KOMPAS.com - Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memerintahkan bantuan tempur maksimal ke Papua.
Hal itu menyusul tewasnya prajurit TNI Satgas Yonif R 321/GT Pratu Miftahul Arifin yang ditembak Kelompok Separatis Teroris (KST) Papua.
Dilansir dari Kompas TV, Pratu Miftahul tewas ditembak usai Satgas terlibat baku tembak dengan KST di Nduga, Papua Pegunungan, Sabtu (15/4/2023).
Kontak tembak bermula ketika Satgas melakukan penyisiran dekat lokasi yang diduga tempat penyanderaan pilot Susi Air.
Baca juga: Usai Seorang Prajurit TNI Gugur, Panglima Terbang ke Papua Didampingi KSAD dan Pangkostrad
Upaya persuasif pembebasan pilot Susi Air
Sebelum memerintahkan mobilisasi bantuan tempur maksimal, Panglima TNI Yudo sempat enggan mengerahkan kekuatan militer ke Papua.
Menurut Yudo, TNI masih akan menggunakan cara persuasif dalam operasi pembebasan pilot Susi Air agar tidak membahayakan masyarakat.
"Saya tidak mau mengerahkan kekuatan TNI hanya untuk menyelamatkan pilot," kata Yudo dikutip dari Kompas TV, Minggu (9/4/2023) lalu.
"Kalau diserang TNI, pasti pilot akan dibunuh sama mereka. Nanti difitnah TNI yang membunuh atau Polri," sambungnya.
Tanggapan pengamat militer
Pengamat militer Khairul Fahmi mengatakan, pernyataan Panglima TNI yang awalnya enggan mengerahkan pasukan, namun kini memerintahkan bantuan tempur maksimal ke Papua bukanlah blunder.
Khairul menilai, cara persuasif yang sempat diutarakan Yudo merupakan kebijakan yang akan ditempuh Pemerintah dan harus dijalankan.
"Namun hal itu bukan berarti Polri-TNI tidak bergerak atau pasif," kata Khairul kepada Kompas.com, Senin (17/4/2023).
"Pada saat yang sama, aparat kita tetap melakukan langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mendukung upaya penyelamatan," sambungnya.
Baca juga: Kronologi Satu Prajurit TNI Gugur Diserang KKB Saat Operasi Pencarian Pilot Susi Air
TNI perlu evaluasi
Lebih lanjut, Khairul menyampaikan bahwa tewasnya Pratu Miftahul pada Sabtu (15/4/2023) lalu merupakan insiden.
Peristiwa seperti itu, menurutnya bisa selalu terjadi di kawasan konflik seperti di Papua.
Kendati demikian, ia menilai kontak tembak yang berujung pada tewasnya prajurit TNI bukan berarti Pemerintah gagal atau harus melakukan pergantian pendekatan.
Khairul juga menyarankan supaya TNI melakukan evaluasi secara mendalam.
Tujuannya untuk mengurangi risiko sekaligus meningkatkan keamanan dan keberhasilan operasi pembebasan pilot Susi Air.
Baca juga: TNI Diserang KKB Saat Cari Pilot Susi Air di Distrik Mugi, Ada yang Gugur
Potensi kebocoran informasi
Di sisi lain, Khairul juga mengingatkan TNI soal potensi kebocoran informasi selama operasi pembebasan pilot Susi Air.
Kebocoran informasi, menurut Khairul dapat menyebabkan kerugian dan kondisi fatal bagi prajurit yang tergabung dalam Satgas.
"Saya kira perlu ada evaluasi dan pembenahan. Selain soal kompetensi, juga menyangkut kehati-hatian maupun kerahasiaan," imbuhnya.
Dalam hal ini, ia juga meminta publik untuk memahami keputusan TNI jika mereka menjaga kerahasiaan informasi agar operasi pembebasan pilot Susi Air berjalan lancar.
Sebab, ada risiko keamanan dan kegagalan misi, temasuk potensi mengganggu proses dialog dan negosiasi yang sedang berjalan.
"Saya kira publik perlu memahami bahwa tidak bicara bukanlah berarti tidak bergerak," jelasnya.
Baca juga: Pesawat Asian One Ditembaki KKB, TNI dan Polri Tetapkan Siaga Satu di Beoga Papua
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.