Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Anak yang Berhadapan dengan Hukum: Pengertian, Proses Penyelesaian, dan Hak-haknya

Baca di App
Lihat Foto
freepik
Ilustrasi anak di-bully
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Anak yang berhadapan dengan hukum adalah istilah untuk anak yang menjadi pelaku, korban, maupun saksi sebuah tindak pidana.

Saat terlibat suatu perkara pidana, anak harus mendapatkan perlakuan dan penanganan berbeda dari orang dewasa.

Negara pun telah memiliki ketentuan yang mengatur penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.

Ketentuan tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau UU SPPA.

UU SPPA sendiri merupakan aturan yang mencabut ketentuan sebelumnya, yakni UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Mengenal Apa Itu Hukum: Pengertian, Unsur, dan Sumbernya


Pengertian anak yang berhadapan dengan hukum

Merujuk Pasal 1 UU SPPA, anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Dengan melihat pengertian tersebut, maka anak yang berhadapan dengan hukum terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Anak yang berkonflik dengan hukum

Menurut Pasal 1 angka 3 UU SPPA, anak yang berkonflik dengan hukum atau disebut juga anak atau pelaku, adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum 18 tahun dan diduga melakukan tindak pidana.

2. Anak yang menjadi korban tindak pidana

Anak yang menjadi korban tindak pidana merupakan anak yang belum berumur 18 tahun dan mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

Anak yang menjadi korban tindak pidana juga disebut sebagai anak korban, seperti menurut Pasal 1 angka 4 UU SPPA.

3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana

Bukan hanya menjadi pelaku atau korban, anak yang berhadapan dengan hukum juga meliputi anak yang menjadi saksi tindak pidana atau disebut anak saksi.

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU SPPA, anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun dan dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Keterangan tersebut berkaitan dengan suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialami sendiri.

 

Wajib menggunakan sistem peradilan pidana anak

Dikutip dari laman DJHAM Kemenkumham, teori aliran Behavioral memandang anak sebagai kertas putih di mana lingkungan yang membentuk dan mempengaruhi perkembangannya.

Anak yang berhadapan dengan hukum merupakan korban dari lingkungan psikososial, mulai dari lingkungan keluarga hingga pergaulan di luar rumah.

Pola asuh keluarga secara langsung juga berpengaruh pada kualitas pribadi seorang anak.

Untuk itu, baik anak, anak korban, maupun anak saksi, wajib menggunakan sistem peradilan pidana anak sebagai proses penyelesaian perkara.

Sistem peradilan pidana anak sendiri adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Nantinya, perkara pidana anak yang berhadapan dengan hukum akan disidangkan di pengadilan pidana anak di lingkungan peradilan umum.

Baca juga: Apa Itu Hukum Pidana?

Keadilan restoratif dan diversi

Berbeda dengan penanganan perkara pidana orang dewasa, UU SPPA menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).

Artinya, penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak lain untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Konsekuensi dari keadilan restoratif adalah mengedapankan kepentingan terbaik untuk anak dari pada kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu, merujuk pada Pasal 2 UU SPPA, sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas:

  • Perlindungan
  • Keadilan
  • Non-diskriminasi
  • Kepentingan terbaik bagi anak
  • Penghargaan terhadap pendapat anak
  • Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak
  • Pembinaan dan pembimbingan anak
  • Proporsional
  • Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir
  • Penghindaran pembalasan.

Di sisi lain, proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan wajib diupayakan menggunakan sistem diversi.

Diversi adalah adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Penggunaan diversi bertujuan untuk:

  • Mencapai perdamaian antara korban dan anak
  • Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan
  • Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan
  • Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
  • Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Kendati demikian, diversi dilaksanakan jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Baca juga: Perbedaan Penyelidikan dan Penyidikan, Apa Saja?

 

Hak anak dalam proses peradilan pidana

Tak boleh sembarangan, anak yang berhadapan dengan hukum juga memiliki sejumlah hak yang harus dipenuhi.

Berdasarkan Pasal 3 UU SPPA, setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak:

  • Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya
  • Dipisahkan dari orang dewasa
  • Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif
  • Melakukan kegiatan rekreasional
  • Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya
  • Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup
  • Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat
  • Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang obyektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum
  • Tidak dipublikasikan identitasnya
  • Memperoleh pendampingan orangtua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak
  • Memperoleh advokasi sosial
  • Memperoleh kehidupan pribadi
  • Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat
  • Memperoleh pendidikan
  • Memperoleh pelayananan kesehatan
  • Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Meski anak yang berhadapan dengan hukum dianggap sebagai anak bermasalah, pendekatan keadilan restoratif yang mengedepankan pemulihan dan bukan balas dendam membantu melindungi hak anak.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi