang luas.

Sebagai contoh, diperlukan atensi khusus terhadap ragam perilaku yang menggedor nurani masyarakat sebagai mitra pembangunan. Perhatikan, adakah masalah perilaku yang cenderung menyelisihi amanah dan yang berujung pada kekerasan ini terus berulang?

Baca juga: Mario Dandy Satrio Sering Pamer Harley dan Rubicon, Ini Alasan Orang Flexing Barang Mewah di Medsos

Jika iya, masyarakat dan negara perlu menaggapi hal itu sebagai isu publik (public issue), bukan sekedar masalah pribadi (personal troubles).

Maknanya, jika terjadi berulang, berarti dibutuhkan perhatian khusus untuk menanganinya. Sebuah kasus sampai menimbulkan reaksi publik dan menimbulkan ketidakpercayaan, berarti dibutuhkan upaya tertentu untuk memastikan agar hal ini tidak mengganggu jalannya pembangunan.

Kisah Pembangunan

Secara sederhana pembangunan dapat didefinisikan seagai suatu "perubahan yang direncanakan (planned change)". Sejak Perang Dunia II selesai, filosofi pembangunan bangsa-bangsa di dunia mengacu kepada filosofi pertumbuhan (growth).

Pembangunan diukur secara finansial dan material, seperti kepemilikan harta, pertumbuhan ekonomi, daya beli dan lain-lain. Secara peradaban, manusia di dunia tidak mengalami kemajuan (Wirutomo, 2022), terutama dalam insting dasarnya (kerakusan, agresivitas, kekerasan).

Hal itu mudah dilihat pada kehidupan keseharian kita, di mana isi berita di media masa, didominasi oleh praktik-praktik kekerasan, perundungan, penculikan, pencurian, agresivitas dan lain sebagainya. Jika hal ini sudah menggejala secar menyuluruh dan hampir terjadi setiap hari, mungkinkah ini disebut masalah personal (personal troubles)? Tentu tidak.

Secara umum, hal ini dapat dikatakan sebagai pengaruh tidak langsung dari pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan (Wirutomo, 2022). Sejatinya, hal yang perlu dikritisi adalah bukan menyalahkan pembangunan ekonomi, namun justru pada ideologinya. Ideologi pembangunan saat ini berorientasi pada pertumbuhan, khususnya ekonomi, bukan berorientasi pada kualitas kehidupan sosia budaya masyarakat (Wirutomo, 2022).

Maknanya, ketika filosofi ini terus dipegang kuat tanpa analisa memadai, yang terjadi adalah upaya menimbun aset yang mencirikan kesejahteraan. Warga dikonstruksi untuk menghayati bahwa sukses adalah ketika berharta banyak.

Indikator kesejahteraan seakan hanya menilai daya beli dan luput untuk menjadi perilaku beretika dan bermoral sebagai keberhasilan pembangunan. Khilaf untuk mengapresiasi bahwa aparat jujur, beretika dan amanah adalah buah pendidikan karakter yang berkesinambungan sebagai luaran proses pembagunan.

Terlalu Fokus pada Pertumbuhan

Buku The Good Life Beyond Growth (Thompson, 2019) menegaskan bahwa kehidupan yang baik melampaui pertumbuhan tidak hanya mungkin, tetapi juga sangat diinginkan. Ini mengkonseptualisasikan "kehidupan yang baik" sebagai kehidupan yang terpenuhi, yang tertanam dalam hubungan sosial dan damai dengan alam, terlepas dari ketersediaan sumber daya yang meningkat.

Dalam menyatukan para ahli dari berbagai bidang, buku itu membuka diskusi interdisipliner yang seringkali terbatas pada disiplin ilmu yang terpisah. Filsuf, sosiolog, ekonom, dan aktivis berkumpul untuk membahas kondisi politik dan sosial dari kehidupan yang baik dalam masyarakat yang tidak lagi bergantung pada pertumbuhan ekonomi dan tidak lagi membutuhkan lingkaran ekstraksi, konsumsi, polusi, pemborosan, konflik, dan kelelahan psikologis.

Maknanya, pemerintah suatu negara, selalu punya kesempatan untuk menakar ulang prioritas dan target pembangunan. Humanisasi manusia dan moralitas bangsa dapat selalu dipertimbangkan sebagai kesuksesan pembangunan.

Paradgima The Good Life Beyond Growth adalah bahwa ada capaian pembangunan lain yang seharusnya dapat diapresiasi secara proporsional selain angka pertumbuhan ekonomi semata. Dengan demikian bertumbuhnya indikator ekonomi seiring sejalan dengan semakin manusianya manusia pelaku pembangunan tersebut (humanizing the human).

Berpikir ulang tentang target pembangunan, maka ini adalah tantangan bagi kita untuk berpikir ulang. Sudah cukup seriuskah kita membangun target perilaku warga negara? Sudahkan kita membuat daftar perilaku warga negara yang diharapkan untuk dilakukan?

Apakah kita sudah cukup serius memberikan pembekalan kepada calon pemegang jabatan tertentu untuk berperilaku sesuai etika publik? Sudahkah disiapkan stick and carrot yang akurat untuk menghasilkan sikap dan perilaku yang ditargetkan?

Inspeksi kepada perilaku yang diharapkan dipraktikan para penyelenggara negara, sudahkah secara periodik dilakukan? Inspeksi terhadap kurikulum yang membangun perilaku bermoral mulia, sudahkan senantiasan ditingkatkan?

Jangan Anti Kritik

Bagi departemen/instansi yang sedang menjadi sorotan, tentu jangan anti kritik. Masalah adalah bagian dari perjalanan menuju penyempurnaan layanan (service excellence). Riak itu menunjukkan bahwa pada salah satu layanan, khusus kepada pelanggan eksternal (external customer) sudah berjalan dengan cukup baik, namun demikian pada layanan yang lain, yaitu kepada pelangga internal (internal customer) masih membutuhkan perhatian khusus.

Sekali lagi, hikmah datang dari mana saja, kapan saja. Pemimpin yang baik, akan selalu memanfaatkan momentum dari sejumlah riak masalah, untuk terus menyempurnakan proses pembangunan sebagai bagian dari amanahnya membangun kesejahteraan bangsa.

Mereka yang kurang peka terhadap momentum perbaikan, akan kehilangan daya ungkit (leverage) untuk melambungkan kinerja ke level terbaik. Maka, melibatkan rakyat nyata (citizen) dan penduduk maya (netizen) adalah aksi strategis untuk memastikan jalannya pembangunan.

Rakyat adalah mitra strategis pembangunan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Jangan ragu untuk membangun kolaborasi dengan rakyat sebagai auditor moral dan pelaku kontrol sosial.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi