Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ilmuwan: Perubahan Iklim Global Bisa Picu Tsunami Raksasa di Masa Depan

Baca di App
Lihat Foto
iStockphoto/shannonstent
Ilustrasi gelombang tsunami.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Studi baru memperingatkan bahwa perubahan iklim dapat memicu terjadinya tsunami raksasa di Samudra Selatan atau Samudra Antarktika yang didahului dengan tanah longsor bawah laut.

Dikutip dari Independent, longsor bawah laut adalah bahaya global yang dapat memindahkan sejumlah besar sedimen dan menimbulkan tsunami yang mematikan.

Para ilmuwan menyatakan, bahwa selama periode pemanasan global sebelumnya, sekitar 3 sampai 15 juta tahun yang lalu, lapisan sedimen terlepas dan meluncur bebas memicu gelombang tsunami besar yang melaju ke pantai Amerika Selatan, Selandia Baru, dan kawasan Asia Tenggara.

Dalam studi baru yang diterbitkan pada 18 Mei di jurnal Nature Communications, para ilmuwan menemukan adanya lapisan sedimen yang lemah, membatu, dan kaya secara biologis, berada ratusan meter di bawah dasar laut.

Baca juga: Suhu Global Akan Naik Melebihi Ambang Krisis 1,5 Derajat Celsius dalam 5 Tahun Mendatang, Apa Dampaknya?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Perubahan iklim global bisa memicu tsunami mematikan

Perubahan iklim cepat yang didorong oleh ulah manusia saat ini, dapat menyebabkan naiknya permukaan laut dan menyusutnya lapisan es.

Saat perubahan iklim memanaskan lautan, para peneliti mengkhawatirkan akan ada kemungkinan tsunami besar terjadi sekali lagi. 

"Longsor bawah laut adalah geohazard utama dengan potensi memicu tsunami yang dapat menyebabkan banyak korban jiwa," kata Jenny Gales, dosen hidrografi dan eksplorasi laut di University of Plymouth di Inggris dilansir dari Live Science.

"Temuan kami menyoroti bagaimana kita sangat perlu meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana perubahan iklim global dapat memengaruhi stabilitas kawasan ini dan potensi tsunami di masa depan," tambahnya.

Para peneliti pertama kali menemukan bukti tanah longsor kuno di Antartika pada 2017 di Laut Ross timur.

Bukti itu terjebak di bawah tanah longsor yang merupakan lapisan sedimen lemah yang dijejali fosil makhluk laut yang dikenal sebagai fitoplankton.

Kemudian, para ilmuwan kembali ke daerah tersebut pada 2018 dan mengebor jauh ke dalam dasar laut untuk mengekstraksi inti sedimen, silinder panjang, dan lapisan tipis dari kerak bumi.

Pengeboran itu berhasil menunjukkan lapis demi lapis dan sejarah geologis wilayah tersebut.

Baca juga: Kisah Masjid Baitturahman, Masjid yang Selamat dari Tsunami Aceh 2004

Dengan menganalisis inti sedimen, para ilmuwan mengetahui bahwa lapisan sedimen lemah itu terbentuk selama dua periode.

Pertama yaitu sekitar 3 juta tahun yang lalu pada periode hangat pertengahan Pliosen, sementara yang lainnya kira-kira terbentuk 15 juta tahun yang lalu selama iklim optimal Miosen.

Selama zaman itu, perairan di sekitar Antartika berada di suhu 5,4 derajat Fahrenheit (3 derajat Celsius) lebih hangat dari hari ini.

Pemanasan suhu itulah yang disinyalir menyebabkan terjadinya ledakan populasi alga yang memenuhi dasar laut yang di bawahnya terdapat sedimen yang kaya dan licin. Akibatnya, membuat wilayah tersebut rentan terhadap bahaya longsor.

"Selama iklim dingin dan zaman es berikutnya, lapisan licin ini ditutupi oleh lapisan tebal kerikil kasar yang dibawa oleh gletser dan gunung es," ujar Robert McKay, direktur Pusat Penelitian Antartika di Victoria University of Wellington dan wakil kepala ilmuwan Program Penemuan Lautan Internasional Ekspedisi 374 yang mengekstraksi inti sedimen pada 2018.

Baca juga: Bagaimana Proses Terjadinya Tsunami? Berikut Penjelasannya

Apa penyebab tanah longsor di dasar laut?

Pemicu yang tepat untuk tanah longsor bawah laut pada masa lalu di kawasan itu belum diketahui secara pasti.

Kendati demikian, para peneliti telah menemukan penyebab yang paling mungkin, yaitu karena pencairan es gletser oleh iklim yang memanas.

Berakhirnya periode glasial periodik Bumi menyebabkan lapisan es menyusut dan surut, sehingga meringankan beban pada lempeng tektonik Bumi dan membuat mereka melambung ke atas dalam proses yang dikenal sebagai rebound isostatik.

Setelah lapisan sedimen lemah menumpuk dalam jumlah yang cukup banyak, maka hulu benua Antartika dapat memicu gempa Bumi yang menyebabkan kerikil kasar di atas lapisan licin meluncur dari tepi landas kontinen dan menyebabkan tanah longsor yang memicu tsunami.

Sementara itu, skala dan ukuran gelombang laut purba tidak diketahui, akan tetapi para ilmuwan mencatat bahwa dua tanah longsor bawah laut yang relatif baru menghasilkan tsunami besar dan menyebabkan korban jiwa yang signifikan, yakni tsunami Grand Banks 1929 dan tsunami Papua Nugini 1998.

Saat itu, tsunami Grand Banks 1929 menghasilkan gelombang setinggi 42 kaki (13 meter) dan membunuh sekitar 28 orang di lepas pantai Newfoundland Kanada. Sementara tsunami Papua Nugini 1998 melepaskan gelombang setinggi 49 kaki (15 meter) yang merenggut 2.200 jiwa.

Dengan banyaknya lapisan sedimen yang terkubur di dasar laut Antartika dan gletser di atas daratan perlahan mencair, para peneliti memperingatkan, bahwa pencairan gletser yang menyebabkan tsunami dan tanah longsor di masa lalu bisa kembali terjadi di masa depan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi