Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Gonjang-Ganjing Semesta Media Kontemporer

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi Buzzer.
Editor: Egidius Patnistik

SAYA bukan jurnalis atau pemilik media. Saya hanya seorang rakyat jelata yang sedang belajar menulis, termasuk menulis naskah sederhana yang sedang Anda baca ini.

Namun, saya beruntung punya banyak teman jurnalis profesional sampai pemimpin redaksi yang cukup banyak tahu tentang gonjang-ganjing semesta media kontemporer.

Sudah menjadi rahasia umum, jadi sebenarnya sudah bukan rahasia lagi, bahwa di panggung media masa kini tampil jenis jurnalis gaya baru era kontemporer, yaitu mereka yang disebut buzzer dan/atau influenzer.

Buzzer dan/atau influenzer terbagi menjadi dua jenis yaitu jenis freelancer yang menulis berdasar suara sanubari diri sendiri tanpa berbayar dan jenis yang menulis berdasar pesanan yang membayar tulisan mereka.

Baca juga: Perludem Soroti Ruang Gelap Dana Kampanye Peserta Pemilu jika Sewa Buzzer

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bayaran seorang buzzer berbayar konon jauh lebih tinggi ketimbang gajih seorang pemimpin redaksi, tergantung kehendak dari pihak pembayar berdasar kebutuhan masing-masing.

Di masa pemilu penghasilan seorang buzzer berbayar lazimnya semakin tinggi. Malah ada buzzer yang menjadi mahakayaraya berkat berkarya sebagai double bahkan triple agent yang menulis sekaligus untuk tiga caleg (calon legislatif), cakada (calon kepada daerah), capres (calon presiden) yang sedang bersaing untuk memenangkan pemilu.

Menurut seorang teman saya yang jurnalis senior, para buzzer berbayar memiliki akun-akun dengan peralatan kecerdasan artifisial super canggih yang selama ini mendominasi alam semesta media sosial. Mereka bekerja seperti robot dalam sebuah super komputer yang supra mandraguna.

Sayangnya, media yang kini sudah berubah menjadi media internet, tak berdaya menghadapi hal ini. Karena harus mengejar profit, terpaksa media massa tunduk pada apa yang ada di media sosial.

Media tak bisa lagi membawa misi secara sepenuhnya berbeda dengan dahulu ketika masih menggunakan kertas (media cetak). Kenyataan kemelut informasi masa kini jauh lebih mengerikan ketimbang yang dibayangkan George Orwell di dalam mahakarya distopia 1984.

Jika sekarang ada yang mau menghancurkan negara dan masyarakat, memang jalan terbaik adalah melalui media sosial. Di masa kini isu media di media sosial memaksa media mainstream untuk mengikutinya, meski kerapkali itu hanya penyesatan dan pengalihan isu belaka.

Baca juga: Minta Pilpres 2024 Tak Diwarnai Perpecahan, Gerindra: Buzzer Jangan Jelekkan Orang Lain

Teman saya berkisah tentang sebuah aplikasi yang bisa disewa dengan harga Rp 200 juta per bulan. Dengan berbekal aplikasi fantastis tersebut, konon, sang pengguna dapat mengetahui isu apapun yang sedang menjadi perhatian media dalam setiap detiknya di mana para wartawan terpaksa mengikuti alogritma di medsos ini.

Itu berarti, semesta media masa kini benar-benar terpaksa basah-kuyup dengan media sosial.

Segenap gejala gonjang-ganjing yang terjadi pada kenyataan semesta jurnalisme masa kini pada hakikatnya membenarkan hasil penelitian Prof John Perlof. Perlof  menyatakan bahwa dengan beralihnya media ke sistem baru yang meninggalkan era konvensional maka media bukan semakin mandiri. Media malah semakin mudah diintervensi untuk direkayasa oleh mereka yang menguasai informasi dan dana sehingga bisa menjadi maha tahu seolah setara dengan Yang Maha Tahu.

Besar harapan saya, segenap kekhawatiran saya terhadap distopia gonjang-ganjing semesta media kontemporer sekedar ungkapan paranodial berlebihan seorang awam media yang bergaya much ado about nothing. Jadi, saya tetap berharap hal itu mustahil menjadi kenyataan pada kenyataan semesta media masa depan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi