KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku bingung soal harga beras yang tak kunjung turun, meski sejumlah daerah sudah panen raya.
"Kita lihat masih panen raya. Logikanya panen raya suplainya banyak, mestinya harga turun. Nah, ini kok endak," ujar Jokowi di Istora GBK, Jakarta, Rabu (15/3/2023).
"Ini yang baru kita cari. Ini yang senang petaninya senang, tetapi konsumennya pasti akan berteriak. Saya kira keseimbangan itu yang ingin kita jaga," lanjutnya.
Dikutip dari data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga beras kualitas bawah II saat ini menunjukkan stagnan Rp 11.650 per kilogram, dan beras kulitas bawah I Rp 12.000 per kilogram.
Kemudian beras kualitas medium I Rp 13.200 per kilogram, beras kualitas medium II Rp 13.050 per kilogram, beras kualitas super I Rp 14.600, dan beras kualitas super II Rp 14.100.
Baca juga: Saat Panen Raya Disambut dengan Impor Beras...
Lantas, mengapa harga beras tak kunjung turun meski sudah panen raya dan impor?
Intervensi yang telat
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, persoalan harga beras ini merupakan akibat dari intervensi pemerintah yang terlambat.
Hal ini diperburuk dengan biaya input produksi, khususnya pupuk dan biaya logistik BBM yang mengalami kenaikan.
"Jadi petani pun harus jual dengan harga yang lebih tinggi meski ada panen raya," kata Bhima kepada Kompas.com, Kamis (16/3/2023).
"Apa pemerintah tambah subsidi pupuk dan turunkan harga BBM? Kan tidak," sambungnya.
Baca juga: Harga Beras Masih Tinggi, Apa yang Terjadi?
Perlunya intervensi pemerintahSelain itu, ia menyebut beras yang beredar di pasaran saat ini juga merupakan beras hasil panen tahun lalu yang harganya lebih tinggi.
Karenanya, Bhima berharap agar pemerintah langsung mengintervensi kondisi ini dengan menurunkan harga BBM subsidi untuk membantu biaya distribusi beras.
"Kemudian pastikan beras hasil panen raya bisa segera terdistribusi ke daerah yang alami kenaikan harga tertinggi," jelas dia.
Dalam hal ini, pemerintah daerah juga perlu berkoordinasi secara aktif dengan sesama pemda untuk kepentingan stok beras di masing-masing daerah.
"Jadi saling melengkapi, kalau menyerahkan ke mekanisme pasar konyol namanya," ujarnya.
Baca juga: Viral Video Bikin Lulur dari Kunyit, Kopi, dan Beras, Amankah?
Persoalan klasik
Sementara itu, ekonom Universitas Gadjah Mada Eddy Junarsin menilai, tingginya harga beras kali ini merupakan masalah klasik, yakni supply and demand.
Menurutnya, rantai pasokan beras saat ini tidak dikelola dengan baik, khususnya beras lokal.
"Waktu panen kan tidak semua daerah merata, ada daerah yang supply berlebihan, tapi ada yang kurang. Secara nyata dan logis berarti supply chain tidak optimal," kata Eddy, saat dihubungi secara terpisah, Kamis.
Untuk itu, Bulog dalam hal ini perlu memperbaiki supply chain dengan menyerap beras petani secara maksimal dan menyebarkannya ke daerah yang lebih membutuhkan.
Persoalan lainnya adalah makelar di balik perdagangan beras.
"Jadi pihak-pihak perantara itu membuat harga naik. Jadi tidak langsung disalurkan melalui Bulog, tapi perantara perdagangan," katanya lagi.
Baca juga: Jangan Dibuang, Air Cucian Beras Bisa untuk Suburkan Tanaman