Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada
Bergabung sejak: 7 Feb 2022

Teddy Minahasa vs Jaksa: Ahli Memihak Siapa?

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO
Terdakwa kasus peredaran narkotika jenis sabu Irjen Teddy Minahasa usai menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (30/3/2023). Jaksa penuntut umum menuntut hukuman mati pada Teddy Minahasa.
Editor: Egidius Patnistik

SEBUTAN itu, terus terang, terasa mengganggu: Saksi ahli yang meringankan. Tidak hanya masyarakat awam, sebagian kalangan pers dari media arus utama pun keliru dalam menggunakan istilah. Begitu pula praktisi hukum.

Konsekuensinya, bertebaran pandangan apriori tanpa substansi dari khalayak luas. Pandangan apriori itu adalah si saksi ahli meringankan pasti dibayar terdakwa. Si saksi ahli meringankan pasti menguntungkan terdakwa dan merugikan jaksa.

Meluruskan Tiga Hal

 

Saya mencoba luruskan tiga hal saja. Pertama, sebutan yang berlaku adalah ‘ahli’. Titik. Tanpa embel-embel ‘saksi’.

Saksi dan ahli beda kedudukan dan beda misi. Saksi melihat, mendengar, membaui, dan mengalami langsung. Saksi merupakan bagian inheren dengan peristiwa pidana yang tengah disidang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Nestapa Teddy Minahasa: Jaksa Tolak Pleidoinya dan Minta Hakim Vonis Hukuman Mati

Ahli berada di luar situasi tersebut. Ahli tidak berada di tempat kejadian perkara. Namun berkat khazanah keilmuan yang dimilikinya, ahli dihadirkan guna ditanyai perspektifnya tentang peristiwa pidana dimaksud.

Kedua, ahli dibayar. Hal itu tidak salah. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) memuat ketentuan bahwa ahli berhak mendapat penggantian biaya (Pasal 229 ayat 1). Besarannya tidak ditentukan. Belum ada aturan main yang mengatur standar tentang hal tersebut.

Jadi, penggantian biaya ahli bisa beragam, mulai dari nol rupiah hingga tanpa batas. Bisa berupa fulus, bisa pula berbentuk ucapan terima kasih tulus.

Ketiga, keberpihakan ahli. Mengapa ahli dihadirkan? Karena kejadian pidana dinilai pelik. Tidak cukup ditinjau dari kacamata ilmu hukum semata. Betapa pun ahli dihadirkan oleh, misalnya, penasehat hukum, bukan berarti dia lantas membabi buta menjadi pembela terdakwa.

Begitu pula manakala ahli didatangkan jaksa, tetap saja ahli tidak beralih paras sebagai algojo terhadap terdakwa. Tugas ahli “enteng-enteng” saja: jawab pertanyaan sesuai pengetahuannya. Kalau tidak tahu, jawab saja tidak tahu. Beres.

Kendati itu bisa saja mendatangkan perasaan risau, karena ketidaktahuan membuat kredibilitas ahli dipertaruhkan.

 

Kasus Teddy Minahasa

Pengalaman saya sebagai ahli masih amat-sangat terbatas. Dari keterbatasan itu, saya melalui pelajaran penting, yaitu bahwa yang paling membebani bukan tuntutan untuk dapat menghidangkan perspektif keilmuan kepada pihak yang bertanya di ruang sidang.

Gangguan terbesar di hati adalah membebaskan diri dari “keharusan” untuk menguntungkan pihak yang mendatangkan atau mengundang saya ke persidangan. Begitu perasaan bebas itu berhasil dimunculkan, langkah masuk ke ruang sidang menjadi lebih ringan. Sembilan puluh persen beban mental seketika hilang.

Baca juga: Jaksa Dinilai Tak Mampu Membuktikan Kasus Narkoba, Pengacara Optimistis Teddy Minahasa Bebas

Sebutan ‘saksi ahli yang meringankan’ semakin tidak tepat ketika dibandingkan keterangan saya di persidangan dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus terkait narkoba yang menjerat Teddy Minahasa. Salah satu hal yang ditanyakan di ruang sidang dalam kasus itu adalah ihwal cuplikan chat Whatsapp antara Teddy Minahasa (TM) dan Dody Prawiranegara (DP). Keduanya polisi dan menjadi terdakwa dalam kasus tersebut.

Pada cuplikan chat itu, pesan Teddy yang ketika itu menjadi Kapolda Sumatera Barat berpangkat Inspektur Jenderal berbunyi, kurang lebih, tukar sabu-sabu dengan tawas sebagai bonus bagi anggota. Di bawah pesan itu, terdapat jawaban Dody yang saat itu merupakan Kapolres Bukittinggi berpangkat AKBP. Jawaban Dody adalah ia tidak berani melakukan titah Teddy.

Di persidangan saya berpendapat, karena pesan Teddy memuat emoji tertawa, dan ditolak Dody juga dengan emoji tertawa, maka mereka berdua tidak sungguh-sungguh berada dalam konteks komunikasi perintah atasan kepada bawahan.

Di dalam pesan balasannya, Dody telah eksplisit menolak melakukan penukaran sabu-sabu dengan tawas. Karena Dody menolak, maka tidak terjadi penukaran sabu-sabu dengan tawas.

Kedua, ini sangat penting, di dalam naskah tuntutannya terhadap Teddy, JPU mencoret kalimat ‘mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang...’.

Saat membacakan tuntutannya, JPU sama sekali tidak menyebut frasa yang mereka coret itu. Karena itu, tuntutan terhadap Teddy berbunyi, “Menyatakan terdakwa TEDDY MINAHASA PUTRA bin H. ABU BAKAR (Alm) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana [frasa yang dicoret] turut serta melakukan secara tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, menjadi perantara dalam jual beli, menukar dan menyerahkan narkotika golongan I bukan tanaman, yang beratnya lebih dari 3 (tiga gram).”

Dari situ saya tafsirkan bahwa pandangan JPU sama dengan keterangan saya selaku ahli di persidangan, yakni Teddy tidak memberikan perintah kepada Dody untuk menukar sabu-sabu dengan tawas. Atau, dalam kalimat saya di hadapan majelis hakim, isi pesan Whatsapp Teddy kepada Dody tidak bisa dimaknai secara absolut sebagai perintah salah atau perintah jahat.

Teddy tidak bisa disimpulkan sebagai orang atau pimpinan yang memiliki niat jahat (criminal intent) memperalat bawahannya.

Baca juga: Kala Jaksa Sebut Prestasi Teddy Minahasa Sia-sia lalu Minta Hakim Vonis Mati...

Tuntutan JPU itu mendekonstruksi pandangan yang kadung mencap Teddy sebagai titik awal kasus itu. JPU akhirnya bisa memahami bahwa klaim Dody tentang “perintah jahat dari atasan yang sangat berkuasa dan tidak sanggup dia elakkan” adalah dramatisasi belaka.

Hal itu merupakan klaim Dody semata untuk mengalihkan tanggung jawab pidana dari dirinya. Dalam istilah psikologi forensik, Superior Order Defence (SOD) yang Dody angkat ternyata tidak meyakinkan JPU.

Karena SOD tertolak, maka tersedia alasan untuk menduga bahwa Dody-lah, bukan Teddy, yang menjadi aktor utama dalam perkara memalukan itu.

Kembali ke pokok soal: benarkah saya, selaku ahli, meringankan terdakwa dan merugikan jaksa? Perspektif psikologi forensik yang saya paparkan tampaknya menguntungkan terdakwa.

Namun tidak berarti bahwa perspektif yang sama niscaya merugikan jaksa. Ahli sekedar memberikan bingkai teori dan formula yang bisa diterapkan oleh semua pihak.

Apakah hasil penerapan itu akan menguntungkan atau justru merugikan, sepenuhnya kembali pada kesesuaiannya dengan fakta situasi dan penilaian masing-masing pihak, baik penasehat hukum terdakwa, jaksa penuntut umum, maupun majelis hakim.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi