Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Direktur Eksekutif Migrant Watch
Bergabung sejak: 11 Jul 2022

Direktur Eksekutif Migrant Watch

PMI Ilegal Muncul karena Sistem, Bukan Korban Sindikat

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/MUCHLIS
Para Pekerja Migran Indonesia Ilegal saat ditampung di shelter Kantor UPT-P2TKI Disnakertrans Jatim.
Editor: Egidius Patnistik

PEJABAT pemerintah sering menyampaikan data bahwa dari sembilan juta Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang tersebar di seluruh dunia, lima juta di antaranya merupakan korban perdagangan orang.

Kapolri Jendral Listiyo Sigit Prabowo bahkan membenarkan bahwa saat ini setidaknya lima juta lebih PMI berangkat via jalur ilegal yang merupakan korban praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

TPPO adalah perbuatan yang menyebabkan seseorang dieksploitasi, disekap, diculik, dan mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan sosial. Orang yang diperdagangkan berstatus budak, bukan lagi manusia merdeka yang memiliki harkat-martabat.

Baca juga: Cegah PMI Ilegal, Kemenaker Usul Visa Ziarah ke Arab Saudi Diperketat

Benarkah lima juta warga negara Indonesia (WNI) sedang jadi korban perdagangan orang? Itu jumlah yang spektakuler, hampir setara jumlah penduduk Selandia Baru. Jika angka itu benar, alangkah mengerikan kondisi WNI yang sekarang bekerja di luar negeri. Itu juga berarti, Indonesia negara yang tidak aman.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah Indonesia tidak berdaya melawan kejahatan yang jelas-jelas musuh dunia sejak abad ke-19? Ada sejumlah hal yang mesti divalidasi terkait klaim tersebut. Ada hal-hal yang mesti diluruskan dalam memandang dunia ketenagakerjaan migran agar tidak menimbulkan salah hipotesa dan diagnosa.

Harus dipisahkan antara TPPO dengan PMI ilegal. Itu dua hal berbeda. PMI ilegal adalah orang yang berangkat bekerja ke luar negeri secara tidak sah atau tidak sesuai perundang-undangan dan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Sementara TPPO menurut Undang-Undang (UU) NOmor 21 Tahun 2007 adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

PMI yang berangkat secara ilegal belum tentu korban TPPO. Sebab, PMI ilegal bukan orang dalam kondisi dirampas kemerdekaannya atau berstatus budak. Korban TPPO, status kemanusiaannya dijajah atau dirampas. Mereka telah menjadi komoditas dagangan.

Praktik semacam itu pernah dilegalkan dalam sejarah peradaban manusia sampai abad ke-19. Manusia berstatus budak, ketika itu, bisa diperlakukan sewena-wenang oleh majikannya dan tidak dianggap sebagai tindak kejahatan.

Pada abad ke-18 dan abad ke-19 perbudakan gencar dihapuskan. Saat ini, negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, sepakat bahwa perdagangan manusia merupakan kejahatan kemanusiaan dan merupakan tindak pidana. 

Adapun PMI ilegal adalah insan merdeka. Jika terjadi eksploitasi pada mereka, orang yang melakukannya akan dikenakan tindak pidana atau tersangkut kasus ketenagakerjaan.

Pemberangkatannya yang tidak mengikuti aturan perundang-undangan dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang bisa dikenakan hukuman pidana sebagaimana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI. Penempatan PMI ilegal bisa saja dikategorikan hanya sebagai perbuatan malaadministrasi.

Pentingnya memilah TPPO dengan PMI ilegal adalah agar mendapatkan substansi permasalahan yang sesungguhnya. Generalisasi PMI ilegal sebagai korban TPPO akan menimbulkan ketidakadilan.

Bekerja, termasuk untuk orang yang bekerja ke luar negeri, adalah hak asasi yang dilindungi konvensi internasional dan konstitusi Indonesia. Orang yang melaksanakan aktivitas usaha penempatan PMI juga merupakan kegiatan yang legal dan dilindungi undang-undang. Karena dunia ketenagakerjaan migran adalah dunia legal (sah) dan dijamin hukum internasional dan nasional, maka jika ada orang melakukan kejahatan di dalam ekosistem tersebut, itu bukan kejahatan perdagangan orang.

Lalu mengapa banyak PMI berangkat secara ilegal, jumlahnya bahkan sampai jutaan orang?Ibarat orang ke luar rumah, jumlah orang yang loncat pagar lebih banyak daripada lewat pintu yang benar?

Biasanya, mereka "loncat pagar" karena sistem yang salah. Dalam dunia ilmiah dikenal istilah GIGO, garbage in garbage out. Kualitas output dipengaruhi secara langsung oleh kualitas input yang diberikan.

Jika dunia ketenagakerjaan migran dikelola secara salah maka hasilnya salah. Begitu juga sebaliknya, jika sistem penempatan dikelola dengan benar, hasilnya baik.

Korban Sistem

Menurut saya, ada tiga penyebab PMI menempuh jalur ilegal. Pertama, dampak dari pelarangan penempatan PMI atau moratorium penempatan PMI. Pelarangan penempatan PMI oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 260 Tahun 2015 sangat blunder.

Penghentian dan pelarangan itu berlaku untuk penempatan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) bagi pengguna perseorangan ke negara-negara-negara Timur Tengah. Padahal penempatan ke negara-negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi, paling banyak diminati PMI low skill. Negara itu biasanya menyerap tenaga kerja setidak-tidaknya 300 ribu orang per tahun.

Gaji 400 dollar AS dan tanpa dibebankan biaya (zero cost) yang ditanggung calon PMI  merupakan daya tarik pekerja migran ke negara itu. Karena banyaknya permasalahan yang menimpa PMI, pemerintah sejak 2015 menutup penempatan PMI ke negara itu.

Baca juga: Atasi TPPO, Menaker Evaluasi Penempatan Pekerja Migran Indonesia

Meski telah delapan tahun pelarangan tersebut berlaku, hingga sekarang pemerintah belum membukanya kembali. Moratorium itu berakibat fatal terhadap hak asasi WNI untuk mendapatkan pekerjaan dan melemahkan perlindungan kepada pencari kerja.

Ratusan ribu pekerja sektor domestik (pekerja rumah tangga) hilang kesempatan mendapatkan pekerjaan setiap tahunnya dengan cara legal.

Kedua, sistem yang berbelit-belit membuat PMI berangkat secara ilegal. Desain dalam melindungi PMI diinterpretasikan beragam oleh pejabat pemerintah, sehingga menimbulkan kekacauan dalam pelayanan publik. Hal ini diperparah ego sektoral instansi pemerintah yang mengakibatkan tumpang-tindih dan tidak sinkronnya pelayanan terhadap PMI yang hendak berangkat secara prosedural.

Banyaknya produk kebijakan turunan dari UU Nomor 18 Tahun 2017 memperpanjang rantai pelayanan yang seharusnya mudah dan cepat. Pelayanan publik kepada calon PMI dan perusahaan penempatan (P3MI) cenderung berkesan intervensi ketimbang memfasilitasi.

Pemerintah yang mestinya memperkuat perlindungan hak-hak PMI dan membantu optimalimasi penempatan malah terkesan intimidatif dan tidak lincah merebut pasar kerja global. Digitalisasi digembar-gemborkan tetapi tidak menjadi sistem pelayanan yang terintegrasi antara sistem satu dengan sistem lainnya di setiap instansi. Verifikasi dokumen, misalnya, masih dominan dilakukan secara konvensional (offline).

Perusahaan Penempatan Pekerja Migran (P3MI) yang memiliki izin resmi menempatkan PMI malah mengalami kebangrutan karena lamanya proses keberangkatan dan kalah dengan para pelaku penempatan ilegal. Sistem pelayanan PMI yang berbelit-belit menimbulkan proses keberangkat berbiaya tinggi. Dampaknya, banyak calon PMI memilih untuk berangkat ke luar negeri secara ilegal.

Ketiga, sebab lain adalah bisnis penempatan dikuasai sekelompok orang (secara kartel). Karena kegiatan penempatan merupakan bisnis, timbul itikad jahat sejumlah pihak untuk menguasai bisnis penempatan.

Penempatan PMI ke negara-negara Timur Tengah dan Malaysia yang memiliki potensi pasar ratusan ribu orang per tahun merupakan hidangan yang lezat untuk dikuasai pasarnya.

Agar biasa dikuasi kartel, dibuatlah Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) atau One Channel System. Aroma itu sangat kental terendus pada Sistem Penempatan Satu Kanal ke Kerajaan Arab Saudi. Kartel penempatan PMI ke Kerajaan Arab Saudi diperkuat dengan lahirnya sebuah sistem dilegal oleh produk kebijakan pemerintah berupa Kepmenaker Nomor 291 Tahun 2018 tentang Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK).

Pelaku penempatan hanya dibolehkan sekelompok orang. Meski sebuah perusahaan memiliki izin dan status yang sama serta memenuhi persyaratan yang baik, namun tidak dilibatkan sebagai peserta penempatan PMI ke Arab Saudi. Produk kebijakan SPSK ke Arab Saudi hanya milik sekelompok orang.

Pemerintah yang seharusnya membangun sistem bisnis penempatan yang sehat dan berkeadian, malah menciptakan sistem yang secara legal dikuasai beberapa perusahaan (oligopoli). Dalam persaingan usaha tidak sehat tersebut, PMI menjadi korban penempatan ilegal.

Negara Harus Hadir untuk PMI

PMI ke luar negeri untuk mencari nafkah. Mereka kadang-kadang tidak mempedulikan urusan legal dan tidak legal. Kebutuhan PMI adalah kepastian bekerja, mendapat gaji, dan kondisi kerja yang layak.

Dunia penempatan PMI yang ditafsirkan secara serampangan oleh pembuat kebijakan, menyebabkan dunia penempatan menjadi kacau. PMI berangkat secara ilegal dan dianggap sebagai sebuah kejahatan perlu dikoreksi bersama.

PMI yang berangkat ke luar negeri tidak sesuai ketentuan pemerintah bukanlah perbuatan merugikan siapapun. Mereka belum tentu korban perdagangan orang. Negara tidak dirugikan dalam praktik PMI yang berangkat secara ilegal. Mereka tidak menggelapkan pajak. Mereka tidak menyusahkan negara. Malah banyak manfaat didapat negara bila dunia penempatan PMI ini dikelola dengan benar.

Dunia ketenagakerjaan migran muncul karena hukum pasar supply dan demand. Di sini ada kesetaraan.

Soal kepentingan Indonesia melindungi warganya dari eksploitasi, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perdagangan manusia, sangat mudah dikolaborasikan. Kepentingan ini sangat mudah ditata dalam membentuk ekosistem saling menguntungkan. Bukan seperti sekarang ini saat urusan legal yang tidak produktif begitu mendominasi ruang publik. Seharusnya ruang publik diisi dengan bagaimana penempatan PMI bisa optimal dan terlindungi.

Pemerintah tidak boleh menafikan penempatan PMI ke beberapa negara berekonomi maju di Timur Tengah.  Untuk mengatasi kasus yang menimpa PMI di negara-negara Timur Tengah, caranya bukan dengan menutup dan melarang (moratorium). Pemerintah seharusnya melakukan penguatan PMI dan membangun inovasi tata kelola yang baik.

Tidak ada sebuah sistem yang sempurna, butuh inovasi terus-menerus untuk mendapatkan yang lebih baik. Permasalahan PMI di Timur Tengah bisa diselesaikan dengan melakukan lobi, menetapkan standar perlindungan yang disyaratkan pemerintah.

Karena ini menyangkut supply-demand, pasar akan ikut. Apalagi pekerja Indonesia banyak diminati negara luar. Negara-negara di Timur Tengah sudah banyak melakukan pembenahan agar hubungan kerja sama kedua negara berjalan dengan baik dan saling menjunjung hak asasi manusia.

Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, dan Oman sudah memiliki sistem perlindungan pada pekerja asing, bahkan UEA memiliki UU perlindungan pekerja domestik.

Sebenarnya, Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) ke Arab Saudi yang dibuat pemerintah bisa dikategorikan sebagai sistem penataan yang baik. Hanya karena SPSK dibajak sekelompok orang untuk menguasai bisnis penempatan, hal itu akhirnya merusak persaingan usaha yang sehat dan berkeadilan.

Ruang dialog dan diskursus tentang dunia penempatan agar tercipta everybody happy mesti digalakan. Filosofinya adalah PMI aman dan hak-haknya terpenuhi, P3MI berjalan produktif, majikan mendapatkan pekerja kompeten, dan negara diuntungkan dengan pemasukan devisa dan pengentasan pengangguran.

Dengan terbentuknya sistem yang benar, persoalan PMI berangkat secara ilegal akan terminimalisir.

Hal yang menjadi diskursus publik mestinya adalah bagaimana memperjuangkan peningkatan kesejahteraan PMI. Bagaimana ketika PMI ada mendapat masalah, segera cepat ditangani. PMI tidak lagi menjadi korban sistem.

Dunia penempatan PMI lalu kembali menjadi salah satu kekuatan ekonomi Indonesia. Bonus demografi yang dimiliki Indonesia akan menjadi berkah dan menjadi negara berekonomi maju karena sumber daya manusianya produktif.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi