Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Peneliti PARA Syndicate
Bergabung sejak: 12 Apr 2023

Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.

Membentuk Pemerintahan yang Proaktif dan Responsif

Baca di App
Lihat Foto
tribunlampung/soma Ferrer
Gubernur Lampung Arinal Djunaidi sebut Demi Tuhan saat membantah kabar lakukan intimidasi keluarga Tiktoker asal Lampung Timur, Bima.
Editor: Egidius Patnistik

SERING kita dengar ujaran "tunggu viral dahulu, baru bekerja atau keluarkan kebijakan”. Hal itu tampaknya menjadi fenomena lazim dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, khususnya di lembaga negara seperti kepolisian, kejaksaan, dan kementerian.

Fenomena itu dikenal dengan sebuatan pemerintahan yang reaktif. Kebijakan dilakukan setelah sesuatu menjadi viral atau mendapat sorotan besar publik. Fenomena pemerintahan reaktif seperti itu menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan penegakan, baik penyelenggaran negara maupun hukum di Indonesia, yang masih membutuhkan perbaikan terutama terkait akuntabilitas dan integritas pejabat publik.

Kebijakan yang dikeluarkan, setelah sesuatu menjadi viral, tak dapat menyelesaikan sumber masalah yang dihadapi. Kebijakan itu hanya seperti obat pereda sakit, bukan untuk menyembuhkan sakit.

Pemerintahan Reaktif, Contoh Kasus

Salah satu contoh terkait ini adalah kasus dugaan korupsi oleh Rafael Alun Trisambodo (RAT). Btapa lambatnya respons pemerintah dalam mendeteksi dan menangani kasus dugaan korupsi hingga kasus tersebut menjadi viral dan mendapat perhatian luas masyarakat.

RAT merupakan mantan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Setelah keberadaan harta kekayaan tak wajarnya viral di media sosial dan mendapat perhatian luas masyarakat, pemerintah baru mulai menunjukkan respons yang lebih serius dan melakukan penyelidikan yang lebih intensif.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: KPK Masih Dalami Keterlibatan Istri dan 2 Anak Rafael Alun dalam kasus Gratifikasi

Contoh lain adalah penanganan kasus-kasus kriminal seperti pencurian dan pemerkosaan yang sering sekali dikeluhkan warga di media sosial. Warga bahkan mengkampanyekan tagar #percumalaporpolisi pada 2021. Hal itu dilakukan karena tidak acuhnya dan tidak tanggapnya polisi dalam mengusut dan menegakkan hukum.

Masyarakat merasa lebih yakin bila kasusnya terlebih dahulu dibagikan di media sosial ketimbang dilaporkan ke polisi. Namun, melempar keluhan ke media sosial kadang-kadang tidak membuat masalah selesai, malah justru menciptakan persoalan baru. 

Saat ini, masih terdapat kasus kritikus atau aktivis yang melakukan kritik terhadap pemerintah di media sosial atau di tempat lain justru dilaporkan ke polisi atau diintimidasi. Contohnya yang dialami tiktoker Bima yang mengkritik kondisi Provinsi Lampung. Bima jusru dilaporkan ke polisi dan keluarganya dipanggil Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi.

Baca juga: Buntut Kasus TikToker Bima di Lampung, Mahfud Pesan ke Pejabat dan ASN agar Tidak Seenaknya

Tindakan seperti itu tentu saja menimbulkan keresahan dan merusak kebebasan berekspresi.  Kebebasan berekspresi dan hak untuk menyampaikan pendapat dijamin oleh konstitusi Indonesia.

Seharusnya, pemerintah dan aparat keamanan menjunjung tinggi hak-hak tersebut, tidak justru menyalahgunakan kewenangannya untuk mengintimidasi atau membatasi kebebasan berekspresi dan hak menyampaikan pendapat warga. Seharusnya, pemerintah dan pejabat publik menerima kritik dengan lapang dada dan menggunakannya sebagai bahan evaluasi dan perbaikan diri.

Kritik konstruktif dapat membantu pemerintah meningkatkan kualitas dan efektivitas kebijakan dan program pemerintah, sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.

Bukan Reaktif tetapi Proaktif

 

Salah satu cara untuk menghindari fenomena pemerintahan reaktif adalah dengan meningkatkan kualitas pengawasan dan penegakan hukum. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat peran dan kewenangan lembaga negara seperti KPK, kepolisian, dan kejaksaan dalam menangani kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Sistem pengadilan yang independen dan adil juga harus dijaga dan diperkuat. Pemberian sanksi yang tegas terhadap pejabat publik yang melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan sangat penting untuk memberikan efek jera dan mencegah terulangnya tindakan yang sama di masa depan.

Baca juga: Polda Lampung Hentikan Kasus Tiktoker Bima, Ini Respons Keluarga

Selain itu, pemberian reward atau penghargaan terhadap pejabat publik yang berhasil menunjukkan kinerja baik dapat menjadi insentif untuk meningkatkan integritas dan kinerja mereka. Namun, langkah-langkah tersebut tidak akan cukup jika masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengawasan dan penegakan hukum.

Partisipasi dan aksi kolektif masyarakat sangat penting dalam memberikan tekanan kepada pejabat publik untuk bertanggung jawab dan memperbaiki kinerja. Tindakan seperti unjuk rasa, kampanye, dan aksi sosial lainnya dapat menjadi sarana untuk memperlihatkan keberpihakan masyarakat terhadap tindakan pemerintah dan menjadi dorongan bagi pejabat publik untuk bertindak dengan baik.

Dalam hal ini, masyarakat juga harus diberikan kebebasan untuk memberikan kritik dan masukan terhadap kinerja pemerintah, tanpa harus takut atau terintimidasi. Dengan begitu, tercipta suasana yang kondusif dan partisipatif dalam proses pembangunan, dan pemerintah dapat memperbaiki diri dengan lebih efektif dan responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Namun, perbaikan dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum saja tidak cukup untuk mengatasi fenomena pemerintahan reaktif. Diperlukan perubahan paradigma dari pemerintahan reaktif menjadi pemerintahan pro-aktif, yaitu kebijakan yang proaktif dalam menangani masalah sebelum menjadi besar dan merugikan masyarakat.

Pemerintah dan lembaga negara harus memperkuat sistem pengawasan dan pemantauan secara berkala, sehingga masalah dapat terdeteksi secara dini dan dapat diatasi sebelum menjadi besar dan merugikan masyarakat.

Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat peran dan kewenangan lembaga-lembaga seperti BPK, Ombudsman, dan LPSK dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja lembaga negara dan penegakan hukum.

Selain itu, perlu dilakukan penguatan pada sistem pengaduan publik yang dapat diakses oleh masyarakat secara mudah dan transparan, serta direspons dengan cepat dan serius oleh pemerintah dan lembaga negara terkait. Hal ini akan memudahkan masyarakat untuk melaporkan masalah yang terjadi di lingkungan sekitar mereka, dan memberikan tekanan kepada pemerintah dan lembaga negara untuk bertindak proaktif.

Pemerintah dan lembaga negara juga perlu memperkuat keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan program pemerintah. Keterlibatan masyarakat akan memudahkan pemerintah memahami kebutuhan dan aspirasi masyarakat, sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat lebih efektif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Terakhir, untuk mengubah paradigma dari pemerintahan reaktif menjadi pemerintahan pro- aktif diperlukan komitmen dan kesadaran dari pemerintah, lembaga negara, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam menciptakan tata kelola yang baik dan responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Hal itu akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga negara, serta menciptakan kondisi yang kondusif bagi pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif di Indonesia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi