DALAM praktik komunikasi politik sehari-hari, terutama menjelang pemilu, terdapat sebuah entitas yang kerap muncul menghiasi media. Entitas ini adalah para pandit politik. Di media, mereka lebih sering dikenal sebagai pengamat politik.
Sebelum membahas lebih lanjut, penting untuk mendefinisikan entitas yang disebut pandit (pandit) politik. Bagi sebagian akademisi, pandit politik dipahami sebagai 'suara nalar' yang netral dan mampu memberikan penjelasan atau pemikiran kritis terhadap suatu peristiwa maupun intrik politik di dalamnya.
Dalam konteks iklim demokrasi, pandit politik memainkan peran yang signifikan. Mereka adalah individu yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan wawasan luas tentang politik serta kebijakan publik.
Baca juga: Menurut Pakar, Ada 3 Sesat Pikir Pelaksanaan Debat Politik di Indonesia
Keberadaan mereka merupakan hal yang lazim dan bahkan penting dalam sistem politik yang berbasis demokrasi. Pandit politik sering muncul di media massa, baik televisi, radio, maupun platform digital, untuk memberikan analisis, komentar, dan pandangan terkait isu-isu politik yang sedang berkembang.
Keberadaan para pandit politik yang ideal di iklim demokrasi diibaratkan sebagai pagar pembatas yang menjaga agar praktik demokrasi tetap berjalan ke arah yang benar. Melalui pengetahuan dan pemahaman, mereka berkontribusi dalam membentuk dan membimbing arus opini publik (untuk mencapai tujuan besar bangsa).
Di beberapa kejadian, para pandit sering disangka peramal politik, karena memiliki kemampuan untuk "menghitung" masa depan berdasarkan peristiwa politik saat ini.
Enam Tipe Pandit PolitikDi Indonesia, terdapat lima tipe pandit politik, yaitu akademisi, jurnalis senior, perwakilan kelompok, mantan politisi, pemuka agama, dan selebriti. Akademisi dipandang pantas sebagai pandit karena memiliki pengalaman penelitian politik yang luas, dan sering menjadi tamu dalam acara talk show politik. Mereka memiliki pemahaman mendalam tentang teori politik dan kebijakan publik, dan cenderung memberikan pandangan yang berfokus pada analisis data dan bukti empiris.
Berikutnya, jurnalis senior yang telah memiliki pengalaman segudang dalam meliput politik dan memahami dinamika politik secara mendalam dipandang mampu memberikan arah. Mereka cenderung memberikan pandangan yang berfokus pada wawasan dan pengalaman atas sebuah peristiwa politik.
Sementara itu, perwakilan kelompok umumnya mewakili suatu organisasi atau kelompok tertentu, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka cenderung memberikan pandangan yang berfokus pada kepentingan organisasi yang mereka wakili.
Mantan politisi yang memiliki pengalaman langsung dalam politik dan sering membuat perbandingan dengan peristiwa politik masa lalu juga layak disebut pandit. Mereka cenderung memberikan pandangan yang berfokus pada pengalaman politik dan pengetahuan mereka tentang bagaimana politik bekerja.
Tidak kalah penting, Indonesia yang menjunjung tinggi religiusitas tentunya berimplikasi pada peran pemuka agama menjadi pandit. Ucapan individu yang dianggap saleh menjadi penting untuk didengar.
Baca juga: Ganjar Pranowo Resmi Jadi Capres, Pakar Politik UGM Ungkap Strategi PDI-P
Terakhir, selebritas juga menjadi salah satu wajah dari pandit politik di Indonesia. Pesona selebritas dapat memengaruhi opini publik dan cenderung memberikan pandangan yang berfokus pada isu-isu yang mereka anggap penting. Namun, pandangan mereka seringkali kurang didasarkan pada fakta dan bukti empiris.
Silat Lidah Pandit PolitikPada Pemilu 2024, beragam tipe pandit politik di atas niscaya menghiasi media. Ucapan mereka kemungkinan besar akan didengar dan jadi bahan pertimbangan.
Dalam penelitian yang saya lakukan, para pandit politik ini memang dihadirkan untuk empat tujuan utama. Pertama, silat lidah. Para pandit politik tidak hanya berfungsi untuk memberi penjelasan atau arahan dari sebuah peristiwa politik, melainkan juga untuk mengisi slot waktu program acara di media.
Bak selebritas, debat pandit dengan politisi atau antar-pandit, terutama debat panas, menarik perhatian publik. Silat lidah pun tidak terelakkan.
Kedua, memberi arah pemberitaan pada media. Media massa memang dituntut untuk independen dalam bersikap. Tetapi pada situasi tertentu, sikap yang diambil tentu membutuhkan pertimbangan. Pandit memiliki peran untuk memberikan analisis yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan.
Ketiga, memberi kritik pada sebuah kebijakan politik. Pandit dianggap, entah memiliki pengetahuan dan atau pengalaman di bidang politik, ketika ada satu kebijakan yang keliru akan bersuara.
Keempat, pandit dengan segala daya nalar dan pengalaman yang mereka miliki, bertujuan untuk memberikan solusi. Dalam mewujudkan tujuan ini, penting juga peran media dalam memilih pandit yang akan tampil atau dikutip sebagai narasumber.
Sensasionalisme dan Tanpa Tanggung JawabBila dikaji secara mendalam, belum ada kriteria baku untuk menetapkan individu seperti apa yang pantas disebut pandit politik. Hak prerogatif penentuan siapa layak jadi pandit ada pada media (pers).
Dari amatan yang saya lakukan, kedekatan individu dengan orang-orang pers menjadi penentu. Namun kedekatan saja tidak cukup, karena setidaknya mereka harus memenuhi kriteria umum seperti minimal level pendidikan tingkat magister atau memang sudah dikenal secara umum atau saksi kunci sejarah.
Seiring berkembanganya media massa di Indonesia, berimplikasi juga pada bertaburannya para pandit politik. Kehadiran mereka tentu tidak semuanya ideal. Media harus betul-betul ketat dalam menyeleksi individu yang patut dilabeli pandit politik. Tidak bisa sembarang orang, apalagi karena mengandalkan faktor kedekatan semata.
Tanpa ada seleksi ketat maka situasi komunikasi politik di Indonesia akan masuk ke lingkungkan panditokrasi (panditocracy). Hal ini tentu tidak ideal karena publik ditempatkan dalam posisi pasif yang arahnya disetir para pandit yang tanpa sadar dibantu pers.
Para pandit yang kebablasan umumnya cenderung mengedepankan sensasionalitas semata. Mereka lebih berfokus mencari perhatian dengan membuat pernyataan yang kontroversial atau provokatif. Mereka sering kali lebih tertarik pada menarik perhatian daripada memberikan analisis yang mendalam atau bermanfaat. Upaya cari perhatian ini agar mereka lebih sering ‘dipakai’ media.
Seorang akademisi dan penulis Amerika, Tom Nichols, menulis buku berjudul The Death of Expertise. Dalam bukunya, Nichols menulis bahwa para pandit kerap memberi argumen dan prediksi yang keliru. Parahnya, mereka tidak dapat dimintai tanggung jawab.
Tidak dapat dipungkiri, ada lingkaran setan yang terjadi. Pandit politik harus berani bicara dan berargumen sensasional. Tapi hal ini berpotensi pada dasar argumen yang kurang kuat atau bukti yang belum meyakinkan. Bahkan, mungkin saja mereka mengandalkan pendapat pribadi atau pemikiran partisan tanpa didasari fakta yang obyektif.
Akibatnya, kebenaran dan keakuratan pernyataan mereka dipertanyakan. Pandit politik seringkali tidak menghadapi konsekuensi atas pernyataan yang mereka buat. Mereka dapat dengan mudah menghindari akuntabilitas dengan mengklaim bahwa pernyataan mereka hanya pendapat atau opini pribadi.
Mereka tidak merasa terikat oleh keakuratan atau kebenaran, dan ini merugikan masyarakat yang mengandalkan mereka sebagai sumber informasi politik. Pemilu mendatang tidak bisa dinafikan akan menjadi panggung silat lidah para pandit politik. Namun, pers harus selektif menghadirkan pandit yang tepat, bukan abal-abal, apalagi pandit yang bias.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.