Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pemerhati Sosial
Bergabung sejak: 15 Mar 2022

Pemerhati masalah sosial. Bekerja sebagai pegawai negeri sipil sejak 1986 hingga 2016.

"Total Football" Mencegah Kekerasan Seksual

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi Pemerkosaan.
Editor: Sandro Gatra

AKHIR-akhir ini, kita menyaksikan tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak sering terjadi.

Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diharapkan membuat orang menahan diri untuk melakukan kekerasan seksual. Ternyata tidak.

Hampir setiap minggu diberitakan ada tindak kekerasan terhadap perempuan atau anak-anak. Tindakan kejam itu terjadi di berbagai kota, dilakukan oleh orang dengan berbagai latar belakang, termasuk mereka yang memiliki status sosial tinggi di masyarakat.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kekerasan seksual yang dilaporkan mencapai 4.102 kasus selama 2022.

Juga terjadi 1.638 kasus kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), di antaranya penyebaran video porno untuk tujuan mempermalukan seseorang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masih tingginya TPKS diduga karena peraturan pelaksanaan dari UU TPKS itu belum ada, walaupun sudah ada perintah Kapolri pada 28 Juni 2022, agar aparat kepolisian langsung menggunakan UU TPKS, yang sebulan sebelumnya diundangkan.

Awal Juni 2023, pemerintah sudah hampir selesai menyusun peraturan-peraturan UU TPKS. Ada tiga peraturan pemerintah (PP) dan empat peraturan presiden (Perpres), yang merupakan pemadatan dari 10 peraturan yang disebutkan dalam UU TPKS.

Ketiga PP tersebut adalah tentang (1) Dana Bantuan Korban TPKS; (2) Pencegahan TPKS serta Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban TPKS; dan (3) Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan TPKS.

Sedangkan keempat Perpres adalah tentang:

(1) Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak di Pusat;
(2) Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum, Tenaga Layanan Pemerintah, dan Tenaga Layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat;
(3) Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA); dan (4) Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS.

Dengan adanya PP dan Perpres tersebut seharusnya tidak akan ada lagi kendala dalam mengimplementasi UU TPKS. Pekerjaan selanjutnya adalah memastikan bahwa pencegahan tindak kekerasan berlangsung seperti yang diharapkan.

Sosialisasi masif

Jika sudah disahkan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen. PPPA) perlu segera mensosialisasikan semua peraturan TPKS kepada masyarakat.

Targetnya setiap orang mengetahui keberadaan UU TPKS tersebut, termasuk paham akan risiko yang akan diterima jika terbukti melakukan kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan atau anak.

Resiko tersebut meliputi pidana penjara dan pidana denda, serta sanksi sosial dari masyarakat.

Dapat dibayangkan Menteri PPPA dan staf pada beberapa bulan ke depan ini akan sibuk memaparkan peraturan tentang TPKS.

Media massa, cetak maupun televisi, akan ramai mengulas UU-TPKS dan peraturan pelaksanaannya. Media sosial, forum diskusi dan webinar akan membahas tuntas, menjawab pertanyaan dan menampung saran dari masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Pemerintah kabupaten dan kota perlu segera menyusun peraturan daerah (perda) tentang pencegahan TPKS, dan kemudian membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).

UPTD PPA ini akan bertugas melakukan pemantauan untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan hingga ke permukiman warga, setidaknya tingkat RW.

Pemda perlu mempublikasikan nomor telepon dan WA untuk pelaporan ancaman tindak kekerasan yang dapat diakses 24 jam penuh setiap hari.

Kendaraan roda 4 dan roda 2 perlu disiapkan agar petugas segera mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) manakala telepon berdering atau notifikasi menyala, mengadukan adanya ancaman atau tindakan kekerasan.

Kerjasama dengan kepolisian dan pihak terkait lain perlu dilakukan untuk memastikan agar penanganan tindakan kekerasan dapat dilakukan secepat dan seefektif mungkin. Semua memerlukan perencanaan, koordinasi dan komitmen.

Di lembaga pendidikan

Kekerasan seksual cukup sering terjadi di lembaga pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini sampai dengan pendidikan tinggi.

Siswa sekolah menjadi mangsa yang empuk bagi predator seksual karena posisinya yang rentan dalam hubungannya dengan pendidik dan petugas sekolah.

Data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2018 menunjukkan bahwa kekerasan seksual dialami 1 dari 11 anak perempuan dan 1 dari 17 anak laki-laki (ditsmp.kemdikbud.go.id).

Dari 51 kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan antara 2015 sampai Agustus 2020, universitas menempati urutan pertama (27 persen), disusul oleh pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam (19 persen), SMU/SMK (15 persen), Sekolah Menengah Pertama (7 persen), dan TK, Sekolah Dasar, dan Sekolah Luar Biasa (3 persen).

Sebanyak 88 persen diantaranya terdiri dari perkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual (Kompas.id, 29/10/2020).

Data lain menunjukkan bahwa selama Januari-April 2023, Kementerian PPPA mencatat ada 251 anak berusia 6-12 tahun yang menjadi korban kekerasan di sekolah, di mana 78 di antaranya berupa kekerasan seksual.

Semua angka-angka itu sungguh luar biasa, seharusnya nol alias tidak ada sama sekali.

Pemerintah tentu tidak tinggal diam. Untuk pencegahan dan penanganan telah ada Permendikbudristek Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Untuk lembaga pendidikan tinggi telah ada Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Untuk lembaga pendidikan tinggi di bawah koordinasi Kementerian Agama, telah ada Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).

Ke depan, setiap lembaga di lingkungan pendidikan perlu memiliki satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).

Perlu ada sanksi bagi lembaga pendidikan yang tidak membentuk Satgas, seperti misalnya penurunan tingkat akreditasi bagi perguruan tinggi.

Kemudian perlu dilakukan pelatihan bagi Satgas tersebut. Kemendikbud Ristek, Kemen. PPA dan pihak-pihak terkait lain perlu merancang dan melakukan kegiatan pelatihan ini mengingat kebutuhan yang besar dalam waktu dekat.

Di tempat kerja

Kekerasan seksual di tempat kerja baru-baru ini menjadi viral, setelah seorang karyawati perusahaan di Bekasi, Jawa Barat, melaporkan atasannya ke Kepolisian Resor Metro Bekasi.

Ia harus menerima tindakan atasannya “yang tidak menghargainya sebagai perempuan”, sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja 3 bulanannya (Kompas.id, 10/5/2023).

Kasus seperti itu, yang populer disebut staycation, layaknya gunung es, sebagian besar tidak dilaporkan.

Posisi tawar yang lemah dari karyawan, khususnya perempuan, menyebabkan mereka rentan mengalami pelanggaran hak-hak normatif pekerja, termasuk pelecehan seksual.

Mengutip berita Kompas.id (23/5/2023), survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja Indonesia tahun 2022 yang dilakukan oleh ILO dan Never Okay Project menemukan sebanyak 70,81 persen dari 1.175 responden mengaku pernah menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja.

Sebanyak 54,81 persen pelakunya merupakan atasan/rekan kerja senior dan kekerasan itu terjadi di dalam kantor/ruangan kerja, di ruang daring, di lapangan dan luar bangunan kantor.

Pemerintah agaknya sigap merespon kasus staycation ini. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menetapkan Keputusan Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.

Sebelum Kepmenaker itu keluar, sudah ada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja.

Juga ada Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 224 Tahun 2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, dan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 tahun 2020 tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) di Tempat Kerja.

Dasar dari berbagai peraturan itu di antaranya adalah Pasal 86 Ayat (1) Huruf b dan c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dinyatakan bahwa setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Salah satu peraturan dari Kepmenaker Nomor 88 Tahun 2023 adalah kewajiban perusahaan untuk membentuk satuan tugas (Satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja.

Adanya Satgas diharapkan ampuh untuk mencegah tindakan kekerasan kepada karyawan. Ini akan mendorong loyalitas dan produktivitas kerja.

Maka keberadaan Satgas di setiap perusahaan perlu didorong, dan jika sudah terbentuk perlu dipantau hasil kerjanya, agar tidak mengulangi kegagalan peraturan sebelumnya.

Indonesia tanpa kekerasan

Kekerasan seksual dan berbagai kekerasan lain harus enyah dari Bumi Pertiwi. Jika selama ini kita sering mendengar ada tindakan kekerasan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang, baik untuk tujuan jahat maupun untuk menghakimi seseorang secara di luar hukum, maka ke depan, Indonesia harus berubah menjadi negara yang aman bagi siapapun, baik di rumah, di sekolah, di tempat kerja, atau di tempat-tempat umum.

Tidak ada lagi kekerasan, baik secara fisik maupun non fisik, termasuk kekerasan seksual yang berakibat panjang bagi korbannya.

Untuk itu selain adanya undang-undang dan peraturan, satuan tugas, pedoman kerja, sarana dan anggaran, juga diperlukan keikutsertaan semua pihak untuk mencegah kekerasan.

Para orangtua wajib memantau keberadaan anak, mengetahui dengan siapa bermain secara langsung maupun melalui internet, guna memastikan keamanan anak secara fisik maupun psikologis.

Setahun dua tahun ini kita perlu berupaya keras memastikan bahwa ekosistem pendidikan, pekerjaan, hubungan antar orang berlangsung dengan aman tanpa kekerasan, karena ada pengawas dan hukuman berat menunggu.

Kita harus total football untuk menghapus persepsi bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan yang mudah dilakukan.

Kita harus memastikan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan yang luar biasa, dengan ancaman hukuman yang berat bagi pelakunya.

Hanya dengan begitu Indonesia akan menjadi negara yang aman dari kekerasan, yang warganya ramah, santun dan beradab. Semoga demikian adanya.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi