Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 29 Jun 2022

Peneliti di Paramadina Public Policy Institute, mahasiswa doktoral University College London, dan Pengurus PCI Nahdlatul Ulama UK.

Hoaks, Kebijakan Publik, dan Demokrasi Kita

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo
Ilustrasi Hoaks
Editor: Egidius Patnistik

GLOBALISASI dan internet membawa banyak manfaat. Salah satunya adalah memberikan lebih banyak referensi bagi pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan publik yang lebih efektif.

Namun, keuntungan itu tak datang tanpa tantangan. Arus deras informasi datang dengan berbagai berita tak benar, yang sering kita sebut hoaks.

Dalam konteks kebijakan publik, pembuat kebijakan justru berjibaku dengan kerumitan meladeni hantaman berbagai hoaks, ketimbang sibuk mengeksekusi strategi yang jelas didukung bukti.  Dua kasus kebijakan publik bisa dijadikan ilustrasi, yaitu terkait Covid-19 dan reformasi subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Baca juga: Penyebaran Hoaks dan Rendahnya Kemampuan Identifikasi Informasi

Pandemi Covid-19, diakui banyak pihak, tak punya preseden. Karena itu, berbagai pihak, berotoritas maupun tidak, ikut sama-sama menganalisis pandemi tersebut. Alhasil, informasi berbasis bukti muncul bersamaan dengan yang berbasis firasat. Kita ketahui bersama, jalan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia sangat terjal.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berbeda tapi serupa situasinya dengan upaya mereformasi (khususnya mengurangi subsidi) BBM. Berbagai bukti telah menyatakan, subsidi tak menguntungkan warga miskin. Subsidi BBM juga memperburuk perubahan iklim.

Namun banyak informasi beredar bahwa kebijakan pengurangan subsidi BBM adalah wujud represi pemerintah terhadap masyarakat.

Gonjang-ganjing politik seperti pada 1998 dan 2012, dan berbagai demonstrasi akhir 2022 menunjukkan betapa dampak hoaks dalam kebijakan benar-benar nyata.

Kaitan Hoak dan Kebijakan Publik

Soal kaitan hoaks dan kebijakan, menarik untuk membaca artikel tahun 1993 yang ditulis dua ahli Amerika Serikat (AS), Prof Phylis Johnson dan Prof Joe Foot. Dalam artikel berjudul Pranks and Policy: Martians, Nuclear Bombs and the 1992 Ruling on Broadcast Hoaxes, mereka menjelaskan bagaimana pada waktu itu sirkulasi hoaks via radio benar-benar meresahkan AS.

Di awal 1990-an, radio menjadi medium komunikasi yang masif di AS, sebagaimana internet di dunia saat ini. Sebuah stasiun radio mencoba menyimulasikan jatuhnya bom nuklir, tanpa ada pengumuman apapun sebelumnya. Pendengar radio itu panik dan akhirnya melayangkan berbagai komplain ke radio tersebut.

Baca juga: Jelang Pemilu 2024, Pentingnya Prebunking Bentuk Imunitas Masyarakat dari Penyebaran Hoaks

Stasiun radio lainnya membuat diskusi telepon palsu terkait pembunuhan. Pihak otoritas kadung mengerahkan sumber dayanya. Ujungnya, zonk.

Apa yang direkam artikel tersebut ‘sayangnya’ sangat beresonansi dengan dampak hoaks yang kita lihat saat ini, khususnya dalam pembuatan kebijakan di Indonesia. Penanganan pandemi banyak tantangan, misalnya dari pihak-pihak yang tak memercayai perlunya vaksin.

Sementara itu, meski jelas anggaran subsidi BBM dinikmati paling banyak oleh orang kaya, berbagai pihak berkeras menuding reformasi subsidi ini zalim pada orang miskin.

Tentu, harus juga diakui bahwa otoritas, dalam hal ini pemerintah Indonesia, belum optimal dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya. Berbagai miskoordinasi, termasuk antara pusat dan darah, dan miskomunikasi antara pemerintah dan masyarakat sipil masih menjadi kendala.

Dalam kasus pananganan pandemi, studi Paramadina Public Policy Institute (PPPI) yang dipublikasikan Center for International Private Enterprise (CIPE) pada 2020 menyatakan, pemutakhiran data dan penanganan pasien Covid-19 sempat menjadi perdebatan sebab ketidakjelasan arus koordinasi dinas-dinas kesehatan di daerah dengan Kementerian Kesehatan RI.

Sementara terkait reformasi subsidi BBM, ketika harga BBM naik, inflasi secara umum masih sulit dikendalikan (Jazuli et al, 2021).

Dinamika hoaks dan kebijakan publik jelas tak mudah ditangani. Penelitian PPPI yang didukung CIPE (2023) menyebutkan, tingginya sirkulasi hoaks karena ada bisnis yang menarik keuntungan darinya. Hal ini jelas mengkhawatirkan sebab misinformasi yang tersirkulasi bisa sewaktu-waktu memunculkan krisis.

Partisipasi dan Kolaborasi

Meski meresahkan, situasi ini bukan tanpa jalan keluar. Kasus hoaks lewat radio di AS di atas pada akhirnya dapat ternavigasi dengan partisipasi aktif masyarakat untuk menolak percaya. Mereka melayangkan komplain kepada stasiun radio terkait yang diduga menyebarkan hoaks.

Di sisi lain, pemerintah AS mengambil langkah tegas dengan memperkuat peran Federal Communications Commission (FCC) di masa itu untuk memberikan peringatan dan denda kepada mereka yang menyebar hoaks.

Baca juga: Akhir Kasus Hoaks Babi Ngepet di Depok, Adam Ibrahim Divonis 4 Tahun Penjara

Di Indonesia, tentu hal yang serupa perlu digiatkan. Kerja bersama antar berbagai pihak khususnya aktor-aktor pemerintah dan nonpemerintah harus diperkuat. Pemerintah bersama berbagai universitas dan kelompok-kelompok masyarakat sipil, misalnya dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, perlu mengupayakan agar kapasitas kritis publik terus meningkat.

Berbagai upaya sebenarnya telah hadir misalnya Mafindo dan berbagai platform pelaporan hoaks, milik pemerintah khususnya yang digawangi Kominfo RI. Perlu disadari bahwa hoaks diprediksi makin ramai bersirkulasi menjelang pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia, yakni pemilu yang akan serentak dilaksanakan awal 2024. Berbagai kebijakan pemerintah akan menjadi sasaran empuk hoaks.

Masalah terkait berbagai kebijakan sebelumnya, misalnya penanganan pandemi dan reformasi subsidi BBM, berpotensi diungkit dan dibelok-belokkan. Tentu banyak hal perlu diupayakan untuk menyikapinya. Namun, kerja sama antar aktor di atas bisa menjadi pemantik jalan keluar.

Harapannya, kerja sama lintas aktor ini bukan hanya memperluas jangkauan untuk menekan sirkulasi info tak benar. Tetapi, ini juga memunculkan rasa percaya atas kebijakan (policy trust) sehingga masyarakat punya rasa kepemilikan (policy ownership) baik atas sukses maupun gagalnya kebijakan.

Kemauan untuk berkolaborasi harapannya dapat menjadi jalan keluar untuk menyikapi relatif melemahnya demokrasi kita. Laporan dari beberapa lembaga terkemuka seperti The Economist (2022) dan Freedom House (2022) mengonfirmasi hal tersebut. Melemahnya aspek kebebasan sipil dan budaya politik secara signifikan menghambat kemajuan demokrasi kita.

Policy trust dan ownership sebagaimana dibahas di atas nampaknya penting digiatkan untuk, selain menangkal hoaks juga kembali memperkuat demokrasi di Indonesia tersebut.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi