KOMPAS.com - Isu mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengembalikan lagi sistem proporsional tertutup jelang Pemilu 2024, ramai jadi perbincangan.
Isu ini pertama kali dimunculkan oleh ahli hukum tata negara, Denny Indrayana, melalui akun Twitternya, Minggu (28/5/2023). Dia menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan perubahan sistem pemilu tersebut.
Sebelumnya judicial review atau uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka diajukan ke MK.
Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Apabila judicial review itu dikabulkan oleh MK, sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Penjelasan MK: Sidang masih berjalan
Juru Bicara MK Fajar Laksono membantah soal MK telah memutuskan pemilu 2024 dilakukan dengan sistem proporsional tertutup.
Pihaknya mengatakan, proses persidangan atas gugatan itu belum selesai dan masih berjalan.
"Silakan tanya kepada yang bersangkutan (Denny Indrayana). Yang pasti, sesuai agenda persidangan terakhir kemarin, tanggal 31 Mei mendatang penyerahan kesimpulan para pihak," kata Fajar Laksono saat dimintai tanggapannya, Minggu (28/5/2023).
Dia menyebut perkara ini baru akan dibahas oleh Majelis Hakim melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Setelah itu, baru nanti proses persidangan akan masuk dalam putusan oleh majelis hakim. Namun hingga saat ini, jadwal sidangnya belum keluar.
"Selanjutnya, akan diagendakan sidang pengucapan putusan," tuturnya.
Baca juga: Pemilu 2024, Ajang Silat Lidah Para Pandit Politik
Apa itu pemilu sistem proporsional tertutup?
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Kuskridho Ambardi menjelaskan bahwa pemilu sistem proporsional tertutup adalah sistem di mana pemilih tidak bisa langsung memilih anggota legislatif yang diusung oleh partai politik.
Sistem proporsional tertutup akan membuat hanya partai politik yang berhak menentukan anggota legislatif di pemerintahan, bukan masyarakat.
Masyarakat selaku pemilik suara akan memilih partai politik ketika pemilu. Sementara partai yang akan menentukan kadernya sebagai anggota legislatif.
"Sistem proporsional tertutup memberikan kekuasaan lebih besar pada partai untuk menentukan daftar dan urutan kandidat yang masuk dalam kertas suara," ujarnya kepada Kompas.com, Senin (29/5/2023).
Saat pemilu, masyarakat akan sebatas memilih parpol di kertas pemilu. Kemudian, anggota legislatif yang bertugas di pemerintahan akan ditentukan oleh parpol.
Partai menetapkan calon terpilih berdasarkan nomor urutnya di pemilu. Sebagai contoh, partai yang mendapatkan dua kursi berdasarkan hasil pemilihan maka memutuskan calon dari nomor urut 1 dan 2 yang akan menduduki jabatan pemerintahan.
Sistem proporsional tertutup diterapkan selama Orde Baru pada Pemilu 1977-1997, dan Pemilu 1999.
Sebaliknya, sistem proporsional terbuka memungkinkan publik dapat langsung memilih partai dan calon legislatif saat pemilu. Sistem ini yang sekarang diterapkan di Indonesia.
Baca juga: Mereka yang Daftar Bacaleg Pemilu 2024, Ada Kepsek dan Tukang Parkir
Sisi positif dan negatif sistem proporsional tertutup
Pria yang akrab disapa Dodi ini menyebutkan pemilu dengan sistem proporsional tertutup memiliki sisi positif dan sisi negatif.
Beberapa sisi positif sistem pemilu menggunakan proporsional tertutup sebagai berikut:
- Koordinasi kampanye kandidat bisa lebih dilakukan oleh partai.
- Persaingan antar kandidat separtai di daerah pemilihan (dapil) yang sama bisa dihindari.
- Politik uang bisa lebih diminimalisasi.
Hal tersebut terjadi karena partai akan mengontrol dan menetapkan langsung kandidat yang menjadi calon legislatif di pemilu.
Sisi negatif
Sementara itu, sistem proporsional tertutup juga memiliki efek negatifnya bila diterapkan, di antaranya:
- Hanya melanggengkan kekuasaan partai
- Pemilih tidak punya peran dalam menentukan siapa kandidat caleg yang dicalonkan dari partai politik.
- Tidak responsif terhadap perubahan yang cukup pesat.
- Menjauhkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pascapemilu.
- Potensi menguatnya oligarki di internal parpol.
- Munculnya potensi ruang politik uang di internal parpol dalam hal jual beli nomor urut.
- Kandidat menjadi pemalas
Baca juga: Fenomena Artis di Pemilu 2024, Pengamat: Kegagalan Partai dan Jalan Pintas Dulang Suara
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.