Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 9 Mar 2022

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Risiko Kebohongan Publik dan Daya Tahan Demokrasi

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo
Ilustrasi Hoaks
Editor: Egidius Patnistik

EUROPEAN Commission (EC) pada 3 Desember 2020 merilis rencana kerja memperkuat ketahanan demokrasi di negara-negara Uni Eropa. Ketahanan demokrasi diukur dari level perlindungannya terhadap hak-hak dasar rakyat dan negara-hukum (rule of law). Kini negara anggota Uni Eropa (UE) mencapai 27 negara.

Pada 22 April 2021, European Union (UE) merilis hasil riset dan kajian tentang risiko atau dampak disinformasi terhadap ketahanan demokrasi khususnya perlindungan hak-hak dasar rakyat. “Disinformation undermines human rights and many elements of good quality democracy!” Begitu kesimpulan Colomina et al (2021), tim ahli UE.

Disinformasi berisi informasi salah, tidak tepat, atau menyesatkan, yang khusus dirancang, dirilis, dan disebar-luas dengan sengaja, yang merugikan masyarakat dan kepentingan umum atau untuk meraih keuntungan. Risikonya ialah kehidupan bangsa menjadi tidak cerdas; risiko ini sangat memengaruhi kualitas demokrasi.

Baca juga: Hadapi Pemilu 2024, Kemenkominfo Susun Panduan Hadapi Fake News dan Disinformasi

Kini revolusi teknologi sangat memengaruhi kualitas dan daya-tahan nilai-nilai demokrasi. Mengapa? “Lies spread faster than the truth!” Atau kebohongan tersebar lebih cepat daripada kebenaran. Begitu kesimpulan riset Soroush Vosoughi, Deb Roy, dan Sinan Aral dalam jurnal Science edisi 2018 tentang krisis informasi era digital awal abad 21.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Vosoughi et al (2018: 1146-1151) mengkaji data rumor di Twitter tahun 2006-2017. Sekitar 126 ribu rumor tersebar oleh sekitar tiga juta orang. Berita bohong dapat tersebar dari 1.000 orang ke 100 ribu orang. Sedangkan berita benar berdasarkan fakta dan orisinal, hanya tersebar di antara tidak lebih dari 1000 orang.

Berita bohong tersebar lebih jauh, lebih cepat, lebih dalam, dan lebih luas di masyarakat, jika dibanding dengan berita benar untuk semua kategori informasi. Sehingga dampak berita bohong lebih besar dari pada berita benar misalnya berita berbasis fakta tentang aksi teror, bencana, sains, legenda kota, dan informasi keuangan.

Berita-berita bohong, ungkap Vosoughi et al (2018) selalu memicu reaksi dan respons rasa takut, ‘jijik’, dan kejutan; tetapi berita benar memicu antisipasi, duka, suka-cita, dan saling-percaya.

Wardle dan Derakhshan (2017) merilis riset dan kajian tiga jenis kekacauan informasi terhadap demokrasi yakni misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.

Misinformasi atau informasi salah, misalnya info sekelompok orang di Inggris merayakan serangan teror di Champs Elysees (Perancis) 20 April 2017. Info ini tidak merugikan masyarakat, namun info-salah ini tersebar melalui jejaring sosial, tanpa lebih dahulu cek-ulang atau cek-silang.

Contoh info-sesat (disinformasi), misalnya, selama Pemilihan Presiden Prancis tahun 2017, tersebar info-sesat melalui duplikat surat kabar Le Soir asal Belgia, bahwa capres Emmanuel Macron didanai oleh cukong-cukong asal Arab Saudi. Info-sesat ini tentu merugikan masyarakat secara sengaja. 

Malinformasi ialah informasi asli-benar disebar untuk merugikan pihak lain. Contohnya email-pribadi politisi sengaja di-hack atau dibocorkan, misalnya kebocoran email pribadi calon pada Pemilu Presiden Perancis tahun 2017.

Tiga jenis kekacauan informasi tersebut di atas, menurut Picciotto (2019), terjadi di era global kini yang cenderung menyangkal data-fakta dan toleran terhadap kebohongan dan desepsi para politisi. Akibatnya, papar Islam Muhammad (2020:3), warga masyarakat akhirnya memilih politisi bohong.

Kebohongan, desepsi, dan konspirasi tersebar lebih cepat dari fakta melalui media sosial dengan tujuan secara sadar berbohong dan menyesatkan (Mahon, 2015; Ramsay, 2000). Akibatnya, ketika info-sesat dicek-ulang atau dicek-silang, kerugian publik telah terjadi. Begitu hasil kajian banyak ahli desepsi dan kebohongan publik Howard et al  (2017), McCoy (2016), Persily (2017), dan Peters (2017).

Kebohongan publik melalui disinformasi akhirnya menyandera dan menggerus nilai demokrasi. Olaniran et al (2020:88) menyebut media sosial menyandera pemilu di AS, misalnya, Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke 45 melalui Electoral College tahun 2017. Padahal, faktanya, kalah tiga juta pemilih.

Baca juga: Audit Hak Sipil Google 2023 Singgung Misinformasi dan Ujaran Kebencian

Disinformasi dapat menggerus nilai-nilai kedaulatan rakyat atau kerakyatan. Alinea ke-4 UUD 1945 menyebut poin ke-4 dari lima dasar kita yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

Disinformasi juga berisiko menggerus upaya bangsa Indonesia agar tercipta kehidupan cerdas sesuai amanat alinea 4 Pembukaan UUD 1945.

Mesin Kebohongan Publik

Freedom Online Coalition dan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pada 8 Juli 2022 di markas UNESCO, Paris (Prancis) menggelar sesi brainboost dengan tema khusus disinformasi dan demokrasi. Konferensi itu melibatkan para diplomat dari delegasi permanen UNESCO, akademisi, dan staf UNESCO.

“Widespread misinformation and disinformation are often instrumentalized during election times to sow division, target certain groups, or seek political gain,” papar Tawfik Jelassi, Assistant Director-General for Communication and Information, pada konferensi UNESCO itu.

Jadi, misinformasi dan disinformasi sering digunakan dalam pemilu yang memicu perpecahan, menyasar kelompok tertentu, dan mencari keuntungan.

Kajian kelompok kerja UNESCO tentang disinformasi menyebut mesin produksi misinformasi dan disinformasi ialah ‘instigators’ (para pencipta konten) dan ‘agents’ yang menyebarluaskan info-sesat, misalnya influencer, orang per orang, pejabat, kelompok, perusahan, atau lembaga (perusahan konsultan) tertentu (Bontcheva et al eds, 2020).

Selama ini, metrik utama media sosial ialah trending, tweeting, dan retweeting. Metrik semacam ini, ungkap Olaniran et al (2020:87), sangat mudah dimanipulasi, dibeli, atau dipalsukan.

Akibatnya, suatu isu tertentu dapat meraih dukungan luas dengan tampil seolah-olah informasi benar atau berbasis fakta asli atau otentik. Tren ini dilabel oleh Michail Tsikerdekis (2014:72-80) sebagai desepsi online akibat sifat manusia suka bohong untuk merebut keunggulan atau keuntungan.

Mesin kebohongan publik melalui disinformasi dan misinformasi melibatkan banyak muslihat. Misalnya, muslihat amplification yakni melipat-gandakan jangkauan informasi secara artifisial melalui manipulasi hasil-hasil kerja search-engine (mesin pencari data), promosi tagar atau tautan di media sosial (Earle, 2017).

Muslihat bots yakni akun media sosial dioperasikan oleh program komputer untuk menghasilkan postingan atau berinteraksi dengan konten platform sosial.

Muslihat lainnya ialah astroturf campaign yakni memicu kesan seolah-olah suatu informasi atau pesan-pesan tertentu sungguh berasal dari massa akar-rumput; sedangkan sponsor utama dan riil dari pesan atau informasi tersebut dipalsukan dan disembunyikan.

Muslihat impersonation, meniru identitas media, orang, atau pihak berwenang melalui situs atau akun media sosial palsu. Riset Martin-Rozumi?owicz et al (2019) menyebut juga muslihat deep fakes dengan mengedit video atau audio secara digital.

Baca juga: Interaksi Akun Penyebar Misinformasi di Twitter Meningkat 44 persen

Muslihat-muslihat tersebut di atas sangat berisiko terhadap demokrasi di berbagai negara. Alasannya, antara lain, menurut Stephan Lewandowsky (2017) asal University of Bristol (Inggris): “Democracy relies on people being informed about the issues so they can have a debate and make a decision.”

Jadi, pilihan-pilihan kebijakan demokratis sangat bergantung pada hak dan akses publik ke isu-isu kepentingan umum.

Kita juga baca hasil riset Samantha Bradshaw dan Philip N Howard (2019) tentang disinformasi pada 45 negara demokrasi awal abad 21. Para politisi memakai sarana propaganda komputasional mengumpulkan pengikut ‘palsu’; tujuannya ialah merebut dukungan pemilih. Di sisi lain, politisi pada 26 negara lainnya, menggunakan sarana propaganda komputasional untuk mengontrol informasi, menekan pendapat umum, mengekang pers, dan mendiskreditkan oposisi.

Para politisi di negara-negara Uni Eropa, ungkap Judit Bayer et al (2019), dapat memanipulasi informasi publik melalui sensor pilihan online, misalnya menghapus konten tertentu dari media digital, meretas, membagi, dan memanipulasi hasil mesin pelacak data.

Pers Merdeka dan Bertanggungjawab

Presiden Bacharudin Jusuf (BJ) Habibie mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada 23 September 1999. Dalam bagian pertimbangannya, UU ini mengakui bahwa kemerdekaan pers adalah wujud kedaulatan rakyat.

Pasal 2 UU itu berbunyi: “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud Kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.”

Pasal 4 (ayat 1, 2,3) UU itu berbunyi: Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran; Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Secara historis, pers memiliki jejak panjang memperkuat nilai-nilai demokrasi. Sejak abad 17 M hingga awal abad 21, Areopagitica; A speech of Mr. John Milton for the Liberty of Unlicenc’d Printing, to the Parlament of England, karya prosa setebal 31 halaman dari John Milton (1644) asal Inggris, diakui sebagai pembelaan sistematis dan filosofis pertama terhadap konsep klasik kemerdekaan pers.

Menurut John Milton, pengakuan, jaminan dan perlindungan kemerdekaan menyatakan pendapat bukan semata-mata untuk kebebasan, tetapi melindung pencarian kebenaran (a tacit protection of truth). Maka, Milton misalnya memperjuangkan kebebasan pencetakan tanpa lisensi dan sensor dari Monarki Inggris untuk mencapai kebenaran.

Pidato John Milton di depan parlemen Inggris abad 17 M, menurut riset Regina M Schwartz (2012: 47-58), bukan jurubicara liberalisme, tetapi jurubicara kemerdekaan pers untuk mencapai dan menyuarakan kebenaran.

Filosofi kemerdekaan pers itu belum sampai ke Hindia Belanda hingga awal abad 20. Misalnya, tahun 1906, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menerapkan peraturan (KB 19 Maret 1906 Ind.Stb. No. 270) alat represi pers dan karya cetak. Isinya, mewajibkan penerbit atau percetakan mengirim naskahnya sebelum dicetak dan diterbitkan atau beredar; tidak ada sanksi penyegelan, kecuali denda 10-100 gulden.

Awal abad 20, pers cetak dari orang Indonesia asli mulai menulis benih-benih, spirit patriotisme, nilai kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia (Basri, 1987:28). Misalnya, tahun 1905, tercatat 36 judul surat kabar cetak berbahasa Jawa dan Melayu.

Pers bukan semata sarana komersial, tetapi sarana pendidikan dan alat perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Misalnya karya Mohammad Junus, RK Mangunatmodjo, Abdul Muis, A Ramli, dan Parada Harahap (Effendi, 1983:236).

Surat kabar Benih Merdeka, yang terbit tahun 1916, menandai fase pertama kata "merdeka" muncul dalam pers milik orang Indonesia asli yang merilis perjuangan hak-hak ekonomi dan demokrasi untuk orang Indonesia asli. Anthony Reid (2004:69) menulis: “... the radical daily Benih Merdeka (the seed of freedom), led a vigorius campaign centring around democratic reforms and the economic problems which began to affect the labourer and peasant with the end of Deli’s reckless open frontier during the first world war.”

Pada abad 20, pers selalu dilihat sebagai bagian atau sub-sistem dari suatu sistem politik suatu negara. Karena itu, kategorisasi pers yang membagi pers liberal, pers otoriter, pers marxis, dan pers bebas-bertanggungjawab merujuk kepada sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang dianut atau berlaku pada suatu negara (Jacob Oetama, 2001:50).

Maka, lazim pers dilabel sebagai ‘majelis atau pilar ke-4’ sistem politik.

Baca juga: Wanti-wanti soal Disinformasi, Mahfud: Pemilu 2024 Terbesar dan Terumit di Dunia

Pers juga menjadi indikator level korupsi informasi pada tiap sistem pemerintahan. “Low levels of press freedom lead to high levels of corruption.” Atau rendahnya kadar kemerdekaan pers atau hak dan akses informasi rakyat memicu tingginya level korupsi.

Begitu hasil riset dan kajian Rudiger Ahrend (2000:3) asal DELTA (Paris), London School of Economics, dan Russian European Centre for Economic (Moskwa) terhadap data selama 12 tahun pola hubungan antara kebebasan pers, pendidikan, dan korupsi pada 130 negara.

Kini awal abad 21, big data menghasilkan informasi skala besar (volume) yang terstruktur atau tidak terstruktur, real-time (velocity) dan kadang tanpa kejelasan sumber (veracity) yang menerabas batas-batas negara. Tren ini sangat memengaruhi praktek dan prinsip-prinsip kemerdekaan pers dan tanggungjawab pers di berbagai negara. Misalnya, disinformasi dan misinformasi akhirnya menggerus pers merdeka dan bertanggungjawab.

Pasal 28 F UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Cita-cita hukum itu dapat diraih melalui pers merdeka dan bertanggungjawab. Pers merdeka dan bertanggungjawab juga dapat menyuarakan hak-hak dasar rakyat melalui proses demokrasi.

Pers merdeka dan bertanggungjawab mencerdaskan kehidupan bangsa, termasuk mencegah risiko kebohongan publik dari para pelaku demokrasi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi