Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD
Bergabung sejak: 25 Sep 2022

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Perlindungan Data Pribadi Online bagi Anak dan Penyandang Disabilitas

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo
Kasus Kebocoran Data Pribadi di Indonesia
Editor: Egidius Patnistik

PRESIDEN Amerika Serikat (AS), Joe Biden, mendapat aplaus dan standing ovation saat mengulangi dukungannya untuk perlindungan data pribadi, khususnya terhadap anak, dalam pidato kenegaraannya. Sebagaimana dilaporkan The Washington Post pada 8 Februari 2023, Biden menyerukan untuk memperluas perlindungan online bagi anak-anak.

Dalam pidatonya itu, Biden menekankan dua hal. Pertama, pentingnya undang-undang agar platform digital raksasa berhenti mengumpulkan data pribadi anak-anak dan remaja secara online, melarang iklan menarget anak-anak, dan memberlakukan batasan yang lebih ketat pada data pribadi yang dikumpulkan korporasi.

Kedua, Biden mengatakan sudah waktunya mengakhiri eksperimen nasional yang mereka lakukan pada anak-anak demi mendapat keuntungan.

Baca juga: UU Pelindungan Data Pribadi dan Peran Strategis Data sebagai New Oil

AS tampaknya ingin meniru Inggris yang lebih dulu mengatur keharuskan korporasi memprioritaskan kepentingan terbaik bagi anak-anak dan remaja saat merancang layanan digital baru.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

FBI dan Perlindungan Data Anak

Biro Investigasi Federal atau Federal Bureau of Investigation (FBI) AS dalam rilis resminya berjudul Parents, Caregivers, and Teachers: Protecting Your Kids, di portal resmi fb.gov menyatakan bahwa internet, terlepas dari segala manfaatnya, juga memberi kemudahan bagi penjahat dan pemangsa untuk menjangkau kaum muda.

FBI sering menemukan kejahatan yang disebut sextortion yang dimulai ketika orang dewasa membina hubungan dengan korban anak-anak secara online. Penjahat kemudian mengatur pertemuan dan melakukan pelecehan atau memaksa anak untuk membuat gambar atau video seksual eksplisit, dengan iming-iming hadiah, atau bahkan ancaman.

FBI membagian sejumlah kiat untuk mencegah kejahatan semacam itu.

Pertama, orang tua melakukan komunikasi terbuka dan berkelanjutan tentang perilaku online yang aman dan sesuai dengan anak. Orang tua mesti belajar tentang tentang situs web, perangkat lunak, gim, dan aplikasi yang digunakan anaknya.

Periksa profil dan postingan media sosial serta gim mereka. Berikan pengertian tentang apa yang pantas untuk dikatakan atau dibagikan (secara online).

Kedua, jelaskan kepada anak-anak bahwa setelah gambar atau komentar mereka posting secara online, konten tersebut dapat dibagikan lagi oleh orang lain kepada siapa pun. Hal yang paling penting juga adalah bahwa konten itu tidak pernah benar-benar hilang.

Ketiga, pastikan anak-anak menggunakan pengaturan privasi untuk membatasi akses ke profil online mereka. Beri tahu anak-anak agar sangat berhati-hati saat berkomunikasi dengan siapa pun secara daring, dengan orang yang tidak mereka kenal di kehidupan nyata.

Keempat, FBI menyarankan agar mendorong anak-anak untuk memilih nama layar yang sesuai, dan membuat kata sandi yang kuat. Buat aturan dengan anak-anak, bahwa mereka dilarang mengatur pertemuan dengan seseorang yang mereka temui secara online tanpa sepengetahuan dan pengawasan orang tua.

Kelima, FBI menyarankan orang tua untuk menekankan dan memberikan pengertian kepada anak-anak bahwa membuat ancaman apapun secara online, meskipun menurut mereka itu lelucon, adalah kejahatan.

Segera laporkan setiap kontak yang tidak pantas antara orang dewasa dan anak Anda ke penegak hukum.

UU PDP Indonesia

Kejahatan terhadap anak-anak dan mereka yang memiliki keterbatasan, seperti penyandang disabilitas, kerap dimulai dari akses terhadap data pribadi yang bersangkutan. Karena itu melindungi data pribadi adalah suatu keniscayaan.

Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) memberikan pengaturan khusus terkait perlindungan data pribadi anak dan penyandang disabilitas. Ketentuan yang terdapat pada Pasal 25 jo 26 UU PDP harus dipatuhi dan menjadi perhatian semua korporasi dan badan publik yang berinteraksi langsung atau berperan sebagai pengendali data.

Ketentuan terkait perlindungan data anak terdapat pada Pasal 25 ayat (1) UU PDP. Ketentuan itu menyatakan bahwa pemrosesan data pribadi anak diselenggarakan khusus. Selanjutnya Pasal 25 ayat (2) menyatakan, pemrosesan data pribadi anak dimaksud wajib mendapat persetujuan dari orang tua anak dan/atau wali anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Doxing, Data Pribadi, Sanksi Hukum, dan Kiat Mengatasinya

Sedangkan terkait perlindungan data penyandang disabilitas terdapat pada Pasal 26 ayat (1) UU PDP yang berbunyi, "Pemrosesan data pribadi penyandang disabilitas diselenggarakan secara khusus". Pasal 26 ayat (2) berbunyi, "Pemrosesan dimaksud melalui komunikasi dengan menggunakan cara tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan."

Selanjutnya Pasal 26 ayat (3) mengatur bahwa pemrosesan data pribadi penyandang disabilitas wajib mendapat persetujuan dari penyandang disabilitas dan/atau wali penyandang disabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan dalam UU PDP, yang menyatakan pemrosesan data pribadi anak wajib mendapat persetujuan dari orang tua anak dan/atau wali anak ditujukan untuk melindungi anak-anak. Pembentuk UU sangat menyadari fenomena global kejahatan melalui sarana platform digital yang mengancam mereka.

Perlindungan diberikan juga secara khusus kepada penyandang disabilitas. Kalimat “Pemrosesan data pribadi penyandang disabilitas diselenggarakan secara khusus”, dan "Pemrosesan melalui komunikasi dengan menggunakan cara tertentu", dimaksudkan untuk memberi kemudahan dan fasilitasi kepada para penyandang disabilitas.

Di samping itu keterangan "pemrosesan data pribadi wajib mendapat persetujuan dari penyandang disabilitas dan/atau wali penyandang disabilitas” dimaksudkan untuk melindungi mereka dari kejahatan berbasis data pribadi.

Di Indonesia data pribadi individu seperti nomor induk kependudukan dan data diri banyak digunakan untuk kepentingan registrasi dan akses online layanan tertentu. Demikian juga data pribadi seringkali diminta untuk pembuatan akun pada platform digital.

Semua platform digital dan korporasi yang melibatkan data pribadi anak, dan penyandang disabilitas, wajib menyediakan fasilitas atau fitur pada platform untuk layanan khusus ini, dan untuk memenuhi amanat UU PDP.

Sanksi

Harus dipahami bahwa pelanggaran terhadap Pasal 25 ayat (2) atau 26 ayat (3) diancam saksi administratif oleh UU PDP seperti diatur pada Pasal 57 ayat (1) sampai dengan ayat (5).

Sanksi administratif itu berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan pemrosesan data pribadi, penghapusan atau pemusnahan data pribadi dan/atau denda administratif.

Hal yang tidak boleh dianggap enteng adalah ancaman sanksi berupa denda administratif seperti diatur Pasal 57 ayat (3) dan ayat (4) yaitu berupa denda administratif paling tinggi dua persen dari pendapatan tahunan, atau penerimaan tahunan, terhadap variabel pelanggaran.

Sanksi tersebut nantinya akan diberikan oleh Lembaga Perlindungan Data Pribadi yang dibentuk pemerintah sesuai amanat UU PDP.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi