Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pegawai Negeri Sipil
Bergabung sejak: 23 Sep 2022

Koordinator Hukum dan Kerja Sama Ditjen Aptika. Legal Drafter. Alumnus Faculty of Law Maastricht University. Pengajar pada Fakultas hukum Universitas Indonesia. Kepala Divisi Hukum Indonesia Cyber Law Community.

Subyektivitas Dalam Penilaian Legalitas Konten

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Shutterstock
Ilustrasi konten digital yang positif.
Editor: Egidius Patnistik

BANYAK pihak menilai, ketentuan konten ilegal yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memberangus kebebasan pers, mengekang kebebasan berpendapat, atau merupakan bentuk draconian law.

Penilaian tersebut sering ditujukan terhadap ketentuan tentang penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan ketentuan tentang penyebaran konten kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Kedua pasal tersebut sudah beberapa kali diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa putusan menegaskan bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak bertentangan dengan konstitusi.

Baca juga: Peneliti UGM: Hentikan Konten Media Sosial yang Berujung Maut

Aturan dalam kedua pasal tersebut merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia yang dimungkinkan oleh undang-undang. Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akan tetapi, konstitusionalitas suatu pasal tidak serta merta memberikan jaminan bahwa pasal tersebut diterapkan dalam praktik dengan tepat. Salah satu pertanyaan yang muncul ialah bagaimana sebenarnya menentukan legalitas dari suatu konten, khususnya konten yang berada dalam zona abu-abu?

Kerumitan Penentuan Legalitas Konten

Subyektivitas dalam penilaian konten merupakan satu masalah utama dalam menentukan legalitas konten. Subyektivitas lahir dari perbedaan persepsi. Pengirim dapat mempersepsikan bahwa konten yang dia kirim tidak melanggar hukum, tetapi penerima dapat menilai sebaliknya.

Perbedaan persepsi dapat dipengaruhi banyak faktor, seperti agama, keluarga, masyarakat, pendidikan, budaya, pengalaman, dan kepentingan. Perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan dalam memaknai atau menafsirkan konten. Besar kemungkinan terdapat bias antara apa yang dimaksudkan pengirim dengan apa yang dipahami penerima konten.

Dalam hal penerima konten melaporkan suatu konten kepada aparat penegak hukum, persepsi siapakah yang digunakan untuk menentukan melanggar tidaknya konten tersebut?

Dalam praktik, sering terjadi, persepsi yang digunakan ialah persepsi ahli. Padahal, persepsi ahli dapat berbeda dengan persepsi pengirim dan penerima. Bahkan, persepsi ahli dapat berbeda dengan persepsi aparat penegak hukum mengenai konten yang dipermasalahkan.

Dalam hal persepsi ahli berbeda dengan persepsi penyidik, bisa jadi penyidik mencari ahli lain dengan persepsi yang sejalan dengan kepentingan penyidikan.

Kerumitan lainnya adalah sampai sejauh mana seseorang boleh berpendapat mengenai satu hal? Pertanyaan ini juga memiliki unsur subyektif. Dapatkah seseorang berpendapat berdasarkan pengetahuannya yang terbatas? Apakah seseorang yang tidak memiliki pemahaman yang komprehensif tidak boleh berpendapat?

Misalnya, seorang awam berpendapat di media sosial bahwa satu undang-undang yang baru saja ditetapkan merupakan pesanan negara asing. Lalu, ketika dia diminta untuk membuktikannya, dia tidak mampu memberikan fakta-fakta yang memadai. Apakah itu artinya dia telah menyebarkan berita bohong?

Contoh lain ialah sampai sejauh mana seseorang dapat mengungkapkan keyakinannya di sosial media tentang ada atau tidaknya Tuhan? Jika seorang profesor teologi berpendapat bahwa Tuhan itu ada, sedangkan seorang mahasiswa hukum menyakini sebaliknya, apakah pendapat profesor lebih tinggi nilainya dari keyakinan mahasiswa?

Baca juga: Anggota Komisi I DPR Sebut UU ITE Perlu Direvisi agar Selaras dengan KUHP

Bagaimana jika sebaliknya terjadi: seorang mahasiswa linguistik berpendapat bahwa Tuhan itu ada, sedangkan profesor tersebut meyakini tidak? Dengan pertanyaan lain, jika seseorang harus mengetahui banyak hal, seperti ekonomi, hukum dan politik untuk memberikan pendapat akan satu masalah, apakah hanya ahli yang boleh berpendapat?

Lagipula sejauh mana seorang ahli dapat memahami satu permasalahan secara holistik?

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Karena itu, tidak komprehensifnya pendapat seseorang akan satu hal tidak serta merta menjadi dasar untuk menyatakan bahwa orang tersebut bersalah atau menyebarkan berita bohong.

Tidak dikatakan di sini bahwa seseorang boleh memberikan pendapat tanpa batasan. Konstitusi memungkinkan pembatasan secara konstitusional. Akan tetapi, jika terjadi sengketa mengenai legalitas konten sebagai wujud pendapat, bagaimana menilainya secara bertanggung jawab? Bagaimana meletakkan kepentingan pembuat konten dan penerima konten secara seimbang dalam konteks menjamin hak asasi mereka?

Kalau kita menerima bahwa konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE didasarkan pada tujuan pembentukannya, yaitu untuk melindungi hak asasi manusia, maka perlu kita terima juga bahwa harus ada cara atau pendekatan dengan parameter obyektif dalam menentukan legalitas konten.

Mercusuar dalam menghadapi kerumitan penentuan legalitas konten ialah tujuan konstitusional sistem peradilan pidana di Indonesia, yaitu menegakkan hukum dan keadilan. Dalam proses panjang menegakkan hukum dan keadilan, sistem pembuktian di Indonesia dibangun untuk mencari kebenaran material.

Pertimbangan putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa kebenaran material ialah suatu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat lagi keraguan.

Pendekatan Analisa Konten, Konteks, dan Penerima

Dalam mencari kebenaran material untuk menentukan legalitas konten, ada tiga aspek penting untuk dianalisa yaitu konten, konteks, dan penerima. Ketiga aspek ini saling terkait dan harus dianalisa sebagai satu kesatuan.

Tujuan pendekatan tersebut untuk mendorong penegak hukum memperhitungkan berbagai aspek yang relevan agar penilaian legalitas konten lebih obyektif. Pendekatan ini dapat bermanfaat sebagai kendaraan dalam membuka jalan bagi penegak hukum dalam menemukan kebenaran material.

Pendekatan untuk menentukan legalitas konten dengan menganalisa konten, konteks, dan penerima bukanlah hal yang baru. Beberapa sarjana di Indonesia telah lebih dulu mengusulkan hal itu, tetapi tampaknya masih belum digunakan secara umum.

Analisa terhadap konten menekankan pada penilaian atas informasi atau dokumen elektronik apa yang didistribusikan, ditransmisikan, dan dibuat dapat diakses. Analisa ini menekankan pada apa yang tertulis, dapat dilihat, dibaca, atau didengar seseorang.

Baca juga: Ditjen Diksi: Ini Jenis Konten yang Menarik dan Bikin Viral

Penilaian terhadap konten tidak cukup hanya terhadap apa yang dilaporkan oleh pelapor. Konten sebelum dan sesudah konten yang dipermasalahkan oleh pelapor penting juga untuk dianalisa.

Pelapor termotivasi untuk membuat cerita versinya, dan merangkai atau mengutip bagian-bagian dari suatu konten yang menurutnya telah melanggar hak-haknya. Akan tetapi, mungkin saja dengan menganalisa konten yang dipermasalahkan pelapor bersama dengan konten sebelum dan sesudahnya dapat dinilai bahwa pengirim konten hanya berusaha untuk membela diri atas konten-konten yang dikirimkan oleh pelapor.

Analisa terhadap konten juga dilakukan terhadap keseluruhan konten yang ada. Dalam konten tulisan, pelapor mungkin termotivasi untuk memilih konten yang menurutnya bermasalah sehingga hanya melihat secara sempit satu kata, satu kalimat, atau satu paragraf saja.

Karena itu, dalam menyelesaikan permasalahan konten ilegal, penilaian dilakukan terhadap satu kata dalam kaitannya dengan satu kalimat, satu kalimat dengan satu paragraf, satu paragraf dengan beberapa paragraf atau dalam satu bab, dan seterusnya.

Dalam konten video, pelapor juga dapat termotivasi hanya mempermasalahkan satu frame yang terdiri dari beberapa detik. Pilihan tersebut menimbulkan kesan pelapor adalah pihak korban. Akan tetapi jika frame tersebut dilihat dalam satu durasi video secara utuh, mungkin aparat penegak hukum memiliki perspektif yang berbeda.

Gaya bahasa atau simbol yang digunakan pengirim juga penting untuk dianalisa. Mungkin pengirim menggunakan bahasa hiperbola atau kalimat konotasi. Apabila penilaian terhadap konten dengan gaya bahasa tersebut dilakukan secara harfiah, maka kita akan kehilangan makna sebenarnya.

Konteks adalah raja! Ungkapan ini sering muncul dalam pembahasan komunikasi. Konten hadir karena dan bersama dengan konteks. Analisa terhadap konteks berhubungan dengan berbagai latar belakang yang relevan terkait konten maupun pengirim dan penerima.

Misalnya, apa hubungan antara pengirim dan penerima? Apakah mereka suami dan istri? Hubungan suami istri mungkin dapat menidakan unsur pidana transmisi konten pornografi.

Apakah hubungan para pihak adalah karwayan dan majikan? Hubungan tersebut dapat mengindikasikan adanya posisi dominan yang dapat diterapkan salah satu pihak. Analisa terhadap konteks juga mempertanyakan permasalahan apa yang terjadi di antara para pihak sebelum pelaku mengirimkan konten yang bermasalah.

Apakah pengirim konten memiliki hubungan hutang piutang dengan pelapor? Fakta bahwa pengirim konten sudah menagih hutang berkali kali tetapi tidak diindahkan korban mungkin telah mendorongnya mengirimkan SMS ke beberapa rekan kantor korban.

Media yang digunakan oleh pengirim konten juga penting dianalisa. Twitter memiliki keterbatasan dalam menyampaikan pesan atau gagasan. Karena itu, pengirim konten termotivasi untuk mereduksi gagasannya ke dalam batasan yang ditentukan platform.

Dalam reduksi tersebut, pengirim dapat saja menggunakan banyak singkatan atau kata yang bermakna ganda.

Analisa terhadap penerima berhubungan dengan, misalnya berapa orang yang telah menerima konten yang dipermasalahkan? Jika konten hanya dikirimkan dari satu orang ke satu orang lain, perbuatan tersebut tidak termasuk ke dalam kategori mendistribusikan konten penghinaan.

Esensi dari penghinaan ialah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang untuk diketahui umum. Fakta bahwa seseorang mengirimkan konten pornografi kepada istrinya juga penting dalam analisa terhadap penerima. Demikian juga konten yang dikirim dari seorang dosen kepada mahasiswanya.

Fakta bahwa satu konten yang diunggah di satu akun media sosial tetapi tidak ada satupun pengguna akun lain yang memberi respon juga penting untuk dipertimbangkan dalam menentukan apakah konten tersebut telah melanggar hukum. Bisa dibayangkan, jika seseorang menghina orang lain tetapi korban tidak merasa terhina. Dalam hal ini, tidak ada pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Bagaimana jika satu konten direspon dengan emoji saja, misalnya emoji marah, tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Misalnya, seorang pengguna akun medsos, berusaha untuk mengajak beberapa pengguna akun lainnya untuk membenci korban karena agamanya.

Lalu, hanya ada satu orang yang memberikan emoji marah. Apakah adanya konten dan emoji marah tersebut cukup untuk menjerat pelaku? Emoji marah dapat ditujukan terhadap konten yang bisa ditafsirkan bahwa penerima setuju dan akhirnya membenci korban.

Akan tetapi, emoji tersebut juga dapat ditafsirkan bahwa ia marah terhadap pengirim konten, karena pengirim telah memprovokasi orang lain untuk membenci orang lain.

Menegakkan Hukum dan Keadilan

UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah mencabut ketentuan pidana dalam Pasal 27 ayat (1) terkait kesusilaan, Pasal 27 ayat (3) terkait penghinaan dan pencemaran nama baik, dan Pasal 28 ayat (2) terkait SARA.

Latar belakang pencabutan ketiga pasal dalam UU ITE tersebut ialah karena KUHP telah mengatur norma hukum yang sama dalam rumusan yang berbeda. Meskipun demikian, analisa terhap konten, konteks, dan penerima juga penting untuk diterapkan dalam penegakan hukum atas pelanggaran konten-konten ilegal dalam KUHP.

Diakui, penggunaan analisa konten, konteks dan penerima dalam penegakan hukum akan menimbulkan beban bagi aparat penegak hukum. Mereka perlu menggunakan sumber daya yang lebih besar dan waktu yang lebih banyak.

Akan tetapi, jika kita berpegangan pada tanggung jawab penegak hukum menemukan suatu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat lagi keraguan, bukankah semua usaha tersebut sepadan? Bukankah dengan menemukan kebenaran material, jalan menuju tegaknya hukum dan keadilan terbuka semakin lebar?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi