Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pemerhati Sosial
Bergabung sejak: 15 Mar 2022

Pemerhati masalah sosial. Bekerja sebagai pegawai negeri sipil sejak 1986 hingga 2016.

Merawat Budaya Bangsa

Baca di App
Lihat Foto
Fendi Siregar
Seorang pemain Lenong Betawi dari Sanggar Kembang Kelapa, sedang membenahi pakaiannya, membelakangi mural karya komunitas Urbanspace di Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Editor: Sandro Gatra

ANDA masih ingat Benyamin Sueb dan Ida Royani? Dua penyanyi ini terkenal dengan lagu-lagu berlogat Betawi, yang populer pada 1980-an.

Kemerduan suara dan kekompakan mereka berduet agaknya belum tergantikan hingga kini. Beberapa lagu mereka yang cukup populer adalah: Hujan Gerimis Aje, Sang Bango, Begini Begitu. Anda mungkin masih hafal penggalan liriknya.

Lagu-lagu mereka tentulah membuat dialek Betawi menjadi akrab di telinga masyarakat yang bukan penuturnya sehari-hari, termasuk saya.

Dari budaya Betawi juga ada komedi Lenong Betawi, yang dulu sesekali ditayangkan di TVRI, satu-satunya stasiun televisi saat itu.

Lenong Betawi yang dikemas anak-anak muda kala itu cukup menghibur. Budaya Betawi terbukti ikut meramaikan budaya Indonesia.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun budaya Betawi, sebagaimana budaya dari daerah lain, kini jarang muncul di media televisi nasional. Mungkin hanya TVRI yang menyediakan slot untuk musik daerah, kendati jam tayangnya larut malam.

Ini cukup mengkhawatirkan karena dapat membuat generasi muda menjadi kurang mengenal budayanya sendiri, apalagi mencintai dan mengembangkannya.

Maka perayaan Lebaran Betawi, yang diselenggarakan dengan meriah oleh Pemprov DKI Jakarta pada 20-21 Mei 2023, di kawasan Monumen Nasional yang lalu, patut diapresiasi.

Perayaan ini sempat tidak diselenggarakan karena Pandemi Covid-19. Perayaan itu diliput media massa nasional, sehingga berpeluang untuk mendapat perhatian khalayak.

Pada acara itu pengunjung menyaksikan sejumlah kesenian Betawi, seperti musik tanjidor, gambang kromong, tari-tarian khas Betawi, dan tentu saja ada ondel-ondel, ikon budaya Betawi.

Pada acara pembukaan, yang dihadiri pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat Betawi itu, ditampilkan tradisi buka palang pintu untuk menyambut tamu.

Beberapa pria menarikan gerakan silat, diiringi sejumlah wanita, dewasa dan remaja, yang mengenakan kebaya adat Betawi bernuansa kuning, merah, dan jingga, dipadu dengan kerudung hijau muda. Terkesan anggun sekaligus gembira.

Budaya memang wahana untuk mengekspresikan perasaan masyarakat, untuk menunjukkan harapan dan idealisme, serta untuk mendorong semangat mencapai tujuan bersama, seperti menjaga kerukunan.

Masalahnya, budaya suatu kelompok masyarakat bisa tidak menarik lagi, atau ketinggalan zaman, kemudian ditinggalkan.

Hal itu terjadi karena budaya lain terlihat lebih baru, lebih dinamis, atau lebih menyentuh perasaan. Maka upaya untuk terus menerus mengembangkan budaya sendiri menjadi keharusan jika tidak ingin diabaikan masyarakat itu sendiri.

Para penggiat budaya perlu serius mencari ide-ide baru untuk membuat elemen-elemen kebudayaan menjadi lebih menarik, sehingga membuat orang tidak bosan untuk menyaksikan.

Mengembangkan budaya juga perlu melibatkan semakin banyak orang untuk ikut mengalami serta menjiwai makna di dalamnya.

Saat ini kita jarang mendapat informasi tentang di mana dan kapan kita dapat menyaksikan kegiatan budaya di kota kita. Ini berbeda dengan apa yang terjadi di negara lain seperti Jepang, Thailand, dan Inggris, misalnya.

Di Jepang, hampir setiap bulan diselenggarakan festival budaya di berbagai daerah dengan tema-tema yang khas.

Umumnya festival budaya atau matsuri itu sudah ratusan tahun diselenggarakan dan terus dirayakan hingga kini.

Pada mulanya matsuri berupa ritual terbatas untuk menghormati dewa tertentu atau menyambut musim tertentu. Lama kelamaan matsuri menjadi kegiatan ritual kolosal, dengan beragam kuliner dan perhelatan lain.

Publikasi yang luas ikut mendorong perkembangan matsuri di banyak kota/daerah. Beberapa festival ada kemiripannya, namun keunikan masing-masing juga menonjol. Ini membuat orang, termasuk turis asing, ingin menyaksikan matsuri yang sedang atau akan berlangsung.

Agaknya kegiatan budaya di sana dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan material masyarakat, dan menumbuhkan kecintaan kepada daerah sendiri.

Ada kebanggaan yang dapat mengatasi kekaguman awal terhadap budaya dari luar. Di keramaian kota tidak jarang terlihat seorang wanita berjalan mengenakan baju kimono, tanpa terlihat canggung.

Kebudayaan dengan berbagai unsurnya memang perlu dirawat sekaligus dikembangkan. Tidak mustahil ada upaya dari luar yang ingin mengubah atau menggeser budaya suatu bangsa, untuk tujuan baik maupun buruk, disengaja maupun tidak disengaja, disadari maupun tidak disadari.

Budaya itu sendiri juga dapat pudar dengan sendirinya jika tidak dipelihara dengan seksama.

Sewaktu SMP di Bandung, saya ikut menjadi anggota pemain degung di sekolah, yang membuat saya akrab dengan musik daerah Sunda, walau saya orang Jawa. Saya khawatir kegiatan ekstrakurikuler seperti itu sudah tidak ada lagi sekarang.

Pertunjukan wayang orang yang dahulu rutin dipertunjukkan di gedung kesenian di berbagai kota kini banyak yang tinggal kenangan.

Padahal ada kebutuhan untuk mendapatkan hiburan, semangat dan pemahaman tentang nilai-nilai luhur untuk bekal menghadapi persoalan hidup sehari-hari.

Atau untuk sekadar bernostalgia, seperti hasrat hati saya untuk menonton wayang orang di gedung kesenian Ngesti Pandowo, Semarang.

Pasalnya waktu kecil saya pernah diajak ayah menonton wayang orang di gedung itu. Gerakan Gatotkaca yang gagah saat perang menghadapi lawan masih membekas di benak saya. Apakah suasana masa lalu itu masih bisa saya dapatkan? Ada keraguan di situ.

Banyak yang perlu dilakukan untuk membuat kebudayaan masyarakat tumbuh dan berkembang.

Setiap pemerintah daerah perlu membuat agenda festival budaya secara rutin. Dan pemerintah pusat mendukung upaya pemerintah daerah dengan konsep, dana, dan publikasi.

Di sekolah, dari tingkat tingkat dasar hingga universitas, diajarkan budaya lokal, yang kemudian diekspresikan dalam berbagai kesempatan penting, antara lain memakai busana daerah pada saat wisuda.

Para orangtua perlu mengajarkan bahasa daerah pada anak-anak dan menggunakannya sehari-hari. Setidaknya lagu-lagu khas daerah diperdengarkan di rumah agar anak-anak tidak merasa asing dengan budayanya sendiri.

Selanjutnya stasiun televisi swasta dan publik perlu menayangkan program apresiasi budaya daerah secara rutin, sebagai perwujudan bakti kepada negeri.

Masyarakat boleh saja dijadikan sumber profit, tetapi kebudayaannya jangan diabaikan, apalagi disingkirkan.

Setidaknya itulah beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mempertahankan budaya agar tetap hidup dan memberi manfaat.

Intinya, kita semua perlu melakukan tindakan konkret, secara bersama-sama, untuk merawat dan mengembangkan budaya sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi