Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 18 Mei 2022

A Masterless Samurai

Tentang Evolusi "Jendela Dunia"

Baca di App
Lihat Foto
KucherAV
Ilustrasi membaca buku
Editor: Sandro Gatra

MEMANG suatu hal mengasyikkan, berjalan di jalan berpasir sempit di antara pegunungan, sambil membayangkan bagaimana peradaban di utara bercampur dengan peradaban di belahan barat, khususnya melalui (jalur) perdagangan.

Menelusuri perkembangan teknologi juga amat menyenangkan. Terutama mengenai bagaimana orang bisa terhubung satu dengan yang lain melalui medium internet. Apalagi membayangkan apa dan bagaimana internet mengubah segala aspek kehidupan, pada masa depan.

Pengalaman berjalan itu bukan saya alami sendiri. Paragraf pertama merupakan fantasi, saat membaca esai foto "Silkroad" karya fotografer Jepang Shinoyama Kishin.

Dia membawa saya melalui foto Kyber Pass, nama jalan berliku antara Pakistan dan Afganistan, menikmati peristiwa sejarah yang telah direkam di lokasi tersebut.

Paragraf kedua merupakan sensasi, saat membaca buku "The Road Ahead" yang salah satu penulisnya adalah Bill Gates.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buku yang diterbitkan tahun 1995 tersebut, mengajak saya berpikir dan melihat perkembangan dunia, terutama paparan tentang apa yang akan terjadi akibat perkembangan teknologi, dalam perspektif zaman itu.

Tidak salah kalau dikatakan bahwa buku adalah jendela dunia. Kita bisa memaknai "jendela dunia" itu sebagai lokasi.

Misalnya, jika membaca buku tentang perjalanan, maka kita dapat menikmati suasana yang dialami oleh sang penulis buku. Tanpa harus repot-repot pergi ke lokasi apalagi berpeluh, namun sambil menikmati secangkir kopi panas dan singkong goreng.

"Jendela dunia" juga berarti pendapat atau pemikiran sang penulis. Sebuah dunia baru atau lain, dimana kita mampu mendalami pemikiran, tanpa bertemu langsung dengan sang penulis.

Contohnya, tentang apa yang menjadi pusat perhatian, pikiran maupun visinya. Persis seperti ketika membaca buku karangan Bill Gates tersebut.

Saya tertarik untuk membahas masalah buku, karena membaca berita tentang Toko Gunung Agung berencana menutup seluruh gerainya sampai akhir 2023. Sebagai catatan, kata "buku" pada tulisan ini merujuk pada buku cetak, kecuali ada keterangan tambahan.

Masalah tutupnya toko buku, saya kira bukan terjadi di Indonesia saja. Di bagian dunia lain, misalnya, di Jepang, beberapa tahun terakhir, terutama saat bencana pandemi melanda dunia pada 2020, banyak toko buku yang tutup.

Di tempat saya tinggal sekitar radius 1 Km pun, sekarang hanya bertahan satu toko buku. Dua toko buku sudah lebih dahulu tutup, satu tutup toko tahun 2021 dan yang lain tutup bulan lalu.

Toko buku yang tutup umumnya dikelola oleh perusahaan dengan jaringan nasional, maupun jaringan lokal di beberapa daerah. Jadi bukan toko buku swadaya atau milik perorangan.

Badan Kebudayaan Industri Penerbit Buku Jepang mencatat bahwa persentase daerah yang tidak mempunyai toko buku, meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut data bulan Oktober 2022, ada sekitar dua daerah setingkat provinsi tidak ada toko buku. Pada daerah setingkat kabupaten meningkat jadi 37 persen, yang terbanyak tidak mempunyai toko buku adalah daerah setingkat pedesaan, sekitar 89 persen.

Penelusuran Almedia, badan riset perbukuan Jepang, mengungkapkan bahwa jumlah total toko buku, dihitung antara tahun 2000 sampai 2020, turun sampai setengahnya!

Sekali lagi, tutupnya toko buku memang sudah menjadi masalah global. Meskipun ada pengecualian, misalnya ada toko buku seperti Barnes and Nobles membuka kembali gerainya di New York.

Sudah banyak analisis dari pakar berkenaan dengan alasan, mengapa banyak toko buku tutup di Indonesia. Ada yang bilang, itu karena rendahnya minat baca. Meskipun ada data yang menunjukkan hal sebaliknya tentang minat baca.

Saya berpendapat bahwa tutupnya toko buku bukan hanya karena satu alasan. Akan tetapi, penyebabnya ada beberapa hal, yang berkaitan satu sama lain.

Contohnya, alasan toko buku tutup karena orang sudah beralih dari belanja di toko konvensional, menjadi pola belanja di toko daring. Saat ini, memang bisnis melalui toko tradisional (brick-and-mortar) sudah tidak populer lagi.

Ini bukan semata-mata terjadi pada toko buku, namun pada toko pakaian, makanan, dan lainnya. Hanya saja, ketidakpopuleran bisnis brick-and-mortar (karena masalah biaya operasional) bukanlah satu-satunya alasan toko buku tutup.

Bisa jadi, orang lebih memilih toko daring, juga pilihan buku digital dibandingkan buku cetak, karena kepraktisan.

Harga juga dapat menjadi pemicu, karena toko daring biasanya menjual buku lebih murah dibandingkan toko konvensional. Toko daring lebih banyak menawarkan promosi.

Pembeli bahkan tidak perlu berkeringat keluar rumah sekadar untuk membeli buku. Terkadang ada yang memberikan pelayanan antarsampai rumah.

Membeli buku di toko daring (contohnya di Amazon) mempermudah orang, misalnya jika ingin membeli buku lain yang berhubungan maupun bertopik sama. Rekomendasi tentang buku-buku pasti ditampilkan langsung (di browser).

Berbeda jika kita pergi ke toko buku, akan sedikit ribet dan melelahkan. Meskipun mencari buku ke sana sini di toko konvensional merupakan hal mengasyikkan bagi sebagian orang, termasuk saya.

Boleh jadi dengan kemajuan teknologi yang memicu turunnya harga gawai dan biaya koneksi, saat ini orang lebih suka membaca informasi di portal daring dibandingkan membaca buku.

Informasi yang dibagikan melalui media daring, lebih menarik karena isinya bukan cuma tulisan.

Biasanya tulisan sudah dipadukan dengan suara, gambar, bahkan video (animasi). Ini tentu lebih menarik bagi pembaca, terutama usia muda (termasuk bagi kaum yang kita juluki sebagai generasi "rebahan"). Semua ini bisa diperoleh tanpa membayar, alias gratis.

Sekali lagi, untuk urusan tutupnya toko buku, saya pikir semua hal itu berkaitan satu dengan lainnya. Saya tertarik jika ada orang yang mau membuat penelitian bagaimana hubungan semua faktor tersebut, yang mengakibatkan toko buku tutup.

Kita kembali lagi ke masalah toko buku. Kalau boleh meminjam istilah Darwin, "tumbangnya" toko buku menurut saya terjadi akibat seleksi "alam". Dalam bukunya "On The Origin of Spicies", Charles Darwin menyebutnya sebagai natural selection.

Lebih jauh lagi, Darwin mengatakan bahwa yang paling mampu beradaptasi akan terus bertahan (dapat hidup), bukan karena superioritas.

Kita tahu bahwa memang banyak toko buku di seluruh belahan dunia saat ini mengalami kesulitan, kemudian harus menutup usahanya. Akan tetapi jangan lupa, bahwa ada pula toko buku yang bertahan, bahkan mampu bertransformasi menjadi toko buku dengan corak baru.

Harian The New York Times pada edisi Juli 2022, menyebutkan ada sekitar 300 toko buku swadaya (independent bookstore) bermunculan di Amerika.

Toko buku ini tidak berafiliasi dengan toko buku besar. Umumnya mereka menjual buku spesifik, dalam jumlah tidak banyak.

Contohnya toko buku milik Lucy Yu, yang khusus menjual buku oleh, dan tentang orang Asia di Amerika. Atau toko kepunyaan Nyshell yang menjual buku karangan orang kulit hitam, terutama wanitanya.

Di Jepang, saya kerap menemukan toko buku swadaya ketika jalan-jalan ke berbagai daerah di Tokyo. Misalnya, saat jalan-jalan di Yanaka, ada toko buku kecil menggunakan tenda, hanya menjual buku tentang gunung (termasuk pendakian gunung). Total ada 10 buku saja dipajang di sana.

Atau ketika pergi ke Shimokitazawa, ada toko menjual hanya buku-buku yang berhubungan dengan seni.

Di area Jimbocho yang merupakan pusat buku vintage (saya lebih suka menyebut dengan istilah ini dibandingkan sebutan buku bekas), beberapa toko hanya menjual buku dengan topik tertentu.

Toko-toko ini banyak yang sudah lama didirikan (beberapa usianya seratusan tahun), namun dapat bertahan sampai sekarang.

Selain adaptasi dengan menjual buku topik tertentu, ada juga toko buku yang ber-evolusi (sekali lagi, meminjam istilah Darwin), dengan menggabungkan produk jualannya bersama produk barang elektronik.

Di Toko Buku Tsutaya yang berlokasi di Futako Tamagawa, menjual buku sekaligus peralatan elektronik. Tentu bukan terbatas evolusi atas komoditi yang dijual saja.

Caranya pun ber-evolusi, misalnya ada kafe yang menyatu dengan toko. Sehingga kita dapat membaca buku sambil minum kopi.

Sering juga diadakan pameran, talk show, demo alat elektronik, permainan untuk anak-anak, dan banyak lagi acara menarik lainnya.

Evolusi tidak terhenti di situ, namun terus terjadi dari perspektif lain. Dari sisi pemilik misalnya, toko buku umumnya suatu usaha yang dilakukan oleh orang awam. Akan tetapi saat ini, pemerintah daerah ikut berupaya agar toko buku mampu menjadi "survival of the fittest".

Contohnya, pemerintah daerah kota Hachinohe di Prefektur Aomori, membuka dan mengelola toko buku di daerahnya.

Pemerintah daerah di Prefektur Toyama, bahkan memberikan insentif untuk sewa tempat, bagi orang yang ingin membuka toko buku di daerah tersebut.

Evolusi toko buku sebagai tempat penjualan "jendela dunia", sangat diperlukan. Jika kita ambil kata jendela secara harfiah sebagai unsur bangunan, saat ini sudah mengalami banyak perubahan.

Ada orang yang suka jendela lebar, dengan alasan banyak sinar bisa masuk ke rumah. Ada juga orang yang lebih memilih jendela bundar, karena menarik dari segi estetika.

Penutup jendela dari kertas (washi) seperti umumnya rumah di Jepang sebagai pengganti gorden pun, mulai digemari.

Buku terus ber-evolusi. Bukan hanya media penyimpannya saja yang berbentuk elektronik. Gawai sebagai media sekarang dapat menyajikan tampilan lebih ramah untuk mata, menggunakan teknologi e-ink (electronic ink).

Dengan teknologi ini, orang tahan berlama-lama membaca buku, seperti menikmati buku cetak.

Mungkin nantinya, buku terus ber-evolusi sehingga kita tidak perlu membacanya melalui gawai atau kacamata yang berfungsi sebagai display.

Buku elektronik bisa jadi ditanam di bagian tubuh tertentu, dan dihubungkan langsung ke otak. Persis seperti kita lihat pada film science fiction "Ghost in The Cell", yang merupakan adaptasi dari komik karya Shiro Masamune.

Sebagai jendela dunia, buku akan terus ber-evolusi. Baik bentuknya, maupun tempat penjualannya. Akan tetapi, ada satu hal yang tidak akan berubah.

Yaitu buku, sesuai istilahnya, terus berperan sebagai "jendela dunia" bagi kita. Buku akan memberikan segala hal baru, seperti pengalaman, perspektif, sensasi dan sebagainya.

Evolusi buku dan hal-hal yang berhubungan dengannya terus berlangsung. Kini, tinggal kemauan Anda. Apakah akan terus membuka dan melongok keluar melalui "jendela" itu?

Atau terus mau tinggal di tempat dan udara sama, tanpa membuka "jendela". Jika ini pilihannya, saya kira suasananya pasti membosankan, bahkan bisa membuat napas sesak.

Pilihan ada di tangan Anda semua. Selamat berakhir pekan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi