Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polemik Piala Dunia U20 dan Pemahaman Konstitusi secara Dangkal...

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR
Maskot Piala Dunia U-20 2023 Indonesia bernama Bacuya berpose dalam acara 100 Hari Menuju Piala Dunia U-20 Indonesia 2023 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (9/2/2023). Kementerian Pemuda dan Olahraga bersama Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) resmi menghitung mundur 100 hari menuju perhelatan Piala Dunia U-20 2023 yang akan berlangsung di Indonesia pada 20 Mei-11 Juni 2023.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Langkah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang secara tiba-tiba menolak kehadiran Israel dalam Piala Dunia U20 menuai sorotan.

Pasalnya, penolakan Israel tersebut berujung pada pencopotan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2023 yang akan berlangsung kurang dari dua bulan.

Bukan hanya status tuan rumah, mimpi para punggawa timnas Indonesia untuk berlaga di turnamen tertinggi sepak bola pun seketika sirna.

Bagi PDI-P, penolakan keikutsertaan Israel di Piala Dunia U20 ini merupakan amanat konstitusi yang harus tetap dipegang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meski berlandaskan konstitusi, tetapi penolakan itu melukai hati para pemain dan pencinta sepak bola Indonesia. Apalagi, persiapan Piala Dunia U20 sudah menghabiskan anggaran besar.

Baca juga: Antiklimaks Euforia Penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia...

Membaca konstitusi yang tidak sederhana

Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Wahyudi mengatakan, konstitusi secara tegas menolak adanya penjajahan dan mendukung kemerdekaan yang menjadi hak segala bangsa.

Namun, 'merdeka' atau 'kemerdekaan' memiliki pengertian yang tak bisa disederhanakan.

Begitu halnya dengan praktik dan pengertian penjajahan, termasuk gagasan tentang struktur kolonial yang sulit untuk disederhanakan.

Baca juga: Saling Lempar Kesalahan atas Batalnya Indonesia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U20...


Agus menilai, menyederhanakan dua terminologi itu justru berpotensi menjerumuskan pada kesalahan langkah yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

"Sebab, dalam praktik penjajahan dan hakikat struktur kolonial yang harus dihapus itu, tidak mungkin dilihat sebagai sesuatu yang pasti (fixed) dan menetap (given), terutama terkait dengan para pelaku atau aktor yang terlibat," kata Agus kepada Kompas.com, Jumat (31/3/2023).

Ia menjelaskan, realitas ontologi politik menunjukkan, pihak yang dijajah dalam prosesnya bisa berubah wajah menjadi penjajah. Begitu pun sebaliknya.

Dalam konteks Palestina-Israel, Agus menyebut ontologi politik membawa pada suatu keadaan yang rumit, sehingga kategori biner tak pernah memadai untuk membaca realitas.

"Tidak bisa lagi digunakan hanya dua kata sederhana yang saling berlawanan antara baik dan buruk, salah dan benar, mulia dan jahat untuk melabel salah satu atau keduanya," jelas dia.

Baca juga: Ancaman Sanksi FIFA dan Kegagalan Indonesia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20...

Pemahaman konstitusi yang kasar

Bagi Agus, penolakan PDI-P atas kehadiran Israel dan Piala Dunia U20 dengan alasan menegakkan konstitusi, justru mencerminkan cara berpikir yang mengacaukan realitas ontologi politik yang kompleks, terutama hubungan berbeda antara politik dan olahraga.

Lebih dari itu, langkah tersebut juga menunjukkan pemahaman yang terlalu kasar pada semangat dan mandat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Menurutnya, olahraga bertujuan untuk mempererat hubungan antarbangsa.

Baca juga: Profil dan Kekayaan Salt Bae, Celebrity Chef yang Dikecam gara-gara Cium Trofi Piala Dunia

Dengan demikian, selalu ada keharusan moral untuk memisahkan hak dan kesejahteraan para individu manusia dalam membuktikan prestasi dan pencapaiannya dari kepentingan politik negara-bangsa.

"Langkah penolakan PDI-P itu berpotensi menyalahpahami tujuan konstitusi untuk menghapuskan penjajahan di atas dunia," ujarnya.

"Karena memberi makna yang sangat "binary" pada semangat konstitusi yang tak pernah biner dalam semangatnya," sambungnya.

Agus juga mengingatkan, ada mandat lain dalam konstitusi yang bisa menjadi bahan pertimbangan di samping kewajiban negara untuk menciptakan ketertiban dunia, yakni 'perikemanusiaan' dan 'perikeadilan'.

Baca juga: Kata Media Asing soal Pencoretan Indonesia sebagai Tuan Rumah Piala Dunia U-20

Menolak bentuk penafsiran dangkal

Ia menyatakan, semua bentuk kata dalam konstitusi Indonesia sarat dengan makna.

Karena itu, semua orang harus menolak bentuk penafsiran yang dangkal dan sederhana, ketika ada pihak yang berusaha menghubungkannya dengan realitas politik.

Agus menegaskan, para pelaku olahraga seharusnya tidak dianggap sebagai representasi politik yang juga mewakili kategori moral baik dan jahat.

"Benar bahwa dalam politik apa pun mungkin bisa terjadi, namun menjadi jelas sebelum berpolitik adalah penting jika kita ingin mewujudkan tujuan politik sesuai dengan konstitusi kita," kata dia.

"Konstitusi tidak akan memberikan bantuan yang bermanfaat pada kita sebagai generasi baru yang menjalani hidup di alam kemerdekaan, jika cara berpikir mengalami pendangkalan," tutupnya.

Baca juga: Daftar Lengkap Juara Piala Dunia dari Masa ke Masa

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi