Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 5 Jun 2023

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Soekarno dan Gerakan Hidup Baru di Era Post Truth

Baca di App
Lihat Foto
Hari Merdeka
Gelora semangat Soekarno. Ilustrasi karya Hari Merdeka
Editor: Sandro Gatra

KITA, bangsa Indonesia, patut bersyukur dikaruniai pendiri bangsa yang hebat. Pemikirannya, juga tindakannya. Semangat, keberanian, dan dedikasinya. Satu di antaranya adalah Soekarno.

Lahir 6 Juni 1901, dan wafat 21 Juni 1970. Pidatonya tentang Pancasila dilakukan pada 1 Juni 1945. Karena serba Juni, sebagian masyarakat menyebut Juni sebagai “Bulan Bung Karno”.

Terlalu banyak jejak historis Bung Karno yang menarik dan aktual diziarahi. Satu di antaranya adalah seruannya tentang “gerakan hidup baru” yang disampaikan pada 1957 sebagai bagian dari gerakan revolusi mental.

Seruan tersebut terasa aktual sekali tatkala kita menghadapi ekosistem (baru) digital dewasa ini. Ekosistem digital akan membentuk realitas baru. Ada hal yang patut kita cermati bersama menyongsong Pemilu 2024.

Bermental kecil

Kala itu, tahun 1950-an, kita menghadapi masalah rumit. Perbedaan kepentingan dan pertikaian antarkelompok politik membuat negara dan pemerintahan tidak kondusif.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemilu 1955 memang berhasil membentuk Konstituante, badan atau dewan perwakilan yang bertugas membentuk konstitusi baru bagi Republik Indonesia.

Konstitusi baru itu dibutuhkan untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Undang-undang dasar ini dipakai sebagai konsekuensi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 1949.

Konstituante mulai bersidang pada November 1956. Namun, hingga 1958, Konstituante tidak berhasil menjalankan tugasnya.

Perdebatan tak kunjung menemukan kesepakatan. Bung Karno lalu mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, yang memberlakukan kembali UUD 1945.

“Gerakan hidup baru” ditawarkan oleh Bung Karno sebagai bagian dari gerakan revolusi mental. Menurut Bung Karno, dua fase dari tiga fase revolusi bangsa telah dilalui. Dua fase itu adalah fase revolusi fisik (1945-1949) dan fase survival (1950-1955).

Satu fase lagi menghadang sebagai tantangan, yakni fase investasi. Kata Bung Karno, seperti dikutip Latif (2020), “Sekarang kita berada pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti seluas-luasnya: investment of human skill, material investment, dan mental investment.”

Bung Karno menyadari bahwa kolonialisme telah membentuk “mentalitas jajahan”. Mentalitas rendah diri, penuh perasaan tak berdaya, tak percaya diri. Kata Bung Karno, bangsa besar, namun bermental kecil. Suka geger urusan sepele.

Potensi hebat kita pada masa lampau tinggal cerita. Pramoedya Ananta Toer melukiskannya dengan sangat bagus melalui karyanya yang berjudul Arus Balik.

Di Arus Balik maestro sastra Indonesia itu bertutur tentang kebesaran Nusantara pada masa kejayaan Majapahit. Nusantara merupakan kesatuan maritim. Kerajaan laut terbesar di bumi. Terbesar pula kapal-kapalnya. Juga bandar-bandarnya.

Maka, arus bergerak dari bumi selatan ke utara. Kapal-kapalnya, manusianya, adab perbuatannya. Juga cita-citanya. Semua bergerak dari Nusantara. Di bagian selatan ke “atas angin” di bagian utara.

Lalu, arus berbalik. Utara menyerbu selatan. Dengan kapal-kapalnya yang lebih besar. Terus-menerus. Utara lalu menguasai jalur rempah. Menguasai urat nadi kehidupan Nusantara.

Nusantara terdesak. Terpecah-pecah. Bandar-bandarnya sepi. Kekalahan demi kekalahan menjadi dongeng baru.

“Kapal kita makin lama makin kecil. Seperti kerajaannya. Kapal besar hanya bisa dibuat oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara...,” seru Wiranggaleng, tokoh utama di Arus Balik.

Karena itu, Bung Karno meyakini bahwa investasi keterampilan dan material tanpa investasi mental-karakter tak akan menghasilkan persatuan-kesatuan dan kemakmuran bersama.

Tanpa kekayaan mental, upaya pemupukan keterampilan dan material hanya akan melanggengkan penjajahan.

Gerakan hidup baru dimaksudkan sebagai pelaksanaan pembangunan mental-karakter. Yang tak lain adalah gerakan revolusi mental: perombakan cara berpikir, cara kerja, cara hidup, yang merintangi langkah bangsa Indonesia dalam menggapai cita-cita kemerdekaan.

Era Post Truth

Kini ekosistem baru berbasis teknologi digital adalah keniscayaan. Teknologi baru ini juga menawarkan literasi yang berbeda dengan era mesin cetak. Yang memadukan antara aksara, suara, dan gambar hidup (video).

Medianya pun berubah. Kini, media berjejaring nirkabel dalam satu piranti yang serba digital. Ada Youtube, Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, Telegram, Tik Tok, dan lain, yang disebut media sosial.

Cara kerja berubah. Nilai-nilai pun berubah. Sejumlah kalangan percaya, ekosistem digital juga menjanjikan bentuk-bentuk komunitas baru. Pola hubungan lama yang hirarkis, hegemonik, dan eksploitatif, akan runtuh.

Pola hubungan sosial akan bergeser ke pola “simpul jala ikan”. Tak ada lagi pusat-pinggir, atas-bawah. Teknologi digital akan menyediakan lanskap baru yang memungkinkan pertumbuhan banyak subjek, banyak pusat, yang terhubung secara kolaboratif.

Dari sudut ini tentu saja sangat menjanjikan masa depan kita sebagai bangsa. Namun, dari sudut lain, terbentuk pula masalah krusial, yang membutuhkan perhatian serius.

Media sosial dengan segenap kecepatan dan kecanggihannya ternyata juga membuat kita tak punya kesempatan dan kemampuan memastikan apakah informasi yang hadir itu hoaks atau faktual. Para ahli ilmu-ilmu sosial menyebutnya “post-truth”.

Sebuah keadaan tatkala antara story dan history, antara fiksi dan fakta, bercampur baur tak jelas batasnya.

Penanda makin kehilangan petanda. Kata makin tak bermakna. Fakta makin tak berdaya. Kalah dengan emosi dan keyakinan personal.

Jangan-jangan era seperti ini kebangsaan pun terancam kehilangan rujukan. Proses sosial yang timbul bukan menguatkan makna "kebangsaan", tapi justru mengarah pada "kebangkrutan".

Era post-truth ditengarai pula memberi ruang pada pertumbuhan radikalisme. Paham-paham radikal disebarluaskan tidak lagi melalui buku-buku dan literasi produk mesin cetak, tapi menggunakan media sosial.

Kecepatan dan kemudahan akses informasi membuat media sosial efisien dan efektif buat penyebarluasan konten-konten radikal.

Dulu awal abad XX, melalui surat kabar (produk teknologi mesin cetak), primordialisme mencair dalam komunitas “bangsa” (nation).

Di era post-truth, melalui media sosial, saya melihat justru primordialisme potensial tumbuh kembali. Pengelompokan agama, ras, etnis, dan primordial yang lain, tumbuh pesat. Bermula dari dunia maya, lalu nyata.

Sangat mungkin bercumbu dengan kepentingan politik. Sangat mungkin pula berkolaborasi dengan modal/kapital. Potensial mengancam persatuan-kesatuan bangsa, integrasi bangsa.

Serupa meski tak sama. Soekarno menyerukan “gerakan hidup baru” karena bayang-bayang disintegrasi pada dekade 1950-an pasca-Pemilu 1955.

Kini, seruan itu terasa nyaring dan aktual juga karena bayang-bayang disintegrasi pada era post-truth menyongsong Pemilu 2024.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi