Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Isi UU Cipta Kerja yang Didemo Jefri Nichol dan Mahasiswa?

Baca di App
Lihat Foto
Bidik layar Instagram story Jefri Nichol
Artis Jefri Nichol ikut demo menolak UU Cipta Kerja di depan Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (6/4/2023).
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Aksi artis Jefri Nichol yang ikut dalam demo menolak pengesahan Perppu Cipta Kerja, ramai menjadi pembahasan.

Jefri Nichol bersama mahasiswa demo di Gedung DPR RI, Kamis (6/4/2023).

Momen saat dirinya demo termasuk dengan melempar tikus mati ke gedung DPR diunggah di media sosial.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Melki Sedek Huang sebelumnya menyebut, aksi demo itu digelar setelah DPR pada pertengahan Maret lalu resmi mengesahan Perppu Ciptaker usulan pemerintah.

“Fokus aksinya masih tentang menolak Perppu Cipta Kerja yang menciderai konstitusi, konsep negara hukum, dan demokrasi," tutur Melki.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Momen Jefri Nichol Demo Tolak UU Cipta Kerja Bareng Mahasiswa di DPR, Ikut Lempar Tikus Mati

Apa isi Perppu Cipta Kerja yang ditolak Jefri Nichol dan mahasiswa?

Tentang UU Cipta Kerja

Sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) menjadi undang-undang (UU).

Keputusan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023, Selasa (21/3/2023), di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat.

Dikutip dari Kompas.com, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, isi dari Perppu Cipta Kerja ini seputar pengaturan upah minimum bagi pekerja alihdaya atau outsourcing.

Selain itu Perppu Cipta Kerja ini juga menyinkronkan antara UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Pada Perppu Cipta Kerja ini, Pemerintah juga melakukan penyempurnaan substansi pemanfaatan sumber daya air bagi kepentingan umum, perbaikan kesalahan typo atau rujukan pasal, legal drafting, dan kesalahan lain yang non-substansial.

Baca juga: Aturan di Perppu Cipta Kerja yang Dikritisi Kelompok Buruh, soal Upah Minimum hingga Cuti

 

Dikritisi buruh

Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja mendapat penolakan dari kalangan buruh. Sedikitnya ada 9 poin dalam Perppu Cipta Kerja yang ditolak kalangan buruh.

Poin tersebut mulai dari permasalahan upah minimum, outsourcing (alih daya), pesangon, dan karyawan kontrak.

Selain itu, poin lain yang disoroti yakni soal cuti, jam kerja, tenaga kerja asing, PHK, hingga sanksi pidana yang dihilangkan.

Baca juga: 5 Poin UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh

5 Poin UU Cipta Kerja yang dinilai rugikan pekerja

Dikutip dari Kompas.com, berikut ini sejumlah poin dalam UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan pekerja:

1. Sistem kerja kontrak atau PKWT tidak dibatasi

Dalam UU Cipta Kerja, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak.

Hal itu disebutkan dalam Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 59 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Disebutkan, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Penggunaan frasa "tidak terlalu lama" mengubah ketentuan soal batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria PKWT.

Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan frasa "tidak terlalu lama" dan makin menipisnya kepastian kerja bagi buruh.

KSPI menyatakan, dengan pengaturan ini buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap. 

Baca juga: Ketentuan PKWT dalam Perppu Cipta Kerja yang Ditolak Buruh

2. Praktik outsourcing makin luas

UU Cipta Kerja tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau outsourcing. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau terlepas dari kegiatan produksi.

Sementara itu, UU Cipta Kerja tidak memberikan batasan demikian. Akibatnya, praktik outsourcing diprediksi makin meluas.

Selain itu, dalam UU Cipta Kerja juga hanya mengatur peralihan perlindungan pekerja pada perusahaan penyedia jasa atau vendor lain. Hal ini sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 27/PUU-IX/2011.

Sementara itu, peralihan hubungan kerja dari vendor ke perusahaan pemberi kerja sebagaimana diatur UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak tercantum dalam UU Cipta Kerja.

Dengan kondisi ini peluang agar hubungan kerja pekerja outsourcing beralih ke perusahaan pemberi kerja makin kecil.

3. Waktu kerja eksploitatif

Dalam UU Cipta Kerja, batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.

Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding.

Mengingat, upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

4. Berkurangnya hak cuti dan istirahat

Dalam UU Cipta Kerja, istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan. Dengan demikian, pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam sepekan.

Apalagi, dalam UU Cipta Kerja juga buruh dapat dikenakan wajib lembur. Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghilangkan hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal selama enam tahun.

Baca juga: Apa Itu Omnibus Law Cipta Kerja, Isi, dan Dampaknya bagi Buruh?

 

5. Buruh rentan di-PHK

Buruh rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya ketika mengalami kecelakaan kerja. Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan pemutusan pemutusan hubungan kerja. 

Salah satu alasannya yakni pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.

Sementara itu, pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan buruh berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan. Namun, ketentuan ini dihapus melalui UU Cipta Kerja.

(Sumber: Kompas.com/Tsarina Maharani, Cynthia Lova, Adhyasta Dirgantara | Editor : Icha Rastika, Dian Maharani, Diamanty Meiliana)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi