Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Panglima TNI Perintahkan Bantuan Tempur Maksimal ke Papua

Baca di App
Lihat Foto
Puspen TNI
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono meminta agar kru kapal harus memperhatikan keamanan penumpang selama arus mudik lebaran Idul Fitri 1444 Hijriah. Hal itu disampaikan Yudo saat meninjau arus mudik di Mall Sosoro Dermaga Eksekutif Pelabuhan Merak, Banten, Senin (10/4/2023).
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memerintahkan bantuan tempur maksimal ke Papua.

Hal itu menyusul tewasnya prajurit TNI Satgas Yonif R 321/GT Pratu Miftahul Arifin yang ditembak Kelompok Separatis Teroris (KST) Papua.

Dilansir dari Kompas TV, Pratu Miftahul tewas ditembak usai Satgas terlibat baku tembak dengan KST di Nduga, Papua Pegunungan, Sabtu (15/4/2023).

Kontak tembak bermula ketika Satgas melakukan penyisiran dekat lokasi yang diduga tempat penyanderaan pilot Susi Air.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Usai Seorang Prajurit TNI Gugur, Panglima Terbang ke Papua Didampingi KSAD dan Pangkostrad

Upaya persuasif pembebasan pilot Susi Air

Sebelum memerintahkan mobilisasi bantuan tempur maksimal, Panglima TNI Yudo sempat enggan mengerahkan kekuatan militer ke Papua.

Menurut Yudo, TNI masih akan menggunakan cara persuasif dalam operasi pembebasan pilot Susi Air agar tidak membahayakan masyarakat.

"Saya tidak mau mengerahkan kekuatan TNI hanya untuk menyelamatkan pilot," kata Yudo dikutip dari Kompas TV, Minggu (9/4/2023) lalu.

"Kalau diserang TNI, pasti pilot akan dibunuh sama mereka. Nanti difitnah TNI yang membunuh atau Polri," sambungnya.

Tanggapan pengamat militer

Pengamat militer Khairul Fahmi mengatakan, pernyataan Panglima TNI yang awalnya enggan mengerahkan pasukan, namun kini memerintahkan bantuan tempur maksimal ke Papua bukanlah blunder. 

Khairul menilai, cara persuasif yang sempat diutarakan Yudo merupakan kebijakan yang akan ditempuh Pemerintah dan harus dijalankan.

"Namun hal itu bukan berarti Polri-TNI tidak bergerak atau pasif," kata Khairul kepada Kompas.com, Senin (17/4/2023).

"Pada saat yang sama, aparat kita tetap melakukan langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mendukung upaya penyelamatan," sambungnya.

Baca juga: Kronologi Satu Prajurit TNI Gugur Diserang KKB Saat Operasi Pencarian Pilot Susi Air

TNI perlu evaluasi

Lebih lanjut, Khairul menyampaikan bahwa tewasnya Pratu Miftahul pada Sabtu (15/4/2023) lalu merupakan insiden.

Peristiwa seperti itu, menurutnya bisa selalu terjadi di kawasan konflik seperti di Papua.

Kendati demikian, ia menilai kontak tembak yang berujung pada tewasnya prajurit TNI bukan berarti Pemerintah gagal atau harus melakukan pergantian pendekatan.

Khairul juga menyarankan supaya TNI melakukan evaluasi secara mendalam.

Tujuannya untuk mengurangi risiko sekaligus meningkatkan keamanan dan keberhasilan operasi pembebasan pilot Susi Air.

Baca juga: TNI Diserang KKB Saat Cari Pilot Susi Air di Distrik Mugi, Ada yang Gugur

 

Potensi kebocoran informasi

Di sisi lain, Khairul juga mengingatkan TNI soal potensi kebocoran informasi selama operasi pembebasan pilot Susi Air.

Kebocoran informasi, menurut Khairul dapat menyebabkan kerugian dan kondisi fatal bagi prajurit yang tergabung dalam Satgas.

"Saya kira perlu ada evaluasi dan pembenahan. Selain soal kompetensi, juga menyangkut kehati-hatian maupun kerahasiaan," imbuhnya.

Dalam hal ini, ia juga meminta publik untuk memahami keputusan TNI jika mereka menjaga kerahasiaan informasi agar operasi pembebasan pilot Susi Air berjalan lancar.

Sebab, ada risiko keamanan dan kegagalan misi, temasuk potensi mengganggu proses dialog dan negosiasi yang sedang berjalan.

"Saya kira publik perlu memahami bahwa tidak bicara bukanlah berarti tidak bergerak," jelasnya.

Baca juga: Pesawat Asian One Ditembaki KKB, TNI dan Polri Tetapkan Siaga Satu di Beoga Papua

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi