Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 31 Jan 2023

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Ancaman Kemarau Panjang 2023 dan Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Manggala Agni Dumai
Petugas Manggala Agni Dumai tengah memadamkan api karhutla di Desa Buluh Apo, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Riau, Minggu (19/3/2023).
Editor: Egidius Patnistik

BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) pada pertengahan Maret ini mendeteksi 45 titik panas (hot spot) di Provinsi Kalimantan Timur. Ini pertanda akan dimulainya musim kemarau tahun 2023.

Saat ini, jelang akhir Maret 2023, di sana sini masih ditemukan hujan di daerah tertentu dan masih ada kesempatan untuk menanam satu kali lagi bagi petani sawah tadah hujan. Namun BMKG memprediksi musim kemarau 2023 akan lebih kering dibanding tahun sebelumnya, yakni periode tahun 2020-2022.

Kondisi kemarau yang diperkirakan lebih kering dibanding tiga tahun terakhir bisa memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) semakin mudah terjadi. Dengan adanya prakiraan kemarau panjang itu, diharapkan semua pihak dapat menyusun strategi antisipasi sejak dini.

Baca juga: Kapan Musim Kemarau 2023? Ini Prediksi BMKG

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, pada 27 Januari lalu mengatakan, pada tiga tahun terakhir saat musim kemarau masih sering terjadi hujan. Namun di tahun ini, intensitas hujan akan jauh menurun.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Karena itu, dia mengimbau semua pihak meningkatkan kewaspadaan, terutama di daerah-daerah yang selama ini masuk dalam kategori rawan karhutla, seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

Kewaspadaan Penuh

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto, di laman resmi lembaga itu menyampaikan langkah–langkah persiapan musim kemarau panjang tahun 2023. Ia menyebutkan, salah satu strategi menangani kemarau panjang 2023 adalah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, menyiapkan operasi darat dan udara serta melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC).

Strategi yang disusun  BNPB berfokus pada upaya-upaya pencegahan karhutla terutama pada wilayah-wilayah yang rawan terjadinya kebakaran.

"Rencana 2023, kita akan menyiagakan lebih banyak helikopter, 49 unit helikopter. Jika masih kurang, BNPB akan berupaya memenuhi kebutuhan," kata Suharyanto.

Baca juga: Mengevaluasi Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan

Penyiapan helikopter oleh BNPB digunakan untuk patroli dan water bombing. Pihaknya juga akan melakukan teknologi modifikasi cuaca untuk merekayasa cuaca, termasuk menyiapkan dana siap pakai untuk operasional.

Upaya pencegahan karhutla pada 2022 dilakukan dengan menurunkan 55 unit helikopter water bombing dan 33 unit untuk patroli. Melalui upaya tersebut, luas lahan terbakar menurun dari 358.867 hektar pada 2021 menjadi 204.894 hektar pada 2022.

Faktor alam turut berpengaruh terhadap turunnya luas lahan terbakar, terutama disebabkan oleh kondisi cuaca tahun 2022 relatif lebih basah dibandingkan tahun 2021.

Jangan sampai terjadi karhutla seperti tahun 1997-1998 dan tahun 2002-2003. Akibat kebakaran karhutla pada lahan gambut di Indonesia tahun 1997/1998, sebanyak 2,5 miliar ton karbon lepas ke atmosfir. Kebakaran 2002-2003 melepaskan 200 juta – 1 miliiar ton karbon ke atmosfir.

Perkebunan sawit di Kalimantan berperan besar dalam proses pengeringan hutan gambut yang menyebabkan karbon terlepas. Jangan sampai terjadi, akibat munculnya asap pekat akibat karhutla, Indonesia diprotes negara jiran seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalaam. Soalnya, kabut asap dari Indonesia terbawa angin hingga ke negara-negara tetangga tersebut.

Daerah-daerah yang perlu diwaspadai dan menjadi langganan karhutla adalah Sumatera (antara lain Riau, Sumut, Jambi, Sumsel),  Kalimatan, dan Papua.

Isu Lingkungan

Karhutla yang terjadi di Indonesia, bila kondisinya parah, bisa menjadi senjata ampuh bagi negara-negara maju untuk menggoyang Indonesia. Indonesia akan diberi label sebagai penyebab terjadinya peningkatan emisi karbon di atmosfir, selain tentu karena isu deforestasi yang masif.

Kebakaran hutan dan lahan merupakan penyumbang ketiga terbesar (12 persen) penyebab terjadinya emisi karbon, setelah deforestasi (48 persen) dan transportasi (21 persen). Di bawahnya ada limbah pabrik (11 persen), pertanian (5persen), dan sektor industri (3 persen).

Karhutla yang terjadi di lahan gambut perlu diwaspadai karena peran hutan alam primer rawa gambut sangat sentral dalam menyerap karbon.

Baca juga: Potensi Pasar Karbon Syariah

Dalam laporan riset yang diterbitkan jurnal Nature Sustainability pada 18 November 2021, tim peneliti dari Conservation International, Amerika Serikat (AS) telah membuat peta terbaru bagian dunia yang memiliki konsentrasi karbon amat tinggi dan jika terlepas akan memicu bencana iklim.

Wilayah gambut di Kalimantan dan Papua termasuk yang memiliki konsentrasi karbon di Bumi. Kelompok peneliti yang dipimpin Monica L Noon itu menyebutkan, untuk menghindari bencana perubahan iklim dibutuhkan dekorbonisasi yang cepat dan pengelolaan ekosistem lebih baik pada skala planet.

Karbon yang dilepaskan melalui pembakaran bahan baku fosil akan membutuhkan waktu ribuan tahun untuk beregenerasi di Bumi. Monica dan tim menemukan wilayah di Bumi yang menyimpan karbon tertinggi dan harus dijaga, di antaranya adalah permafrost atau tanah beku di belahan utara Bumi termasuk Siberia dan kawasan rawa-rawa sepanjang pantai barat laut AS. Selain itu, Lembah Amazon, Cekungan Kongo, dan sebagain wilayah Kalimantan.

Untuk Indonesia, selain Kalimantan yang dipetakan menyimpan karbon yang sangat tinggi adalah Papua bagian selatan. Kawasan itu merupakan penyerap karbon alami dan dapat dianggap jadi sumber penyimpan sumber daya yang tidak bisa dipulihkan.

Sebab, jika karbon yang tersimpan dilepaskan oleh aktivitas manusia, butuh waktu berabad-abad bagi daerah itu untuk pulih. Jika karbon lepas, hal itu tidak dapat dipulihkan dalam jangka waktu tertentu, minimal selama 30 tahun.

Padahal emisi global harus mencapai emisi bersih pada 2050. Sejak tahun 2010, pertanian, penebangan kay,  dan kebakaran hutan melepaskan emisi karbon setidaknya empat gigaton (Gt) karbon yang tidak dapat dipulihkan.

Sisanya 139 – 443 gigaton (Gt) karbon dunia yang tidak dapat dipulihkan itu menghadapi resiko konversi penggunaan lahan dan perubahan iklim. Jika itu terjadi, bakal akan terjadi bencana iklim.

Alasan-alasan ilmiah dari riset yang di kemukakan di atas semakin memperkuat pentingnya upaya pemerintah Indonesia tidak hanya untuk memulihkan dan merestorasi gambut yang rusak, tetapi juga melindungi dan mempertahankan lahan gambut dari karhutla maupun deforestasi yang terus terjadi setiap tahun.

Apabila Indonesia mampu mengendalikan karhutla di musim kemarau, dengan sendirinya isu lingkungan yang dihembuskan negara maju otomatis akan hilang dan terbantahkan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi