Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Rizky Nauvalif
KOMPAS.com - Kita sering kali mendapati seminar, acara, hingga unggahan media sosial yang diisi oleh para motivator. Di sana, mereka memberikan kalimat-kalimat motivasi dengan harapan bisa membangkitkan semangat audiensnya.
Namun, ternyata beberapa dari warganet merasa bahwa motivator tak memberikan pengaruh apa pun terhadap hidupnya. Bahkan, beberapa dari mereka menganggap kisah motivator tak realistis.
Dua alumni SUCI X, Kukuh Adi dan Muhammad Dwik, dalam siniar Balada +62 bertajuk “Jangan Dengerin Kata Motivator untuk Kejar Passion!” dengan tautan dik.si/Balada62E1 juga merasa demikian.
Lantas, mengapa banyak orang yang kini tak terpengaruh oleh perkataan para motivator?
1. Garis Awal yang Tak Sama
Banyak warganet yang merasa kurang relate dengan kisah hidup para motivator. Hal ini terjadi jika sang motivator sudah berada di keluarga yang sangat berkecukupan dalam memulai bisnis atau usahanya.
Para motivator yang menyasar audiens dengan tingkat ekonomi yang berbeda, tentu saja kurang memberikan dampak terhadap mereka. Itu sebabnya, garis awal sangat menentukan kesuksesan seseorang.
Baca juga: Perlukan Punya Teman di Kantor?
Jika seorang motivator sudah berada di keluarga kaya raya dan ia mengalami kegagalan berkali-kali, tentu saja ia bisa bangkit kembali dengan bantuan keluarganya. Namun, ini tentunya berbeda jika ada orang miskin yang gagal berkali-kali, mereka tentu harus memutar otak untuk mencari dana yang lebih berisiko.
2. Terlalu Menjual Omongan Tak Realistis
Motivator bisa diundang untuk berbicara ketika dirinya sudah sukses. Namun, sering kali apa yang mereka bicarakan kurang realistis untuk ukuran manusia. Misalnya, saat mengalami kegagalan, alih-alih sedih, kita diberikan petuah untuk terus berjuang.
Tak hanya itu, mereka juga kerap menjual saran agar kita terus bekerja keras agar bisa mencapai tujuan dengan mengesampingkan tantangan yang menghadang. Padahal, dalam prosesnya tidaklah mudah.
Ada darah dan keringat, bahkan perasaan yang pasti akan bergejolak. Mereka seakan lupa bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki emosi dan butuh istirahat. Jadi, jika sedang lelah mengejar tujuan, ada baiknya untuk beristirahat sejenak.
3. Terlalu Sering Menjual Pencapaian
Selain itu, ada pula beberapa motivator yang terlalu menjual pencapaian mereka. Misalnya, “Bisa meraih posisi A hanya dalam waktu satu tahun” atau “Bisnis sukses hanya dalam satu bulan”.
Klaim-klaim seperti itu tentu memiliki faktor lain agar mereka bisa sukses. Tentunya, kerja keras saja tidak cukup. Pencapaian dengan waktu singkat terdengar kurang realistis bagi masyarakat awam. Bahkan, mereka bisa saja tak menghiraukan ucapan sang motivator.
Baca juga: Kenapa Self Awareness Penting?
Alih-alih mengglorifikasi pencapaian, ada baiknya para motivator fokus menceritakan tantangan cara menghadapinya agar audiens bisa langsung mempraktikkan.
Meski begitu, mau seinspiratif apa pun seorang motivator, nyatanya yang bisa membawa diri berubah adalah kita sendiri. Jadi, temukanlah motivator–tak harus orang–yang dapat membantumu bangkit dari keterpurukan.
Dengarkan perbincangan lengkap Kukuh Adi dan Dwik seputar topik ini hanya melalui siniar Balada +62 bertajuk “Jangan Dengerin Kata Motivator untuk Kejar Passion!” dengan tautan dik.si/Balada62E1.
Di sana, kita akan mendengarkan obrolan mengenai topik-topik yang ramai dibicarakan dengan perspektif baru, namun tetap menggunakan argumentasi yang logis.
Tunggu apalagi? Yuk, subscribe YouTube Medio by KG Media agar kalian tak tertinggal tiap episode terbarunya!
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.