Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pemerhati Sosial
Bergabung sejak: 15 Mar 2022

Pemerhati masalah sosial. Bekerja sebagai pegawai negeri sipil sejak 1986 hingga 2016.

Mengelola Sisa Makanan untuk Mengurangi Kemiskinan

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Shutterstock/Andrey_Popov
Ilustrasi membersihkan sisa makanan salah satu cara mengusir lalat
Editor: Sandro Gatra

KAJIAN Economist Intelligence Unit (IEU) cukup menyentak. Indonesia ternyata pemegang rekor kedua dalam hal banyaknya makanan yang terbuang.

Setiap tahun warga Indonesia membuang 300 kilogram (kg) makanan per orang. Adapun peringkat pertama adalah Arab Saudi (427 kg) (Kompas.id, 17/3/2019).

Riset Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama sejumlah lembaga memberikan angka yang lebih rendah dari data IEU.

Disimpulkan bahwa banyaknya sampah makanan mencapai 23 juta-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019. Jumlah ini setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun (Kompas.id, 9/6/2021).

Riset Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian pada 2019 memberikan gambaran lebih rinci.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Jabodetabek, total makanan yang dibuang oleh setiap rumah tangga rata-rata mencapai 28 kg per orang per tahun (Kompas.id, 21/11/2020).

Jenis makanan buangan terbanyak adalah sayuran (7,3 kg), buah-buahan (5 kg), nasi (2,7 kg) dan selebihnya lauk-pauk seperti tempe, tahu, daging dan ikan.

Riset BKP juga menyimpulkan bahwa makanan yang dibuang di restoran rata-rata 4,3 kg per orang per tahun.

Dampak ekonomi dan lingkungan

Sebagai negara dengan jumlah penduduk miskin yang masih banyak, yaitu 9,57 persen pada September 2022 (BPS), atau sekitar 26 juta orang, banyaknya makanan yang terbuang itu cukup ironis.

Dalam riset Bappenas, diperkirakan sampah yang terbuang setara dengan makanan untuk 61-125 juta orang per tahun.

Secara nasional, kerugian ekonomi sampah makanan mencapai Rp 213 triliun-Rp 551 triliun atau setara 4-5 persen PDB Indonesia.

Jika pengelolaan produksi, distribusi dan konsumsi pangan dapat dikelola dengan baik, maka jumlah penduduk miskin akan jauh lebih sedikit, dan masalah bayi tumbuh tidak normal (stunting) yang saat ini diderita oleh satu dari setiap tiga anak balita mungkin tidak ada lagi.

Dari aspek lingkungan, sampah makanan yang terbuang menyebabkan emisi gas rumah kaca sebesar 1.702,9 mega ton karbon dioksida ekuivalen.

Akumulasi gas rumah kaca di atmosfer menyebabkan suhu bumi yang semakin panas, dengan segala akibatnya.

Masalah sampah makanan tidak hanya mendera Indonesia. Banyak negara lain juga mengalami hal yang sama. Berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi sampah makanan (Kompas.id, 21/9/2019).

Inggris melibatkan masyarakat dan industri makanan untuk menekan volume sampah makanan di setiap tahap rantai pasok. Sebanyak 45 persen perusahaan berhasil menurunkan 17 persen sampah makanan pada 2020.

Perancis melarang warga dan supermarket membuang makanan yang masih bisa dimakan atau dimanfaatkan.

Makanan yang layak konsumsi wajib didonasikan. Toko seluas di atas 400 meter persegi yang tidak patuh bisa didenda untuk setiap pelanggaran.

Jerman mendenda konsumen yang tidak menghabiskan makanannya. Upaya lain adalah menyediakan kemasan makanan yang lebih kecil dan yang bisa menunjukkan kelayakan konsumsi makanan secara akurat.

Korea Selatan melarang membuang makanan ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, dan memberlakukan kewajiban menggunakan kantong yang dapat menguraikan makanan sisa menjadi pupuk dan gas.

Dengan alat identifikasi dengan frekuensi radio, sampah yang dibuang warga ditimbang dan kemudian dihitung biaya yang harus dibayar warga.

China melarang warga memesan makanan terlalu banyak. Restoran diminta menyediakan porsi lebih sedikit bagi konsumen yang makan sendirian.

Kelompok usaha katering memberlakukan kebijakan ”N-1”, yaitu mengurangi satu menu makanan lebih sedikit dari jumlah orang yang makan di meja yang sama.

Italia memberi insentif berupa pengurangan pajak pengelolaan sampah kepada pemilik restoran atau toko makanan segar jika mendonasikan makanan berlebih kepada orang yang membutuhkan.

Restoran didorong menyediakan tas bagi konsumen untuk membawa makanan yang tak habis dimakan.

Regulasi dan inisiatif komunitas

Di Indonesia, umumnya sampah makanan dari setiap rumah langsung dibuang ke tempat sampah, kemudian diangkut ke tempat pembuangan sementara atau langsung ke TPA. Di sana sampah ditimbun dan menggunung setelah beberapa tahun.

Pada saat hujan, bahaya mengancam dari gunungan sampah itu, seperti yang terjadi di TPA Leuwigajah, Cimahi, pada 21 Februari 2005. Longsoran sampah menyapu puluhan rumah di sekitar TPA sehingga menewaskan 157 korban jiwa.

Tragedi itu diharapkan tidak terulang dengan menetapkan 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).

Berbagai upaya dilakukan lebih giat lagi oleh pemerintah untuk mengurangi sampah.

Pada 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), misalnya, memberlakukan kebijakan kantong plastik berbayar, khususnya di dunia usaha atau retail modern dan masyarakat luas.

Pada 2017, KLHK mengeluarkan peraturan agar seluruh kabupaten/kota ataupun provinsi memiliki dokumen Kebijakan dan Strategi Daerah (Jakstrada) pengelolaan sampah.

Pada 2018, aspek pengelolaan sampah di TPA ditambahkan ke dalam kriteria penghargaan Adipura, yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Namun khusus untuk sampah makanan, pemerintah Indonesia, termasuk pemerintah daerah, agaknya belum memiliki regulasi yang rinci.

Walau demikian, upaya memanfaatkan sisa-sisa makanan yang terbuang telah lama dilakukan oleh berbagai komunitas secara sukarela.

Mereka bekerja sama dengan penyelenggara pesta perkawinan, hotel, restoran, dll, untuk menampung makanan berlebih guna disalurkan kepada pihak yang membutuhkan.

Di berbagai kota inisiatif masyarakat itu muncul, umumnya didorong keinginan untuk mempertemukan warga yang membutuhkan makanan dengan pihak lain yang membuang makanan tersisa.

Namun aksi sosial nirlaba ini agaknya tidak memadai untuk memanfaatkan sisa makanan yang terbuang di kota-kota besar. Ini terlihat dari volume sampah makanan yang terus meningkat.

Maka yang perlu dilakukan adalah mendorong warga untuk tidak menyisakan makanan yang dikonsumsi setiap hari.

Berbagai upaya yang dilakukan oleh negara-negara lain sebagaimana diuraikan di atas dapat dijadikan model untuk mengurangi sampah makanan.

Paling berkepentingan dalam pengurangan sampah makanan adalah pemerintah daerah, yaitu kota dan kabupaten.

Tanpa menunggu peraturan pemerintah pusat, setiap pemerintah daerah dapat membuat peraturan daerah masing-masing untuk mengurangi sampah makanan.

Pada saat jumlah warga yang kekurangan makanan sehari-hari masih banyak seperti sekarang ini, mencegah pihak lain untuk membuang makanan berlebih adalah tindakan yang perlu segera dilakukan.

Masyarakat Indonesia yang diakui dunia akan kedermawanannya merupakan sumber kemunculan komunitas sosial nirlaba yang siap menjembatani kedua pihak tersebut.

Energi sosial itu perlu disalurkan dengan kebijakan pemerintah yang mendukung.

Namun untuk itu pemerintah sendiri juga perlu mengurangi keborosan dalam penggunaan sumber daya yang diamanatkan kepadanya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi