Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dosen FIKOM UMN
Bergabung sejak: 18 Jul 2017

Pengajar di FIKOM Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan praktisi kehumasan.

Perilaku Aparat di Ruang Publik dan Peran Media Sosial

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/DOK. Twitter
Kolase foto bidik layar unggahan akun Twitter terkait sipir penjara yang melakukan flexing di media sosial.
Editor: Egidius Patnistik

SAAT ini perilaku serta gerak-gerik aparatur pemerintah boleh jadi tidak luput dari sorotan gawai publik. Seiring perkembangan teknologi informasi yang pesat, media sosial mengambil peran dalam mengabarkan dan mengadovaksi kepentingan publik.

Atas dasar itu, relasi antara warga, aparatur dan institusi pemerintah berkembang dinamis, tidak statis atau linier seperti di masa lalu. Laporan peristiwa tak elok yang viral yang melibatkan aparatur pemerintah datang silih berganti, bertumpuk menjadi persepi negatif dan reputasi buruk.

Terbukalah kasus flexing pejabat pajak yang di awali perilaku kenakalan putranya, kemudian unggahan tiktoker yang kritis terhadap kondisi infrastruktur di Provinsi Lampung, keterlambatan pelaksanaan Salat Idul Fitri yang disebabkan keterlambatan Wali Kota Jambi dan Gubernur Sumatra Selatan.

Ada lagi peneliti BRIN melakukan ancaman terhadap warga Muhammadiyah. Kasus terkini, aksi aparat TNI menendang sepeda motor seorang ibu yang sedang membonceng anak.

Baca juga: Viral Curhatan Warganet Soal Gubernur Sumsel Datang Shalat Id Terlambat, Ribuan Warga Palembang Menunggu Berjam-jam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sangat mungkin peristiwa seperti beberapa kasus di atas pernah terjadi di masa lalu. Namun karena belum ada sarana informasi dan media sosial seperti saat ini, maka informasi menjadi lebih terbatas dan relatif mudah dikendalikan.

Kini kasus personal aparat tidak bisa dilepaskan di mana mereka berada, hingga pada akhirnya memaksa institusi mengambil peran dalam penyelesaian masalah.

Atas kondisi tersebut, bentuk respon beragam dari setiap institusi, mulai dari sanksi internal hingga memberikan klarifikasi kepada pihak eksternal.

Media sosial telah memainkan peran penting dalam melakukan fungsi kontrol terhadap  aparatur pemerintah dan pembuatan kebijakan publik, bahkan dalam berapa sisi, berhasil mengalahkan peran lembaga formal seperti parlemen atau media massa.

Jika satu peristiwa sudah viral, aparatur pemerintah bisa di-‘rujak’ masal oleh warganet. Apalagi jika dalam prosesnya ada relasi kuasa superior dan inferior, situasi akan berkembang lebih dramatis, membetot perhatian publik (high exposure) dan bisa mendorong hadir kebijakan publik baru.

Contoh kebijakan yang hadir akibat isu yang berkembang adalah ketika Presiden Joko Widodo melarang kegiatan buka puasa bersama di kalangan pejabat dan aparatur sipil negara (ASN) selama Ramadhan 1444 Hijriah. Salah satu alasannya, para pejabat pemerintah dan ASN sedang mendapat sorotan tajam dari masyarakat karena banyak oknum pejabat yang kerap pamer kekayaan dan hidup mewah.

Baca juga: Larangan Buka Puasa Bersama dan Harapan Jokowi agar ASN Berpola Hidup Sederhana

Kebijakan Partisipatif dan Komunikatif

Pembahasan tentang perubahan institusi pemerintah menjadi lebih modern dan adaptif sudah banyak dilakukan, termasuk perubahan perilaku aparatur. Namun dalam perjalanannya, masih menemui kendala karena ada tarik-menarik kepentingan aktor dan kesiapan sistem.

Sebaik apapun sistem dibuat, jika integritas dan etika pelayan publik orang yang menjalankannya rendah, sistem itu hanya akan menjadi fitur pelengkap, tidak pernah bisa diimplementasikan optimal.

Kebijakan publik merupakan bagian atau interaksi dari politik, ekonomi, sosial dan kultural. Salah satu implikasinya, kebijakan publik senantiasa berinteraksi dengan dinamika kondisi politik, ekonomi, sosial, dan kultural di mana kebijakan tersebut diimplementasikan (Nugroho, 2014).

Baca juga: Partisipatif Warganya, Bersih Kotanya...

Banyak aktor dari berbagai sektor dapat memengaruhi proses kebijakan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Dalam perkembangannya hubungan antara pemerintah dengan publik terjadi secara dinamis dan tidak statis.

Setidaknya ada tiga bentuk hubungan antara pemerintah dan publik. Pertama, Old Public Administration (OPA). Publik ditempatkan sebagai client yang bergantung (dependent/follower) pada pelayanan pemerintah.

Schwab dan Kubler (2001) menyampaikan, dalam OPA pembuatan kebijakan didominasi instansi pemerintah sebagai aktor sentral. Hubungan antara pemerintah dengan aktor kebijakan yang lain bersifat komando.

Max Weber menjelaskan dalam OPA mekanisme kontrol berpusat dari atas ke bawah, begitu pula dengan pengambilan kebijakan. Inti dari konsep administrasi publik tradisional menempatkan negara menjadi aktor utama dalam penyelenggaraan urusan pemerintah (monopoly state).

Kedua, New Public Management (NPM). Publik ditempatkan sebagai customer di mana setiap individu memiliki otonomi dalam membangun hubungan atas kesadaran pribadi dan pilihan-pilihan yang logis (rational choice).

NPM lahir sebagai respon terhadap kelemahan sistem birokrasi tradisional yang dinilai kurang responsif dan terlalu fokus pada proses, bukan pada hasil.

NPM berusaha membongkar monopoli pelayanan, memperluas aktor penyedia layanan serta pendekatan manajemen yang lebih berorientasi pasar (bisnis).

Beberapa komponen yang menjadi kunci dari model tersebut adalah manajemen profesional, adanya standar dan ukuran kinerja yang jelas, penekanan lebih besar pada kontrol output, kompetisi yang lebih besar pada sektor publik, dan gaya sektor publik dalam praktik manajemen.

Ketiga, New Public Service (NPS). Publik sebagai citizen atau warga negara dengan hak dan kewajiban yang sama, relasi tidak semata sukarela, tetapi juga mampu memberi efek jera (coercive).

Janet V Denhardt dan Robert B Denhardt memberi istilah “The New Public Service, Serving not Steering”. NPS menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pelayanan publik, sehingga masyarakat memiliki peran yang lebih aktif dalam menentukan kebijakan publik.

Salah Guna Otoritas dan Kewenangan

Salah satu sebab mengapa aparat pemerintah menjadi sorotan di ruang publik karena otoritas yang melekat dijadikan sebagai pembenaran dalam melakukan tindakan yang kurang tepat. Nilai kepatutan dan kelayakan menjadi prasyarat penting yang dituntut dalam pelayanan publik.

Baca juga: AKBP Achiruddin Hasibuan Menonton Anaknya Aniaya Ken Admiral secara Brutal, Halangi yang Ingin Melerai

Di sisi lain, penggunaan kewenangan yang berlebihan pada akhirnya menimbulkan dampak buruk. Apa lagi jika penyalahgunaan otoritas dan kewenangan tersebut dipertontonkan di ruang publik. Setiap orang punya gawai yang bisa digunakan untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskan ketimpangan tersebut.

Media sosial tidak akan menjadi sangat powerfull dan memiliki daya penetrasi tinggi sepanjang ASN serta pejabat publik menerapkan tata perilaku dan etika publik dalam kehidupan sehari-hari. Unggahan yang dilakukan sesuai dengan atribusi personal dan penuh integritas, pola kerja menerapkan sistem pelayanan berdasarkan prinsip-prinsip New Public Management (NPM) dan New Public Service (NPS).

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi