Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 9 Mar 2022

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Demokrasi Gagal Lindungi Lingkungan Hidup

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/Reinhard Tiburzy
Ilustrasi perubahan iklim dari emisi karbon dapat menjadi pandemi baru bagi penduduk dunia.
Editor: Egidius Patnistik

PRESIDEN Amerika Serikat (AS), Joseph R Biden, merilis pesan kepada para lulusan Naval Academy 2022 AS, pada 27 Mei 2022 di Navy-Marine Corps Memorial Stadium, Annapolis, Maryland, agar mereka menjadi defenders of democracy atau pengawal demokrasi.

Biden juga mengutip pesan ucapan-selamat Sekjen Partai Komunis Tiongkok, Xi Jinping, akhir November 2020 usai Biden menang dalam Pilpres AS: “He (Xi Jinping, red.) said democracies cannot be sustained in the 21st century, autocracies will run the world. Why? Things are changing so rapidly. Democracies require consensus, and it takes time, and you don't have the time.” 

Jadi, abad 21, otokrasi bakal memimpin dunia. Demokrasi bertele-tele melalui proses musyawarah; demokrasi tidak siap antisipasi krisis-krisis abad 21 skala global dan nasional. Begitu pesan Xi Jinping kepada Biden.

Baca juga: Investor Politik Jelmaan Oligarki

Istilah dan konsep demokrasi lahir di Athena (Yunani) abad 5 SM yang bermakna “pemerintahan oleh rakyat” dan bertolak-belakang dengan aristokrasi yang bermakna “pemerintahan oleh elite atau segelintir orang’. (Wilson, 2006:511).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa yang kita saksikan dan alami akhir-akhir ini? Riset empirik Jahanger et al (2021) pada 74 negara menyebut dampak otokrasi dan demokrasi terhadap emisi karbon-dioksida (CO2) tahun 1990-2016.

Otokrasi misalnya oligarki meningkatkan emisi CO2. Kritik lebih pedas datang dari pemikir Italia, Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca. Mereka mengatakan, demokrasi saat ini cuma ilusi dan berisi manipulasi. Sebab busa-busa demokrasi hanya berfungsi ‘menutup’ kenyataan: pemerintahan oleh segelintir orang (oligarkhi-elite atau otokrasi). 

Kita baca riset Profesor Martin Gilens et al (2014: 564–581) asal Princeton University (AS) tentang 1.779 keputusan Pemerintah Federal AS. Kesimpulannya menyatakan, “Elites and organized groups representing business interests have substantial independent impacts on U.S. government policy, while average citizens and mass-based interest groups have little or no independent influence.”

Jadi, segelintir orang mengendalikan demokrasi AS selama ini. Risikonya ialah demokrasi dimanipulasi oleh segelintir orang (elite-oligarki) bukan untuk melayani hak-hak dasar dan hak lingkungan-hidup rakyat, tetapi kepentingan kelompok.

Baca juga: Ketidaksempurnaan Ekonomi Pasar dan Oligarki Pemburu Rente

Kini India dan Tiongkok mencatat kemajuan ekonomi super pesat. India menerapkan demokrasi multi-partai. Tiongkok menerapkan satu-partai. Kedua negara ini adalah pelepas emisi karbon terbesar dunia.

KTT COP26 Glasgow (Inggris) tahun 2021, misalnya, menyebut Tiongkok mengisi 28 persen emisi CO2 dan India mengisi 7 persen dari total emisi CO2 dunia. Tiongkok melepas 1,6 miliar ton CO2 tahun 2012 untuk memproduksi barang ekspor.

Demokrasi Gagal

Sejak tahun 2000, menurut riset empirik Hanel et al (2018), negara-negara Eropa dilanda kekeringan parah, gelombang panas, lonjakan suhu, curah hujan berkurang, lahan pertanian kering, dan musim panas berbulan-bulan. Ini adalah tanda-tanda alam zona Eropa 250 tahun terakhir.

Demokrasi liberal dengan ideologi individualisme dan kapitalisme fosil Eropa selama ini, gagal mencegah dan meredam kerusakan dan kehancuran ekosistem.

Komisi Eropa merilis kajian kekeringan Eropa pada Agustus 2022. Defisit curah hujan parah memengaruhi debit sungai secara luas di seluruh Eropa; berkurangnya volume air tersimpan, telah berdampak parah pada sektor energi pembangkit listrik tenaga air maupun sistem pendingin pembangkit listrik lainnya. Kelembaban tanah dan stres vegetasi sangat terpengaruh.

Kekeringan meningkat di Italia, Spanyol, Portugal, Prancis, Jerman, Belanda, Belgia, Luksemburg, Rumania, Hongaria, Serbia utara, Ukraina, Moldova, Irlandia, dan Inggris Raya. (European Commission, 2022)

Sergio M Vicente-Serrano et al (2022) merilis kajian tentang tren kekeringan global selama 120 tahun terakhir. Vicente-Serrano asal Instituto Pirenaico de Ecologia, Consejo Superior de Investigaciones Cientificas (IPE-CSIC), Zaragoza (Spanyol) berkolaborasi dengan tujuh peneliti-ahli bidang meterologi, hidrologi, ekologi dan pertanian asal Mesir, Spanyol, dan Prancis. Riset ahli-ahli itu menyebut bahwa kekeringan pertanian dan ekologi akhir-akhir ini meningkat parah di berbagai zona dunia.

Di sisi lain, sejak 1962, hampir ¾ undang-undang dasar (UUD) di seluruh dunia menetapkan ketentuan hak dan tanggungjawab lingkungan hidup yang sehat, bersih dan aman, dan memasukkan hak-hak konstitusional lingkungan ke dalam undang-undang (UU), regulasi, dan peraturan daerah.

Awal abad 21, kita baca data 360 pengadilan dan tribunal lingkungan pada 42 negara (Pring et al, 2010: 12) untuk menyelesaikan sangketa-sangketa lingkungan khususnya lahan, air, hutan, dan sumber daya alam di berbagai negara.

Namun, dua dekade awal abad 21 menunjukkan lonjakan kemerosotan daya-sangga lingkungan hidup, perubahan iklim, pemanasan global dan ledakan pertumbuhan penduduk. Tren degradasi lingkungan dan sustainabilitas lingkungan sangat menentukan masa depan lapangan kerja, kegiatan ekonomi, dan survival manusia di berbagai negara.

Kegiatan ekonomi dan lapangan kerja banyak negara bergantung pada ekstraksi sumber-sumber daya alam. Misalnya, kira-kira 10 persen produk domestik bruto (PDB) dari 40 negara, dipasok dari sumber daya alam (World Bank, 2017).

Tahun 2014, sekitar 1,2 miliar lapangan kerja atau 40 persen lapangan kerja dunia terserap pada industri-industri yang sangat bergantung pada ekstraksi sumber-sumber alam.

Dewasa ini, penduduk dunia menggunakan sumber daya dan memproduksi sampah 1,7 kali lebih besar dari kemampuan regenerasi dan daya-serap planet Bumi (Global Footprint Network, 2017). Demokrasi lamban antisipasi atau cegah berbagai krisis ini.

Demokrasi Lingkungan

Roy Morrison merilis buku berjudul Ecological Democracy tahun 1995. Buku ini mengurai tren demokrasi-demokrasi lingkungan yang lahir dari masyarakat lingkungan-hidup (ecological society), misalnya sistem Mondragon Cooperative di Spanyol, Seikatsu Cooperative Clubs di Jepang, dan Coop Atlantic di Kanada.

Morrison membayangkan masyarakat-masyarakat ekologis di berbagai negara berpartisipasi dalam proses demokrasi. Targetnya ialah kontrol masyarakat pada koperasi, keuangan, transisi sistem energi, demiliterisasi, dan lain-lain. Dari sini bakal lahir benih dan embrio demokrasi-lingkungan.

Profesor Randolph T Hester dari University of California, Berkeley (AS) merilis buku Design for Ecological Democracy tahun 2010. Hester tidak mendefinisi demokrasi-lingkungan, kecuali menyebut bahwa demokrasi-lingkungan adalah sinergi kekuatan ilmu-ilmu lingkungan-hidup dan demokrasi-partisipatif, misalnya tata-kelola lingkungan kota-kota.

Demokrasi mestinya memanfaatkan momentum revolusi hak-hak lingkungan rakyat awal abad 21 dan pertumbuhan sistem peradilan lingkungan (environmental courts and tribunals) pada berbagai negara.

Baca juga: Laporan Tahunan Komnas HAM, Demokrasi Indonesia Alami Kemunduran di Era Jokowi

Demokrasi lingkungan hanya dapat lahir-tumbuh ketika hak-hak dasar rakyat bidang lingkungan hidup diakui, dijamin, dan dilindung oleh hukum dan pemerintahan.

Romand Coles (2016) dalam bukunya Radical and Ecological Democracy in Neoliberal Times, menulis, “As neoliberal capitalism destroys democracy, commonwealth, and planetary ecology, the need for radically rethinking and generating transformative responses to these catastrophes is greater than ever.” Jadi, kapitalisme fosil dan ideologi neo-liberal merusak demokrasi, kemakmuran bersama, dan ekologi planet Bumi.

Kini banyak negara telah mengakui, menjamin, dan melindung hak lingkungan. Indonesia memasukkan hak dan tanggungjawab lingkungan ke dalam konstitusi.

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menetapkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menetapkan : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Pemerintah Indonesia juga mengesahkan sejumlah konvensi, protokol, dan kesepakatan multi-lateral tentang lingkungan, misalnya konvensi Stockholm tentang polutan organik (UU No. 19/2009), kesepakatan multilateral konservasi dan tatakelola ikan beruaya (UU No. 21/2009), pelarangan uji-coba nuklir (UU No. 1/2012), konvensi Rotterdam tentang bahan kimia dan pestisida berbahaya dalam perdagangan antar-negara (UU No. 10/2013), protokol Nagoya (UU No. 11/2013), asap lintas-batas ASEAN (UU No. 26/2014), Paris Agreement tentang Climate Change (UU No. 16/2016), dan konvensi Minamata tentang merkuri (UU No. 11/2017).

Penerapan peraturan-peraturan itu tentu saja melindungi nilai daya-dukung ekosistem menyediakan jasa-jasa sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Degradasi lingkungan membatasi daya-dukung ekosistem dan merapuhkan ekonomi (Kumar, 2010) dan memicu risiko lapangan kerja pada ekstraksi sumber daya alam dan daya-dukung lingkungan, misalnya perikanan, kehutanan, dan pertanian. 

Demokrasi harus taat-hukum (law abiding democracy) guna mengakui, menjamin, dan melindung hak-hak dasar rakyat khususnya lingkungan-hidup, bukan melayani beragam kepentingan oligarki-elite atau segelintir orang.

Tanpa penerapan prinsip-prinsip negara-hukum lingkungan-hidup, ketentuan UUD 1945 dan peraturan pelaksanaannya berisiko tidak efektif melindungi hak-hak lingkungan rakyat. Kita baca kesimpulan riset Johnston (2001:2-) : “Without the rule of law, there can be neither sustainable development nor environmental quality adequate for healthful living conditions.”

Kita baca pidato Soekarno, anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Juni 1945 di Jakarta: “Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?”

“Prinsip pertama, kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia….Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari Bumi yang ada di bawah kakinya,” papar Soekarno.

Ukuran kegagalan praktek demokrasi (kerakyatan) kita selama ini ialah jika memisahkan rakyat dari Bumi yang ada di bawah kakinya sebagai suatu sistem bernyawa (segenap bangsa dan tanah tumpah-darah).

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi