KOMPAS.com - Lima organisasi profesi kesehatan dijadwalkan akan menggelar aksi damai untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan pada Senin (8/5/2023).
Mereka adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Para tenaga kesehatan menilai, pembahasan RUU Kesehatan telalu terburu-buru. Selain itu, banyak poin di dalam RUU Kesehatan juga menuai kritikan.
Baca juga: IDI Beberkan 3 Alasan Utama Tolak RUU Kesehatan Omnibus Law
Berikut 5 alasan RUU Kesehatan menuai banyak penolakan, dirangkum dari pemberitaan Kompas.com:
1. Pembahasan dinilai tidak transparan
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembahasan RUU Kesehatan tidak transparan dan terkesan terburu-buru.
Bagi IDI, sikap pemerintah yang seolah-olah tidak tertutup ini menimbulkan kecurigaan pada masyarakat mengenai agenda utama dalam pembahasan RUU Kesehatan, dikutip dari pemberitaan
Menurut Juru Bicara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Mahesa Pranadipa Maikel, regulasi atau undang-undang harus mengikuti prosedur yang terjadi yaitu terbuka kepada masyarakat.
"Pertama adalah proses terbitnya sebuah regulasi dalam hal ini Undang-undang. Harus mengikuti prosedur yang terjadi yaitu terbuka transparan kepada masyarakat," kata Mahesa dikutip dari Kompas.com (28/11/2022).
Baca juga: Demo Tolak RUU Kesehatan dan Potensi Melemahnya Perlindungan Nakes
2. Penghapusan peran organisasi profesi
Selain itu IDI menilai, RUU Kesehatan dapat menghapus peran organisasi profesi dalam hal ini adalah pengawasan, pembinaan, penerbitan rekomendasi dan Surat Tanda Registrasi (STR).
Padahal, STR seluruh tenaga kesehatan harus diregistrasikan di konsil masing-masing yang akan dievaluasi setiap lima tahun sekali.
Dalam RUU Kesehatan, STR disebut akan berlaku seumur hidup, sehingga berpotensi mengurangi mutu tenaga kesehatan.
3. Berpotensi pecah belah organisasi profesi
IDI mengatakan, RUU Kesehatan Omnibus Law ini juga berpotensi memecah belah organisasi profesi kesehatan.
Sebab ada kata "jenis" dan "kelompok" terkait pengaturan organisasi profesi kesehatan dalam RUU tersebut.
"Ada indikasi dipecah belahnya kami organisasi profesi, bahwa kami di kedokteran hanya satu, IDI, PPNI hanya satu, IAI juga sama, IPI juga sama, ada klausul yang dimungkinkan memecah belah kami," kata Wakil PD IDI Slamet Budiarto, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (16/1/2023).
Hal ini menurutnya bertentangan dengan putusan MK No.82/PUU-XII/2015 yang telah menetapkan satu organisasi untuk masing-masing profesi kesehatan.
Baca juga: Kemenkes Minta Aksi IDI dkk Tolak RUU Kesehatan Tak Ganggu Layanan Kesehatan
4. Kewenangan BPJS di bawah menteri
Dalam RUU Kesehatan, kewenangan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan kini tak lagi berada di bawah presiden, melainkan menteri.
Begitu pula dengan proses penyampaian laporan pengawasan penyelenggaraan jaminan sosial juga harus melalui menteri, yakni Menteri Kesehatan (BPJS Kesehatan) dan Menteri Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan).
Inspir Indonesia atau Yayasan Perlindungan Sosial Indonesia menilai, hal ini menjadi kontraproduktif bagi kedua BPJS.
"Kedua BPJS mengelola dana masyarakat bukan dana APBN/APBD. Oleh karenanya, pengelolaan dana masyarakat ini harus terhindar dari intervensi pihak lain seperti menteri," kata Ketua Inspir Indonesia Yatini Sulistyowati, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (19/2/2023).
"Kalaupun ada dana APBN dan APBD yang dibayarkan ke BPJS, itu merupakan kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk membayar iuran JKN bagi masyarakat miskin," sambungnya.
Baca juga: Kemenkes Bantah BPJS Kesehatan di Bawah Menkes dalam RUU Kesehatan
5. Perbolehkan dokter asing
RUU Kesehatan juga akan mengizinkan dokter asing bekerja di rumah sakit Indonesia secara terbatas.
Akan tetapi, dokter asing tersebut tidak bisa sembarangan bekerja di rumah sakit dan hanya boleh beroperasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dikutip dari Kompas.com (16/3/2023)
Dalam draft RUU tersebut, dokter asing juga harus mengikuti uji kompetensi sebelum berpraktik di Indonesia.
Uji kompetensi itu mulai dari penilaian kelengkapan administrasi dan penilaian kemampuan praktik.
Atas rencana itu, IDI menganggap sumber daya manusia (SDM) bidang kedokteran Indonesia sudah cukup, tetapi harus dioptimalkan.
Dibandingkan impor dokter asing, IDI meminta agar pemerintah lebih fokus memperbaiki konsep pelayanan kesehatan.
Baca juga: RUU Kesehatan Perbolehkan Dokter Asing Bekerja di RI secara Terbatas
(Sumber: Kompas.com/Achmad Nasrudin Yahya, Tatang Guritno, Ade Miranti Karunia | Editor: Yoga Sukmana, Sabrina Asril, Novianti Setuningsih, Aryo Putranto Saptohutomo)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.